LUDUS & PRAGMA

108. Remaja Yang Rumit



108. Remaja Yang Rumit

0Davira memainkan ujung sendok yang ada di dalam genggamannya. Mengabaikan Arka juga Rena yang tegas memberi tatapan mengarah tepat pada dirinya saat ini. Davira bergabung bersama mereka siang ini, sebab Arka yang menarik tubuhnya untuk masuk ke dalam kantin sekolah. Bukan tanpa sebab dan alasan yang tak jelas, Arka melakukan itu sebab Davira terlihat sedikit lain siang ini. Gadis itu mungkin bisa menipu semua orang yang ada di sekitarnya. Menjadi seperti layaknya orang yang baik-baik saja tanpa ada luka dan duka yang dirasa oleh gadis bersurai pekat dengan ujung sedikit ikal itu. Akan tetapi untuk Arka? Ia adalah sahabat baik yang tumbuh dewasa bersama Davira Faranisa. Bahkan hanya dengan sekilas pandang saja remaja itu bisa menebak dengan benar bagaimana perasaan sahabatnya saat ini.     
0

Gundah.     

Gulana.     

Resah.     

Gelisah.     

Semua kata itu ada di dalam diri sang sahabat. Entah sebab apa, Arka akan segera mencari tahunya.     

"Makan baksonya, gue yang traktir." Arka menyela. Menuntun jari jemari Davira untuk melakukan hal yang benar siang ini. Rena yang duduk di sisi Arka menyenggol bahu remaja itu dengan tegas. Membuat tatapan remaja itu teralih padanya.     

"Gue yang bayar." Rena menyahut. Berdecak lirih kala Arka berdusta untuk terlihat baik di depan Davira. Ada satu kebiasaan buruk remaja itu kalau Davira sedang bersama dengan keduanya, Arka akan menjadi sok jagoan yang bersembunyi di balik punggung Rena Rahmawati. Sedikit menggemaskan memang hubungan mereka, namun bagi Arka maupun Rena itu semua masih terlihat wajar dan apa adanya.     

Tanpa rasa cinta? Bohong! Rena mulai tertarik dengan sahabatnya itu. Senyum Arka, tatapan mata Arka, bahkan cara remaja jangkung itu berjalan ... Rena menyukai semuanya. Ia mulai jatuh hati dengan Arka, remaja pertama yang berlaku baik dan hangat padanya.     

Jikalau Rena membutuhkan Arka, ia selalu datang. Tanpa ada pengecualian waktu dan selalu menyisihkan sibuknya. Arka selalu menemani dirinya. Memecah sepi dan hening yang ada di dalam rumah luas nan mewah sebab ia tak ada teman untuk berbincang. Akan tetapi, dibalik fakta kebaikan Arka, Rena hanyalah teman dekat yang mulai dianggap sahabat oleh dirinya. Jikalau Davira datang dan menyela, Arka akan selalu mengesampingkan dirinya. Davira Faranisa adalah si sahabat dan wanita nomor satu selepas mama kandungnya. Selalu mendapat perlakuan lebih dari remaja itu dengan memberi segala bentuk kebaikan dan perhatian yang dimiliki olehnya.     

"Lo ada masalah?" Rena menyahut. Mendahului Arka yang terkesan terlalu banyak berbasa-basi sekarang ini.     

Davira terdiam sejenak. Menatap kedua sahabatnya dengan penuh makna. "Gue cuma merasa bersalah sekarang ini," katanya melirih.     

Arka menautkan kedua alis hitamnya. Mendengar kalimat singkat dari Davira sedikit membuatnya terkejut. Menyesal? Sahabatnya menyesal? Namun, sebab apa? Apa yang membuatnya menyesal? Sebab menerima dan memaafkan kesalahan sang kekasih? Cecar pertanyaan itu kini ada dan memenuhi di dalam otak Arka. Ia terus menatap Davira. Manik mata indah itu kini mulai tak fokus. Sesekali melirik ke arah Rena dan dirinya, lalu pergi menyusuri tempat yang sekarang menjadi penuh mereka bertiga. Terakhir, lensanya menatap masuk ke dalam mangkok yang ada di depannya.     

"Menyesal karena Adam?" Arka bertanya dengan nada lirih. Sukses menarik perhatian Rena yang duduk tepat di sisinya. Gadis itu menoleh. Tepat menatap perubahan ekspresi serta arti semburat lensa indah remaja itu. Penuh harapan! Itulah kesan pesan pertama yang didapati oleh Rena kala menelisik arti tatap Arka untuk Davira. Remaja jangkung itu kiranya berharap Davira akan mengiyakan kalimat darinya. Mengatakan bahwa ia menyesal sebab kembali pada Adam Liandra Kin. Ya, Arka mengharapkan semua kalimat itu.     

