LUDUS & PRAGMA

98. Kala Mata Yang Berbicara



98. Kala Mata Yang Berbicara

0Raffa pergi, masuk kembali ke dalam kamarnya kala semua urusan dan tugasnya untuk membantu Davira sudah selesai juga terpenuhi dengan baik sesuai rencana yang disusun olehnya. Langkah kakinya tegas mengarah pada ranjang besar di sudut kamarnya. Gontai badannya ambruk di atas ranjang. Kini menatap langit-langit kamarnya yang terasa biasa dan mulai membosankan. Tak ada mama, sebab wanita itu sibuk mengurusi butik dan usahanya di luar sana. Tak heran jikalau papa juga tidak ada di rumah sekarang ini, pria itu adalah orang paling sibuk di dunia. Entah apa yang dilakukannya di luar sana, benarkah sedang berbisnis atau hanya bersenang-senang bersama wanita lain?     
0

Raffa mendesah ringan. Perlahan memejamkan matanya untuk mulai beradu dengan rasa nyeri yang mulai timbul akibat luka di lengan kirinya. Menyesal sebab melukai dirinya sendiri? Tidak, ia tak akan pernah merasakan hal semacam itu jikalau yang dilakukannya demi gadis pujaan hati yang sudah meluluh lantahkan pendiriannya sejak pertama kali bertemu. Jika bukan Davira, Raffa tak akan pernah mempercayai apa itu cinta pada pandangan pertama. Baginya kalimat itu hanyalah takhayul semata. Tak ada teori yang mendasari semua itu. Akan tetapi selepas pertemuannya dengan Davira, remaja identik wajah dengan sang kakak itu mulai menarik kata-katanya sendiri. Cinta pada pandangan pertama memang benar adanya!     

Remaja itu membayangkan, bagaimana jika kakaknya bodoh kembali? Menggunakan kepercayaan kekasihnya dan kembali berselingkuh dengan Davina? Hal bodoh itu mungkin saja terjadi, sebab jikalau dirasa dengan benar Adam Liandra Kin lebih banyak mewarisi sifat sang ayah kandung.     

Ia kini membuka matanya perlahan. Mendesah ringan sembari berdecak kasar untuk mengakhiri kegundahan di dalam hatinya. Haruskah ia merebut Davira dari sang kakak tahun depan? Genap usianya 18 tahun, haruskah ia melakukannya?     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Ditatapnya sang kekasih dengan penuh cinta. Dari semua bagian rumah milik Adam, Davira paling menyukai tempat ini. Taman belakang rumah yang begitu syahdu dan damai. Hawa semilir bayu, seakan menjadi angin paling segar yang ada di muka bumi. Suasananya tenang, tak riuh juga jauh dari jangkauan orang luar. Gemercik suara air mancur kecil di tengah kolam ikan yang dibangun di sudut halaman belakang dengan ayunan kecil di sisinya itu, menjadi melodi penenang untuk melepas gundah dan gulana yang dirasa. Jikalau ditanya mana tempat yang patut disebut sebagai surganya dunia, maka tempat ini dengan ditemani oleh sang kekasih adalah jawabannya.     

Adam membuatkan jus jeruk untuknya. Dengan aroma yang segar dan rasa manis yang khas. Davira menyukai segalanya. Situasi, kondisi, hidangan yang ada, bahkan manusia yang di depannya sekarang ini. Meskipun hatinya kalut, perasaannya hancur, dan pikirannya sedang 'semrawut' namun setidaknya ia masih bisa menahan itu. Toh juga, apapun yang ada di dalam kotak itu berasal dari masa lalu Adam. Positif saja, remaja itu belum sempat membuangnya.     

"Gimana keadaan mama kamu?" Adam membuka percakapan. Ditatapnya sang kekasih yang terus saja memberi pandangan aneh padanya. Davira memang tak memberi banyak emosi sekarang ini. Tatapannya masih tergolong baik dan bersahabat. Sesekali gadis itu tersenyum ringan. Juga tertawa kecil melihat perubahan ekspresi Adam ketika sedang menyantap sesuatu. Bahkan sekarang pun, Davira tak menggubris pertanyaan dari dirinya.     

"Davira?" Adam membuyarkan lamunannya. Menelisik masuk ke dalam netra gadis yang hanya mengerang untuk menjawabnya.     

