LUDUS & PRAGMA

100. Rasa Yang Bergejolak



100. Rasa Yang Bergejolak

0-Sekolah Menengah Atas Amerta Bintari-     
0

-10:31 WIB-     

Detak jarum jam menjadi melodi penghilang kesepian di dalam ruang sempit berbentuk persegi yang hanya berisi seorang remaja tampan dengan posisi duduk nyaman sembari menelisik dokumen tebal yang ada di atas meja. Tatapan tajamnya menyisir setiap inci kata dan kalimat pengisi lembar dokumen yang menyita perhatiannya beberapa menit yang lalu. Jam istirahat sudah berakhir, kiranya suasana sepi sebab semua kembali pada posisinya.     

Adam Liandra Kin, si kapten basket yang akan purna tugas beberapa minggu lalu. Jikalau bukan ini berakhir, maka bulan depan adalah masa jabatan terakhirnya. Mengenyam posisi sebagai ketua kapten basket dengan penuh kesibukan membuat dirinya payah dalam membagi waktu kalau musim tanding tiba. Jikalau bukan Davira yang menjadi kekasihnya, mungkin saja Adam sudah menjadi seorang bujang yang gagu dalam mencinta.     

Suara pintu diketuk. Menyita perhatian si remaja yang kuat memberi sorot matanya tepat mengarah ke ambang pintu. Dihadapkan seseorang teman sebaya akan datang membantunya untuk mengecek dokumen laporan pemilihan anggota yang diserahkan guru pembimbing padanya beberapa jam yang lalu. Adam sudah memberi kabar sebenarnya, namun bak dikhianati oleh teman-teman mainnya ia ditinggal sendirian. Simpulan dari semua alasan yang diucapkan olehnya adalah jam pembelajaran tiba! Jadi tak mungkin mereka mengkhianati pembelajaran dan guru untuk kesekian kalinya. Toh juga, Adam bisa membaca dan menelitinya sepulang sekolah nanti.     

Ya, benar. Jikalau tak ada janji maka ia akan melakukannya. Akan tetapi, janji sudah dibuat dengan sang kekasih untuk datang menyambangi rumah duka sang ayahanda. Menyambut luka bersama tangisan keluarga dan rasa pilu yang menyayat hati. Adam ingin bersilaturahmi. Jikalau tak bisa berbincang baik, setidaknya ia ingin mengucapkan duka dengan sepenuh hati. Tak ingin berpura-pura sebab itulah yang benar sedang dirasakan olehnya.     

Seseorang kini melangkah masuk ke dalam ruangan. Bersama dengan tatapan malas menyusuri setiap sudut ruangan. Memastikan bahwa memang benar hanya ada Adam di dalam ruang ini sekarang.     

Davina Fradella Putri, si gadis cantik berambut panjang yang kini tegas menghampiri posisi duduk remaja sebaya yang jauh dari jendela juga pintu luar. Adam mengamati. Setiap langkah yang diambil oleh Davina tak pernah ada keraguan yang terselip di antaranya. Tatapan itu tegas, ekspresi wajahnya kaku tak bersahabat dengan sebuah kertas besar yang ada di dalam genggamannya. Akan tersenyum miring. Tipis lengkungan bibirnya hilang selepas Davina mendaratkan langkah terakhir tepat di depan meja yang menjadi tempatnya menulis sekarang ini.     

"Ada apa?" tanya Adam melirih. Gadis itu hanya menghela napasnya. Panjang nan berat terasa begitu menyayat di dalam hati. Jikalau Davina tak menangis sebab pertengkaran tak berdasar alasan yang kuat hingga membuat Adam menghilang dari hadapannya ia katakan dengan tegas, maka Davina berdusta! Gadis itu bahkan menangis semalaman. Mengutuk semesta juga mengutuk siapapun yang terlibat dalam kehancuran hatinya. Ia membenci Adam? Tidak! Gadis mana yang bisa membenci pria yang amat ia cintai? Tidak ada!     

"Ahh—" desahan kasar itu menyela. Menjeda segala kalimat yang ingin diucapkan oleh Davina sekarang.     

Adam menatapnya nanar. Bersalah? Sangat. Namun mau diapakan lagi, hatinya sekarang masih berat pada Davira. Sesuka apapun Adam pada Davina, dirinya tak bisa dusta bahwa Davira-lah yang akan menjadi gadis pilihannya.     

