LUDUS & PRAGMA

101. Eunoia



101. Eunoia

0"Gimana perasan lo sekarang, udah baikan?" Suara itu terus saja berulang untuk mencoba membangunkan gadis yang ada di sisinya. Arka paham benar kalau Davira tak benar-benar tertidur sekarang ini. Pergantian jam pembelajaran terjadi beberapa menit yang lalu. Meninggalkan suasana kelas yang semakin gaduh setiap detiknya. Alurnya begini, siapa saja yang sudah menyelesaikan tugas dari sang guru hari ini akan segera mengumpulkan buku tugas di atas meja guru. Selepas itu mereka bisa melepas lelah yang menyelimuti di dalam diri. Tak ada yang bisa dikatakan oleh Arka sebab dirinya tertinggal jauh dari Davira. Gadis itu tepat menyelesaikan semua soal selepas guru melangkah pergi keluar dari dalam kelas. Menitipkan pesan pada ketua kelas untuk membawa semua tugas jikalau sudah terkumpul dengan lengkap.     
0

Arka baru bisa menyusul Davira selepas lima belas menit berselang. Menjadikan suasana hening terbentang selama waktu itu berjalan. Kini Davira menolehkan wajahnya. Menghadap ke sisi tembok kelas dengan posisi tidur layaknya seseorang yang sudah dilanda lelah akut.     

Remaja itu tegas memainkan ujung rambut panjang milik si sahabat dekat. Sesekali menariknya pelan untuk membuat Davira mulai muak. Ia mengabaikan Arka sedari tadi pagi. Entah sebab apa, namun dalam tebakannya ia masih ada di dalam rasa malu dan canggung. Arka melihat pelukannya dengan Alia, bahkan ia melihat Davira sempat meneteskan air matanya. Meskipun itu lekas hilang sebab gadis itu segera mengusapnya, namun Arka paham benar kalau ia mulai merasakan semua suasana asing di sekitarnya kala itu.     

"Lo baik-baik aja 'kan?" Arka kembali menyela. Suaranya kini lirih. Ikut meletakkan kepalanya di atas meja.     

Remaja itu kian tegas memainkan ujung rambut pekat milik sang sahabat. Masih kokoh dalam tujuan awalnya untuk membuat Davira mau menoleh ke arahnya.     

"Gue tau lo cuma pura-pura tidur." Remaja itu kembali bersuara. Kokohnya benar-benar kuat untuk Davira. Tak ingin menyerah sebelum gadis itu menoleh dan menatap tepat ke arah wajahnya.     

Arka benar, Davira hanya berpura-pura saja. Perlahan mata gadis itu terbuka. Tak mengubah posisinya sedikitpun hanya pandangan matanya yang kian terbuka dengan tegas. Menatap tembok kosong dengan beberapa coretan pena di atasnya. Davira tak ingin menolehkan wajahnya sekarang ini. Tepat sekali, tidak ada yang bisa dikatakan oleh Davira untuk sekarang. Mau bertanya pasal kemarin, Davira sedang tak memiliki jawaban apapun sekarang ini.     

"Alia pasti bahagia di saat-saat kepergian sang mama." Arka mulai berbual. Menyela dengan segala bentuk kalimat untuk menarik perhatian gadis yang ada di sisinya sekarang ini.     

Davira menyeringai.     

"Dia pasti bahagia dan lega karena lo mau memeluknya. Meskipun tak lama, setidaknya ia memiliki tempat ternyaman untuk melepas rasa lelah. "     

"Gue dengar kalau Alia dan adiknya akan diberi seorang pengasuh asing dalam waktu dekat ini karena papa lo akan—"     

"Kata siapa!" Gadis itu menyentak. Tiba-tiba bangkit dari posisi awalnya hingga sukses membuat Arka terkejut. Tatapan mata gadis itu penuh kegelisahan kala mendengar kalimat acak yang keluar dari dalam celah bibir Arka Aditya.     

"Gue tanya kata siapa!" Davira mempertegas. Sedikit jengkel sebab Arka tak kunjung menjawab pertanyaan dari dirinya sekarang ini.     

Remaja itu ikut bangkit. Duduk berjajar dengan si gadis yang menyandarkan tubuhnya di atas kursi. Sesekali dirinya memberi lirikan, memastikan bahwa Davira masih memberi tatapan sembari menunggu jawaban pasti darinya sekarang ini.     

