LUDUS & PRAGMA

110. Dialog Malam Bersama Sahabat



110. Dialog Malam Bersama Sahabat

0Gadis itu menatap dengan tegas. Tepat mengarah pada paras tampan yang amat sangat dikenalnya dengan baik. Seorang remaja yang duduk rapi bersandar di kursi sofa kecil sisi ruangan, menyambutnya dengan senyum manis dan lambaian tangan yang terkesan samar nan canggung. Ia kini menoleh. Ditatapnya si pemilik kamar yang baru saja memasukkan sesuatu di dalam almari besar sudut ruang kamarnya. Ia terlihat amat kikuk sekarang ini. Bak seperti seorang bocah yang baru saja dilepas oleh kedua orang tuanya untuk berbaur dengan sekolah dan lingkungan barunya. Diam tak bersuara apapun, sepatah kata tak diucap sebab jujur saja semua terasa aneh dan asing. Langkah kakinya yang baru saja ingin tergerak masuk ke dalam, ia urungkan. Meletakkan kedua buah tangan yang ada di genggaman tangan kanan dan tangan kirinya Davira letakkan di atas lantai.     
0

Jari telunjuknya tepat mengarah pada remaja yang masih kokoh dalam duduknya. Raut wajah menyebalkan itu seakan coba menghinanya sekarang ini. Davira datang terlalu lambat! Itulah salah satu hinaan yang kiranya ada dan muncul dari arti tatap dan lengkungan senyum yang ditunjukan oleh remaja jangkung berkaos panjang pekat sepekat celana pendek yang sedang dikenakan olehnya sekarang ini.     

"L--lo!" Davira gagap. Sungguh, dirinya merasa dikhianati sekarang. Arka terlalu banyak berbohong padanya akhir-akhir ini. Davira tahu, jikalau dirinya pun juga merasa begitu. Membohongi sang sahabat sebab tak ingin memngikut campurkan Arka masuk ke dalam masalahnya. Namun jikalau soal Larisa, itu sangat lain. Seharusnya mereka saling terbuka dan jujur sebelum ini.     

"Davira!" Larisa antusias. Kembali menutup pintu almari yang ada di depannya kemudian berjalan sembari terus mengusap-usap perut yang mulai terlihat buncit.     

Gadis yang dipanggil kini menoleh. Terakhir kali ia bertemu dengan gadis pemilik nama lengkap Larisa Hannara Putri itu, gadis yang terlihat cantik dengan mata sipit dan wajah khas orang luar negeri itu tak tersenyum sebahagia ini. Katakan saja, Larisa terlihat lebih bersinar dan berbeda malam ini. Sebab kedatangan Arka yang tiba-tiba? Entahlah. Tapi mungkin saja.     

"Masuk," ucap Larisa mengajak. Ia mendekat pada Davira yang masih diam. Terus menunjuk tepat mengarah pada wajah remaja yang kini mulai memalingkan wajahnya. Senyum lucu terlukis di atas paras cantik Larisa. Tak menyangka pada akhirnya mereka bertiga bertemu dalam keadaan yang damai dan terlihat bahagia.     

"Sejak kapan dia ada di sini?" Davira memprotes. Ia tak rela jikalau dirinya terlihat bak seperti orang kikuk sekarang ini. Sedangkan remaja jangkung yang tadi sudah menuduh dirinya sedang mengandung anak dari sang kekasih duduk santai dengan mulai membaca majalah kecantikan milik Larisa.     

Arka menyukai bidang itu? Tidak mungkin! Ia hanya sedang mencari kesibukan agar bisa menghindari tatapan tajam dari Davira kali ini.     

"Dia sering datang ke sini. Kiranya dua minggu sekali." Larisa menjelaskan singkat. Menatap gadis yang kini mulai memindah sorot matanya tepat mengarah kepadanya. Davira jengkel, sedikit marah sebab Arka tak memberi tahunya banyak. Kiranya, ia dibohongi oleh Arka. Lagi!     

"Jangan marah gitu. Arka cuma kadang mampir sebentar untuk menjenguk. Baru malam ini dia datang sedikit lama." Gadis bermata sipit dengan rambut panjang yang ia ikat ala kadarnya itu tersenyum. Mengusap pundak Davira untuk mencoba membuat gadis itu sedikit tenang malam ini.     

Davira menghela napasnya. Menganggukkan kepalanya mulai memahami. Meskipun dalam hati ia ingin segera membuat perhitungan dengan sahabatnya yang benar-benar sialan dan menjengkelkan itu.     