Davira menghentikan aktivitasnya sejenak. Menatap kuah bakso bening sebab ia belum menambahkan apapun di dalamnya. Bahkan, Davira belum memakan satu butir bakso atau sekadar menyeruput kuah yang kini mulai dingin sebab tak segera ia lahap habis.     

"Sebab kematian Tante Mira." Dusta! Davira berdusta! Ia tak pernah menyesal atau merasa kecewa dengan kejadian itu. Toh juga, Mira meninggalkan dunia berserta keluarga tercinta bukan sebab dirinya namun sebab sebuah penyakit yang menggerogoti di dalam dirinya.     

"Kenapa lo menyesal? Karena gak menghantar Tante Mira untuk dikremasi?"     

Davira kini mengangguk-anggukkan kepalanya ringan. Mulai menyendok bakso yang ada di dalam mangkok. Gadis itu kasar mengunyah. Mengabaikan dua teman yang masih menatapnya dalam diam.     

"Kita bisa pergi ke pemakamannya kapan-kapan. Gue yang menemani." Rena menawarkan diri. Mencoba membuat sahabatnya sedikit lega saat ini.     

"Makasih, kalian adalah sahabat terbaik gue." Davira menyahut. Selepas memasukkan satu bakso dan mengunyahnya kasar, ia tersenyum ringan. Menatap satu persatu sahabat yang baru saja dikhianati oleh dirinya. Davira merasa bersalah sebab dirinya tak bisa berkata jujur untuk saat ini. Alasan ia tak bisa mengatakannya adalah ia tak ingin mengatakannya!     

"Gue ke kamar mandi dulu." Rena menyela. Tersenyum manis sembari menepuk pundak remaja yang ada di sisinya. Ia menatap Davira yang hanya mengangguk ringan sembari tersenyum ringan.     

Keduanya ditinggalkan. Hanya bersisa Davira dan Arka yang saling bertatap di dalam keramaian kantin sekolah. Davira sejenak melirik, namun saat merasa ada yang aneh dengan tatapan mata sang sahabat ia beralih. Kembali mengaduk bakso yang ada di dalam mangkok kemudian meraih saos pedas di sisinya. Ia ingin melakukan segalanya untuk menyibukkan dirinya saat ini. Ia tak ingin terjebak situasi dengan Arka apalagi sampai terus menatap remaja itu dalam diam penuh makna.     

"Lo berbohong 'kan?" Arka menyela pada akhirnya. Sukses membuat gadis yang kini sigap menghentikan aktivitasnya. Kembali meletakkan sendok saos yang baru saja ingin ia tuangkan ke dalam kuah bakso pesanannya.     

"Lo sedang berbohong bukan?" Ia mengulang. Menatap Davira dengan penuh kecemasan. Gadis itu masih kokoh. Dalam diamnya ia pasti dengan berpikir untuk mencoba menghindari sahabatnya kali ini.     

"Davira!" Sentak Arka sukses membuat gadis di sisinya mendongak. Ia menatap remaja itu. Dalam penuh makna dirinya terdiam sepersekian detik berjalan.     

"Apa yang lo sembunyikan dari gue?" Arka kembali meneruskan kalimatnya. Ia tak ingin melepas sahabatnya kali ini. Setidaknya Davira hanya cukup memberi sedikit kode dan isyarat padanya untuk bisa mengerti, apa gerangan yang membuat tatapan sahabatnya terkesan asing dan lain.     

"Gak ada Rena sekarang, jadi lo bisa—"     

"Kenapa memangnya kalau ada Rena?" Davira menyahut. Ketus sedikit nada bicara terdengar masuk ke dalam lubang telinga Arka. Kembali dirinya melepas sendok yang ada di dalam genggamannya dengan kasar.     

"Lo gak nafsu makan, wajah lo pucat, dan lo terlihat lemas juga sensi hari ini ...." Arka menghentikan kalimatnya. Menyipitkan mata untuk menelisik arti tatapan Davira.     

"Lo hamil anak Adam?"     

Plak! Pukulan mendarat tepat di kepala Arka dengan ujung sendok milik Davira. Gadis itu menghela napasnya kasar. "Persetanan gila ya lo!"     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.