"Gimana sama keadaan mama kamu?" ulang Adam penuh kesabaran. Gadisnya itu memang terkadang terlihat dingin dan tak acuh. Caranya berbicara menyakitkan dan tatapannya angkuh juga congkak. Namun dari semua itu, tak ada yang mengenal Davira lebih baik darinya. Arka? Remaja itu hanya mengenal Davira sebagai gadis kecil. Bukan Davira yang sudah tumbuh dewasa dan sedang berada di dalam masa puber.     

"Mama? Tentunya terkejut dengan kabar tante Mira. Tapi keadaannya baik-baik saja." Davira kini membuka suaranya. Mengubah posisi duduk lebih nyaman untuk bisa menatap sang kekasih.     

"Mau aku bikinkan salad buah untuk membuat mama kamu lebih baik?" Adam menawarkan. Mencubit manja pipi kekasihnya itu.     

Davira menggelengkan kepalanya. Tegas ia tersenyum kuda sembari mengerang lirih. Menepuk punggung tangan sang kekasih agar lekas melepas cubitan kasarnya itu.     

"Aku bilang mama baik-baik saja."     

"Kalau kamu?" tanya Adam menyela. Kalimat singkat itu menghentikan senyum dan tawa kecil yang diciptakan oleh sang kekasih. Seakan cukup memberi pukulan untuk hatinya, Davira memasang raut wajah kaku. Tatapannya aneh bahkan bisa dibilang berubah 180 derajat. Tak ada tawa bahagia lagi, tak ada tatapan teduh sedikit manja juga tak ada godaan mata yang mempesona. Entah sedang tepat dugaan atau memang Adam pandai menelisik dan membaca isi hati sang kekasih lewat dari caranya menatap.     

"Aku kenapa?" Davira menyahut. Menunjuk dirinya sendiri dengan tegas. Gadis itu tak mengubah ekspresi sama sekali.     

Adam kini bangkit dari posisinya. Duduk berhimpit dengan sang kekasih tanpa mau menjawab pertanyaan dari Davira. Ia menoleh. Menatap gadis yang kini tegas mengerutkan dahinya sebab tak mengerti mengapa Adam harus berpindah tempat duduk hanya sebab kalimat tanya yang terlontar keluar dari bibirnya sebelum ini?     

Remaja itu menepuk pundaknya memberi isyarat pada sang kekasih untuk menyadarkan kepalanya di atas sana. Davira diam sejenak. Melirik tepukan tangan Adam yang kuat mendarat di atas pundak lebarnya sekarang ini. Perlahan senyum mengembang di atas paras cantiknya. Mulai mengikuti interuksi dari sang kekasih untuk menyenderkan kepala di atas pundaknya.     

Adam mengembuskan napasnya perlahan. Kini tangannya kuat mengusap helai demi helai rambut panjang milik sang kekasih. Davira nyaman akan posisi seperti ini, selalu saja dirinya luluh dan lunak jikalau Adam memperlakukan dirinya dengan baik. Remaja itu pandai membuat Davira jatuh hati. Melupakan sejenak rasa sakit yang dibuatnya sebab perselingkuhan gila yang sudah dilakukan oleh kekasihnya itu.     

"Aku gadis yang buruk 'kan?" Davira mulai berucap. Memecah keheningan yang ada di antara mereka berdua saat ini.     

"Kenapa bilang gitu?"     

"Aku bahkan gak menangis saat tahu mama aku meninggal."     

"Ada aturan mengenai kita wajib menangis kalau orang tua kita meninggal?" Adam menyahut. Mengusap puncak kepala gadis yang kini menyeringai samar.     

"Davira ...." Remaja itu kini memanggil. Menatap gadis yang mendongak untuk mengindahkan panggilan darinya.     

"Kamu adalah gadis yang hebat. Tak sebuah luka harus diungkapkan dengan air mata, terkadang kita hanya perlu diam dan menyingkir dari keramaian untuk menyelami betapa sakitnya luka itu, bukan? Aku belajar itu dari kamu. Kenapa sekarang kamu yang melupakannya?" Adam tersenyum manis. Jari jemarinya kiri turun untuk menarik dagu lancip milik sang kekasih.     

Ada satu hal yang membuat Davira jatuh hati pada Adam, kalimat indah selalu saja terucap dari bibirnya kala Davira membutuhkan itu semua.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.