LUDUS & PRAGMA

107. Pukulan Pertama



107. Pukulan Pertama

0"Kak Adam tahu tentang perasaan aku." Ia kembali memulai percakapan. Nada lirih masuk dan menari-nari di dalam lubang telinga gadis cantik bermata bulat di sisinya itu. Menarik segala pandangan Davira untuk kembali mengarah tepat pada remaja jangkung yang ada di sisinya.     
0

"Tau?" tanyanya memastikan. Matanya sejenak membulat kemudian kembali normal kala diam adalah respon yang diberikan oleh Raffa. Ia tak menyanggah apapun, jadi bisa Davira simpulkan sendiri bahwa apa yang didengar oleh dirinya beberapa detik yang lalu adalah sebuah kebenaran.     

"Lalu responnya?" Davira melanjutkan. Menatap Arka dengan penuh penghayatan. Remaja itu terus saja tersenyum manis. Seakan tak ada beban di dalam saat ini.     

"Dia sudah tahu sejak dulu, kemarin hanya memastikannya. Reaksinya, tentu ada kekesalan dalam wajahnya, namun dia bisa apa? Dia hanya orang bodoh yang munafik." Remaja jangkung itu tersenyum seringai. Mengakhiri kalimat dengan nada singkat nan pendek.     

Davira ikut tersenyum ringan. "Jadi hampir tak ada masalah sekarang."     

Raffa menoleh. Kembali menatap gadis yang tertawa kecil sekarang ini. Nada tertawa itu menyakitkan. Benar-benar menyakitkan untuk dirinya. Ia ingin meraih tubuh Davira dan memeluknya. Bukan sebagai calon adik ipar, namun sebagai seorang laki-laki pada wanitanya.     

"Apa yang akan kakak lakukan sekarang?" Ia kembali membuka suara. Menunggu gadis di sisinya untuk memberi jawaban pasti padanya. Raffa tau Davira pasti sedang bimbang sekarang. Ia punya cukup bukti untuk memutuskan hubungannya dengan Adam. Meneriaki remaja itu dan mengumpat pada Davina untuk mempermalukan mereka di depan umum. Akan tetapi, dari caranya menatap Davira terlihat tak bisa melakukan apapun. Rasa sayang dan cintanya pada sang kakak sangat besar. Bahkan untuk memaafkan perselingkuhan saja ia sanggup melakukannya demi menjaga Adam agar terus berada di sisinya.     

"Entahlah. Aku hanya ingin mengikuti apapun yang mungkin terjadi di masa depan."     

"Kakak yakin hubungan kalian akan bertahan lama?" sahut Raffa bertanya lagi. Cecar kalimat itu sukses membuat gadis yang menjadi lawan bicaranya bungkam. Indah lengkungan bibir itu tersenyum tipis. Sejenak kemudian, ia menaikkan kedua sisi bahunya. Kali ini Davira tak ingin banyak menjawab. Diam sudah cukup mewakilkan bahwa dirinya sedang hancur. Tak ingin membuat spekulasi ataupun keputusan serta alibi hanya untuk membuat dirinya sendiri tenang dan lega.     

"Aku pergi dulu. Terlalu bersama akan menimbulkan gosip nantinya," ucap Davira memutus rantai percakapan mereka sebelumnya. Gadis itu beranjak dari posisi bersandar nyaman yang ia pilih untuk berbincang ringan dengan Raffa. Memutar tubuh dan memberi tatapan teduh pada remaja yang ada di depannya. Tangannya terulur, menepuk ringan pundak Raffa sembari tersenyum ringan.     

Davira tak banyak berkata lagi, pergi meninggalkan Raffa adalah pilihan terbaik untuk sekarang ini.     

"Kakak!" Remaja jangkung itu memangil dengan nada tegas. Menarik pergelangan tangan Davira yang baru saja ingin melangkah pergi dari hadapannya.     

"Percayalah denganku. Aku tak akan membuat kakak salah mengambil pilihan," ucapnya menegaskan.     

Davira tersenyum ringan. Mengangguk pasti kemudian perlahan melepas genggaman tangan remaja itu. Davira tak membalas apapun. Diam dan berlalu pergi sesaat helaan napas terdengar samar masuk ke dalam lubang telinga Raffa.     