"Ngomong-ngomong itu buat gue?" Larisa kembali menyela. Menunjuk tepat mengarah pada dua keranjang buah kecil yang bertumpuk dengan dua tanaman hias yang berjajar di sisinya.     

Gadis itu menundukkan pandangannya. Tepat mengarah pada sorot mata lawan bicaranya kali ini.     

"Tentu. Ini buat lo," sahutnya tersenyum ringan. Sigap jari jemari Davira kembali menarik jinjingan keresek putih besar yang membungkus semua buah tangannya malam ini. Kemudian kembali melangkah untuk berjalan masuk ke dalam ruang kamar Larisa.     

Ia meletakkan semuanya di atas ranjang. Kemudian kembali menatap paras Larisa yang terkesan benar-benar bersinar.     

"Gimana keadaan bayinya?" Gadis itu mulai bertanya. Sedikit berbasa-basi layaknya seorang tamu hang sedang berkunjung ke rumah seorang calon ibu baru.     

Remaja cantik setara usia dengannya yang baru saja dilempari pertanyaan singkat olehnya kini tersenyum hangat. Menganggukkan kepalanya setuju untuk memberi respon pada Davira.     

"Bergabunglah." Arka menyela. Menepuk sisi sofa tempatnya duduk untuk mengundang Davira datang mendekat.     

Gadis itu menyeringai samar. Memang benar menyebalkan Arka Aditya itu. Bisa-bisanya ia masih tersenyum selepas kepergok mendustai sang sahabat?     

"Bagaimana dengan Adam?" tanya Larisa kala Davira berjalan mendekat. Tepat terhenti kala ia merasa sudah cukup untuk melangkah. Davira tersenyum ringan. Duduk di sisi remaja cantik yang terus menatap setiap ekspresi wajah cantiknya.     

Davira memilih duduk sejajar dengan Larisa, sebab dirinya merindukan sahabat lamanya itu ketimbang Arka sekarang ini.     

"Arka bilang kalian semakin romantis aja. Gue jadi pengen ketemu sama Adam langsung." Kalimat itu terucap jelas oleh Larisa. Setiap kata yang keluar diikuti dengan senyum manis yang menyertai. Seakan apa yang dikatakan olehnya adalah sebuah kebenaran yang sedang terjadi. Jikalau itu berdasar atas apa yang diberitahukan oleh Arka, maka remaja jangkung itu sudah menipu dan berdusta pada Larisa Hannara Putri.     

"Kita sama aja dengan pasangan yang lain. Suka berantem dan salah paham." Ikut berdusta. Mengiringi suasana yang tercipta adalah pilihan Davira sekarang ini.     

"Kapan-kapan ajak Adam ke sini. Gue pengen membuktikan betapa romantisnya dia itu," kekeh Larisa dengan tawa kecil. Arka menimpali. Sejenak ikut tertawa dan memberi tatapan teduh pada sahabatnya. Senyum yang mengembang di atas paras cantik Davira sekarang, Arka mengenalnya. Benar tebakan yang selama ini ia simpan rapat di dalam hatinya kalau ada masalah baru yang sedang menimpanya sekarang ini.     

"Ngomong-ngomong, lo akan balik ke London lagi?" Davira menyela dan mengubah topik pembicaraan mereka. Tak ingin terlalu masuk ke dalam pembicaraan yang membuat hatinya tak nyaman. Untuk sekarang ini ia hanya ingin menyimpan semuanya sendirian. Tak ingin banyak memberi tahu pada dunia bahwa kekasihnya kembali berselingkuh. Memberi dirinya hantaman kedua yang amat sangat menyakitkan.     

"Hm. Mungkin bulan depan. Ada beberapa yang harus gue urus di sana." Larisa mempersingkat. Satu persatu menatap wajah kedua sahabatnya.     

"Kabarin kita kalau ingin pergi. Setidaknya kita bisa menghantar lo ke bandara." Arka menyahut. Tegas nada bicara ia ucapkan untuk Larisa.     

"Tentu." Gadis itu tersenyum ringan. Menutup kalimat sejenak dan membiarkan jeda kembali membentang dalam sepersekian detik.     

"Kalau aku menikah nanti, kalian akan datang?"     

Arka dan Davira saling tatap sejenak. Ikut tersenyum seiring dengan merekahnya lengkungan bibir di atas paras cantik Larisa. "Tentu. Kita juga ingin melihat orang baik yang mau menjadi ayah dari anak lo."     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.