Singkatnya Adam mencintai dua gadis dengan satu gadis menjadi dominannya, Davira Faranisa.     

"Ini adalah list nama orang yang mendaftar sebagai tim basket. Beberapa nama terlihat asing, jadi aku melampirkan biodatanya." Gadis itu menerangkan dengan nada bicara datar tanpa perubahan ekspresi yang berarti. Tatapannya tak fokus. Sesekali melirik paras tampan Adam Liandra Kin, kemudian beralih pada rentetan kalimat yang ada di dalam dokumen di sisi meja.     

Remaja itu mengangguk-angguk kepalanya. Mengerti dan mengakhiri semua respon singkat yang diberikan dengan senyum manis.     

"Makasih atas kerja kerasnya. Ini mungkin jadi kerja sama kita untuk—"     

"Jangan sok bijak. Aku muka mendengarnya." Davina melempar kasar kertas yang ada di depannya. Jatuh tepat di depan meja yang menjadi sekat utama posisi keduanya sekarang ini.     

Adam sejenak diam. Ia benar-benar ingin menelisik arti tatapan dari gadis yang terlihat benar menyimpan dendam di dalam hatinya saat ini. Ada amarah yang menggebu-gebu. Tatapan matanya memang tak fokus pada satu titik, namun manik berbinar indah itu seakan memberi penegasan pada Adam bahwa gadis yang selalu tersenyum manis dengan lesung pipi kecil yang menjadi penghias di atas paras cantiknya itu benar-benar sedang hancur sekarang ini.     

"Maaf karena merepotkan." Adam kembali menyela. Meneruskan aktivitas menulisnya untuk mengabaikan gadis yang masih kokoh dalam pendiriannya.     

Adam lupa atas semua luka yang ia tinggalkan untuk sang gadis. Mengabaikan semua seakan tak pernah terjadi apapun di antara mereka sebelumnya. Kisah indah yang dikata akan melukiskan sejarah di masa depan telah dilupa dan ditinggalkan begitu saja. Baik buruk, manis dan pahit semuanya kini terasa begitu hambar. Bagaimana bisa seorang manusia melupakan semua hal seperti itu hanya dalam kurung waktu yang singkat? Benarkah ia bisa disebut sebagai manusia? Pantaskah Adam disebut sebagai manusia?!     

"Gak ada yang ingin lo bicarakan?" tanya Davina menyela dalam keheningan. Matanya kian tegas berbinar. Menunduk menatap remaja yang kokoh dalam posisinya.     

Adam mendongak. Sekilas ia melihat arti tatapan itu. Nanar dan tak bersinar lagi. Kesedihan seakan berkumpul menjadi satu di dalamnya.     

"Aku akan mengabari kalau ada kendala. Lo bisa balik,"     

Persetanan gila brengsek sialan ini! Bagaimana bisa ... ah! Sudahlah. Davina tak ingin berlama-lama dalam menyiksa dirinya sendiri. Adam benar-benar menjadi brengsek sialan yang tak tahu terimakasih.     

Gadis itu kini berbalik. Melangkah tegas meninggalkan remaja yang kembali menyibukkan diri dengan aktivitasnya saat ini. Adam tak acuh, maka Davina juga tak akan pernah mau acuh lagi! Bagaimana seseorang memperlakukan dirinya, begitulah ia akan membalasnya.     

Langkah kakinya terhenti kala suara ponsel berdering tanda seseorang baru saja mengiriminya pesan. Sigap ia merogoh masuk ke dalam rok pendek yang ia kenakan. Mengambil benda pipih yang tak akan pernah absen dari benda bawaan gadis itu kalau sedang keluar dari dalam rumah.     

Davina mulai menghidupkannya. Menggeser layar untuk melihat siapa gerangan yang baru saja mengiriminya sebuah pesan singkat.     

Matanya membulat! Tatapannya menajam dengan sepasang alis yang menyentak bersamaan. Gadis itu terhenti. Benar-benar menghentikan segala aktivitas yang ciptakan oleh tubuh mungilnya sekarang ini. Helaan napas pendek mengiringi. Senyum aneh kembali mengembang bersama dengan rasa yang tak kalah anehnya menyelimuti di dalam diri.     

Bibirnya perlahan berucap. Sebuah kalimat singkat dengan perintah yang amat sangat tegas. "Jangan berbalik. Kita bertemu nanti malam pukul sembilan di tempat biasa." --Adam Liandra Kin.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.