"Gue cuma asal ngomong," katanya melirih.     

Davira sigap memukul kepala remaja yang ada di sisinya. Sejadi-jadinya ia ingin mengumpat, namun semua niatnya hilang begitu saja selepas Arka mengerang ringan sembari tertawa kecil. Lama sekali Davira tak bercanda gurau dengan sang sahabat seperti ini. Selalu saja ia dipertemukan dengan Arka dan duduk bersama dalam keadaan duka, bahagia tak pernah benar ada di antara keduanya dalam dua tahun terakhir ini. Semua berubah selepas Davira menerima perasaan sang kekasih. Menjadi asing untuk Arka juga segala kehidupan lampau sebelum Adam datang merusak segalanya.     

Davira paham benar jikalau semua adalah murni kesalahan dirinya. Ia payah dalam membagi waktu antara menjadi seorang sahabat baik dengan seorang kekasih yang penyayang. Ia lebih memprioritaskan Adam sebagai urusan utamanya. Selalu menyisihkan Arka meskipun terkadang ia pergi dan jatuh ke dalam pelukan sang sahabat. Ia pun tak selalu bersama Adam, terkadang hidupnya penuh dengan kesibukan untuk mempersiapkan sekolah bisnis yang akan ditempuhnya si perguruan tinggi nanti.     

"Gue pasti terlihat memalukan bukan kemarin?" Davira menarik tangannya. Kembali menyimpan di atas pangkuan gadis yang kini menutup kalimat dengan helaan napas kasar. Davira paham benar jikalau Arka pasti mampu menebak seluruh arti tatap matanya. Membaca apapun di dalam isi hatinya tanpa remaja itu bertanya atau Davira yang menceritakannya.     

"Kenapa harus memalukan?" Arka menyahut. Tegas nada bicaranya sembari memiringkan kepalanya untuk menelisik arti tatapan gadis yang tak lagi menatap dirinya. Tatapan itu kosong! Tak ada harapan apapun di dalam sana. Entah hatinya sedang meminta untuk diistirahatkan, atau memang Davira sedang tak ingin memikirkan hal besar sekarang ini.     

"Karena gue kalah dari musuh gue." Gadis itu melirih. Manik matanya indah menyusuri setiap bagian meja yang ada di atasnya. Kotor adalah kesan pertama yang disimpannya di dalam pikiran. Tak menarik memang, namun baginya akan lebih baik menatap meja ketimbang harus beradu tatap dengan sang sahabat.     

"Lo menang." Arka tersenyum simpul. Menarik pergelangan tangan Davira dan menepuknya perlahan.     

"Apa definisi menang buat lo?" Ia mengimbuhkan. Diam sejenak adalah aktivitas yang dilakukan oleh Davira untuk menjeda situasi.     

"Bahagia. Ketika seseorang sedang mengalami kemenangan ia harus bahagia dan melegakan semua yang selama ini mengganjal di dalam hatinya," tutur Davira dengan lembut. Tak ada emosi yang membara di dalam kata yang ia ucapkan. Kematian ibu tirinya tentu memberi pukulan tersendiri untuk Davira meksipun gadis itu sangat membenci sosok Mira.     

"Boleh gue tanya sesuatu?" Arka kembali menyahut. Kali ini menarik perhatian gadis yang memutuskan untuk menoleh menatapnya dengan teduh. Davira menganggukkan kepala. Menyetujui kalimat tanya yang dilontarkan kepadanya.     

"Saat lo memeluk Alia, apa yang lo rasakan setelah melepas pelukan itu? Lo melihat dia tersenyum manis kemarin. Apa yang lo rasakan?" cecarnya untuk sang sahabat.     

Davira menatapnya penuh makna. Sejenak ia menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya ringan. Davira menundukkan pandangan. Menatap permainan ujung sepatu yang menggesek kasar ubin di bawahnya.     

"Lo lega bukan?" Remaja itu kembali berucap. Tak sabar jikalau ia harus menunggu Davira untuk menjawabnya. Sebab dirinya paham, gadis itu pasti enggan menjawabnya lagi.     

"Itu artinya lo sudah menang," pungkasnya menutup kalimat.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.