LUDUS & PRAGMA

106. Uluran Tangan Dari Si Baik



106. Uluran Tangan Dari Si Baik

0Suara gemercik air memisah suara lirih yang diucapkan gadis berambut panjang dengan posisi terikat rapi di atas punggungnya. Mata Davira Faranisa terus menatap aktivitas remaja jangkung yang ada di sisinya. Posisi mereka tak jauh, sangat dekat namun tak bisa dibilang intim dan bernuansa romansa. Arah tatap yang diambil Davira tepat mengarah pada satu pohon besar di sisi lapangan rumput belakang sekolah, sedangkan untuk lawan bicaranya tegas menatap gerakan jari jemari panjang nan kurus miliknya yang terus beradu dengan gemercik air yang turun dari lubang pancuran wastafel. Ia sesekali melirik Davira yang ada di sisinya. Gadis itu sesekali menghela napasnya, memanggil nama lawan bicaranya dengan nada berat berisi desahan ringan di akhir kata panjang yang diucap. Hatinya pasti lelah, raganya terlihat payah dan matanya sayu tak berarah.     
0

Davira mendapat sebuah fakta mengejutkan yang dikirim oleh informan terpercaya untuknya saat ini. Adam kembali menemui Davina. Si gadis sialan yang terus saja datang juga mengusik kehidupannya. Memang, semenjak dua tahun terakhir ini Davina tak terlalu dekat dengannya. Keduanya sudah baik orang asing kadang kala. Hanya menyapa, tersenyum, dan berbicara kalau ada urusan tertentu saja. Mereka jarang pergi bersama lagi, sebab Davina terlalu sibuk dengan dunianya, begitu juga Davira Faranisa.     

Akan tetapi, tetap saja mereka itu berteman. Bahkan Davina-lah orang pertama kalinya yang mendapat kalimat permintaan maafan dari dirinya kala menerima perasaan sang kekasih. Bagaimana bisa sekarang ia menjadi pengkhianat kotor seperti itu?     

"Terimakasih fotonya." Davira menyela pada akhirnya. Dilirik sepasang tangan yang baru saja mematikan keran air di depannya. Ia menoleh pada Davira. Tersenyum singkat dan mengerang ringan tanda memberi respon.     

Suasana sepi, hanya ada segelintir orang yang berlalu lalang di sekitar mereka. Sebab apapun tempat dan pesonanya, belakang sekolah tak akan pernah begitu menarik untuk beberapa orang. Mereka hanya akan mampir di kantin atau bermain di area depan sekolah. Lapangan rumput yang tak terlalu luas dengan taman kecil di sisinya yang kerap didatangi olehnya dan sang kekasih itu, tak sepopuler kantin atau food court yang di bangun di lantai paling atas sekolahan. Selepas dari semuanya, Davira lebih menyukai tempat seperti ini. Sepi dan hanya membiarkan orang-orang itu-itu saja yang datang kemari.     

Remaja jangkung itu ikut menyandarkan posisinya sama dengan Davira. Menatap jauh ke depan orang-orang yang berlalu lalang di depan mereka. Siang ini, surya sedang bahagia. Sinar agungnya memberi kehangatan pada apapun yang menerima sorot kuningnya. Awan menggumpal. Putih bersih tanda hujan tak akan turun siang atau sore ini. Nyaman memang suasananya, sebenarnya ini lebih cocok digunakan untuk berbincang ringan pasal hari baik dengan hati yang baik pula. Bukan berbicara pasal hal-hal konyol seperti ini.     

"Kenapa kakak memintaku untuk melakukannya? Aku mengira memintaku untuk mengulur waktu saat itu adalah permintaan pertama dan terakhir dari kakak." Ia berkata ringan. Menatap lawan bicaranya penuh makna. Gadis itu tersenyum. Entah sudah benar gila atau waras baru saja sejenak pergi dari dalam raganya. Pikiran Davira pasti sedang 'semrawut' sekarang. Tak hanya sekali, sang kekasih mengkhianati dirinya dua kali. Telak sudah segala rasa sakit yang ia dapatkan. Seakan dihantam benda tumpul lalu ditusuk-tusuk dengan ujung belati tajam. Rasanya ... sangat sakit.     

"Gimana sama tangan kamu? Sudah membaik?" Davira mengalihkan pembicaraan mereka. Sejenak menatap Raffa yang diam sepersekian detik berjalan. Remaja itu melirik perban yang ada di tangannya, kemudian mengangguk ringan tanpa mau memberi sepatah kata pun untuk Davira Faranisa sekarang ini.     