Remaja itu menatap kepergian Davira dengan sayu. Langkah kakinya tak tegas. Sesekali memelan lalu kembali cepat untuk mengejar jarak yang masih dibilang jauh untuk kembali ke dalam kelasnya. Raffa menghela napas singkat. Bukan hanya Davira yang sedang dilanda gundah dan resah di dalam hatinya, namun juga Raffardhan Mahariputra Kin.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Langkah kakinya tegas membelah udara. Menyusuri setiap petak ubin yang menjadi alas pijaknya sekarang ini. Davira terus menatap apapun yang ada di depannya. Berjalan tegap, meskipun hatinya sedang lelah dan raganya terasa begitu payah. Fakta bahwa perselingkuhan sang kekasih kembali mengganggu hatinya selepas semuanya baik-baik saja dalam sekejap mata adalah hal yang membuatnya begini. Davira lebih hemat dalam berbicara, sejak pagi tadi ia mendiamkan sahabatnya. Canda tawa coba diutarakan untuk membuat hati sang sahabat lebih baik dari sebelumnya. Sebab dalam tebakan Arka, kedatangan Davira ke rumah sang papa sebab paksaan dari sang kekasih adalah penyebab dirinya bermuram durja sekarang ini.     

Langkah kakinya terhenti kala sepasang netra indah memblokir seluruh fokus gadis itu untuk kembali menatap apapun yang ada di depannya. Perawakan tubuh jangkung nan kurus identik dengan dirinya kini berjalan mendekat dengan senyum ringan dan lambaian tangan untuk menyambut. Davira menyeringai samar. Ditatapnya setiap langkah kaki bersepatu hitam yang jelas mengarah padanya.     

Tentu keduanya sama-sama menghentikan langkah kakinya sekarang ini selepas bertemu dalam satu titik yang sama. Davira menatapnya. Tegas tanpa mau terlewat satu perubahan raut wajah dari gadis itu.     

"Habis menemui Adam?" tanyanya berbasa-basi. Davira terdiam sejenak. Gadis bodoh, kalimatnya itu seakan memberi celah untuk Davira menghinanya sekarang.     

"Kenapa belakangan ini lo jadi peduli sama pacar gue?" Davira menyita fokus. Tersenyum seringai selepas nada bicaranya yang terkesan dingin dan ketus itu keluar dari celah bibir ranum miliknya.     

Davina didiamkan secara paksa. Tatapan gadis itu seakan bak seorang singa yang ingin memangsa kuda liar di depannya.     

"G--gue cuma penasaran aja. Karena belakangan ini kalian lebih sering terlihat bersama," ungkapnya beralasan.     

Davira tertawa kecil. Kekehan yang terdengar samar namun sedikit melingking. Siap menghina gadis tak tahu diri yang ada di depannya ini.     

"Apa masalahnya? Bukankah hal yang wajar jika sepasang kekasih terlihat bersama?" tanya Davira berkelit. Ia melangkah mendekat. Tepat berhenti kala ujung sepatunya menyentuh permukaan ujung sepatu gadis yang ada di depannya. Tatapan intens dan intim terjadi. Saling mendiamkan satu sama lain adalah keputusan Davira untuk memberi jeda waktu di antara keduanya sekarang ini.     

Tak bohong jikalau Davira ingin mengumpat dan meludah tepat di atas wajah gadis identik nama dengannya itu. Ia ingin menampar, memukul kepala dan menjambak habis rambut lawan bicaranya kali ini. Perselingkuhan yang terjadi sekali mungkin adalah sebuah kesalahan , namun jikalau itu terjadi untuk kedua kalinya itu adalah sebuah kebiasaan.     

Davira membenci manusia kotor yang suka berkhianat seperti Davina Fradella Putri. Jadi jangan salahkan dirinya kalau ia akan membuat Davina benar-benar hancur.     

"Jangan bilang ... lo masih suka sama Adam?" tanya Davira melanjutkan. Sejenak ia menyipitkan matanya. Menelisik perubahan ekspresi wajah gadis yang ada di sisinya.     

Bungkam tak bersuara, jawaban apapun akan terdengar bak sebuah kebohongan semata saja.     

"Bercanda." Ia mengimbuhkan. Tertawa ringan kemudian kembali menarik posisi berdirinya untuk menjauh dari Davina.     

"Kenapa lo tegang begitu. Kalau enggak tinggal jawab enggak aja," ucapnya menambahkan. Matanya kembali menelisik tepat mengarah pada gadis yang masih memilih diam dan membisu.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.