"Syukurlah. Semalaman aku memikirkan itu." Davira menundukkan pandangannya. Menatap ujung sepatu putih yang dibelikan oleh sang kekasih beberapa bulan yang lalu. Gadis itu kembali menghela napasnya. Berat dirasa, seakan pundaknya sedang ditimpa oleh beban batu berton-ton beratnya. Ia ingin mengeluh. Menyudahi semuanya dengan melupakan apapun yang dirasakan olehnya sekarang. Akan tetapi, apalah dayanya? Davira hanya seorang gadis payah yang sedang mencintai seorang remaja brengsek.     

"Kenapa kakak mempercayaiku dan meminta untuk membantu kakak?" ulangnya dengan tegas. Ia belum puas sebelum alasan itu didengar oleh kedua lubang telinganya. Raffa perlu alasan. Benarkah Davira mempercayai dirinya atau itu hanya sekadar tindakan bodoh dan terburu-buru yang pernah dilakukan oleh Davira sebab rasa lelah dan menyerah yang ia rasakan sekarang.     

"Ketika seseorang ingin melupakan seseorang yang dicintainya, ia akan membuang semua benda yang berhubungan dengan orang itu. Menjauh dan menyingkir agar orang itu tak lagi masuk di dalam ingatannya. Akan tetapi, ketika seseorang masih menyimpan kenangan tentang orang yang ingin ia lupakan, itu artinya ia tak benar ingin melupakannya. Ia hanya ingin beristirahat untuk menyesuaikan sesuatu yang mulai asing untuknya." Gadis itu menoleh. Menatap Raffa yang memilih diam untuk menjadi pendengar yang baik kali ini. Tak ingin banyak berkomentar, sebab dirinya paham gadis yang dicintainya itu pasti sedang kalut pikirannya dan payah hatinya.     

"Bagi Adam ... keadaan asing itu adalah aku," pungkasnya menutup kalimat.     

Raffa menyipitkan matanya tajam. Dahinya berkerut. Kedua alisnya terkulai turun ke bawah. Kepalanya menggeleng samar sebab sejenak belum bisa mencerna maksud kalimat singkat yang diucapkan oleh Davira untuk menjelaskan situasi kepadanya. "Kenapa kakak jadi orang asing untuk Kak Adam?"     

"Bukan aku, tapi suasananya. Aku mengetahui perselingkuhannya dan itu pasti membuat Adam terkejut. Ia hanya menepi dari menyingkir sejenak, lalu memutuskan untuk mengambil keputusan yang baru."     

"Keputusan itu ... dia kembali pada Davina sebab belum bisa melupakan perasaannya." Davira benar menutup kalimatnya dengan senyum tipis. Memudar kala menarik ponsel yang ada di dalam saku rok pendek miliknya. Ia membuka galeri ponselnya. Menampilkan foto yang diambil oleh Raffa kemarin malam dari hasil dirinya mengikuti sang kakak.     

"Aku tak tahu harus berterimakasih padamu atau marah sebab ini adalah berita buruk. Aku hanya ingin diam sekarang ini," ucapnya menatap satu jepretan gambar yang memenuhi layar ponselnya.     

"Kakak mempercayaiku?" tanya Raffa mengulang untuk yang ketiga kalinya.     

Lawan bicaranya menoleh. Tersenyum simpul, sembari menaikkan kedua bahunya bersamaan. "Memangnya aku bisa mempercayai dan meminta bantuan siapa lagi sekarang ini?"     

Keduanya melepas lelah dan beban. Menghela napas kasar bersamaan sembari memalingkan wajahnya untuk kembali menatap jauh di depan mereka. Raffa tersenyum seringai. Tepat dugaan. Dirinya mengenal sang kakak dengan baik. Adam tak akan pernah berubah hanya sebab satu teguran, itulah yang membuatnya terus memeriksa hingga hatinya mantap dan mulai percaya.     

Sebuah riwayat pesan masuk ke dalam ponsel sang kakak kala Adam sedang berada di kamar mandi. Tepat sebelum saat menjemput Davira untuk berkunjung ke rumah duka, remaja itu memergokinya.     

Raffa tak ingin menyimpan semuanya sendirian lagi, sebab Davira harus mengetahuinya. Itulah sebabnya dirinya memberi kabar pada gadis itu.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.