LUDUS & PRAGMA

109. Surprise!



109. Surprise!

0Ketukan pintu dilakukan untuk ketiga kalinya oleh gadis bersurai pekat yang baru saja datang dengan buah tangan di dalam genggamannya. Ada buah-buahan segar, satu tanaman hijau yang katanya mampu menjaga udara tetap bersih. Ia tersenyum sesekali, kala melirik bawaannya sudah sangat memuaskan. Davira tak ingin datang dengan tangan kosong untuk menyambangi sahabat penanya malam ini. Dirinya ingin datang membawa kebahagian, meskipun hatinya gundah, gulana, resah, dan gelisah. Dirinya amat merindukan Larisa Hannara Putri tiba-tiba saja. Tak ada angin juga tak ada hujan yang turun menghantam bumi, namun bak disambar petir dari langit lepas, dirinya tiba-tiba berbeda.     
0

Davira ingin melepas segala keresahan yang ada di dalam pikirannya. Menjadi seorang gadis yang terlihat baik-baik saja adalah alasannya datang kemari. Ia ingin melupakan sejenak fakta bahwa sang kekasih sudah menyelingkuhi dirinya untuk kedua kalinya. Bak mendapat pukulan kedua dengan rasa sakit yang lebih luar biasa dahsyatnya, Davira hampir saja tumbang.     

Kembali gadis itu mengetuk pintu di depannya. Diam tak bersuara selepas satu jawaban datang dari dalam rumah. Gagang pintu ditekan, menandakan bahwa seseorang sudah berniat untuk menyambutnya datang malam ini.     

Sambutan yang luar biasa hangatnya, senyum ramah didapat Davira selepas sepasang netra sayu dengan kerut wajah di kedua ujung mata sipitnya itu datang menangkap perawakan tubuh Davira. Gadis itu sigap membungkukkan badannya penuh kesopanan. Kembali berdiri tegap kala suara samar menerima penghormatan dari dirinya. Wanita berbaju ala ibu rumah tangga itu menyapa dirinya. Menepuk pundak Davira dengan lembut kemudian memeprsilakan gadis itu masuk ke dalam rumah. Canggung awalnya, sebab jikalau ditelisik dengan baik ini adalah kali pertama gadis itu datang kemari. Pertemuan awalnya dengan Larisa terjadi di dalam sebuah toko baju di pusat perbelanjaan kota. Pertemuan kedua ia lakukan untuk menjenguk sang sahabat lama di dalam rumah sakit.     

"Mencari Larisa?" Wanita yang ada di sisi Davira kini menyela.     

"Tapi wajah kamu seperti tidak asing. Kamu teman dekat Larisa?" Wanita itu kembali mengimbuhkan. Terus menelisik wajah cantik gadis yang setara tinggi dengannya itu. Davira memang mengenal wajah wanita tua yang ada di sisinya itu. Tak asing, meskipun ia berubah menjadi lebih tua dari sebelumnya. Kiranya berpuluh tahun lamanya gadis itu tak pernah bertemu dengan nenek Larisa. Wanita baik yang selalu memberinya sepotong apel manis kala berkunjung ke rumah ini.     

Akan tetapi Davira paham benar, jikalau untuk wanita tua dengan kerutan mata yang terlihat jelas itu pasti sudah melupakan dirinya sebab usia semakin kuat menggerogoti ingatannya.     

"Aku adalah Davira Faranisa." Gadis itu menyahut. Tersenyum ringan kemudian. Matanya mulai menelisik perubahan wajah wanita yang ada di depannya. Terkejutnya memang bukan main kala satu nama gadis yang amat ia sayangi di masa lalu muncul dengan penampilan yang tak lagi sama. Dirinya pergi ke luar negeri untuk mengikuti sang putra. Lebih awal berpisah dengan Davira ketimbang cucunya sendiri. Rindu pasti ia rasakan sekarang ini. Melihat Davira tumbuh menjadi gadis yang lebih tinggi, lebih cantik, bahkan lebih manis dalam tersenyum dari kala ia melihat gadis itu dulu cukup membuatnya amat lega sekarang.     

"Kamu sudah besar, Nak." Wanita itu meraih bahu Davira. Mengusapnya perlahan kemudian memeluknya hangat. Melepas segala rindu yang ia rasakan kala sang cucu mulai menceritakan pasal Davira yang sudah menjadi gadis cantik sekarang ini.     

"Bagaimana dengan kabar orang tua kamu?" tanyanya menyela. Melepas pelukan hangat yang diberikan oleh dirinya untuk Davira Faranisa.     

"Mereka bercerai dan Davira tinggal dengan mama," jawabnya mempersingkat. Ia tersenyum kecut. Jikalau bukan nenek Larisa yang mempertanyakan hal itu, ia pasti sudah berpaling pergi dengan umpatan lirih tanda kesal hatinya.     

"Benarkah?" Ia menyentakkan kedua alisnya. Terkejut kala kabar itu didengar langsung oleh Davira. Tak menyangka, sebab Larisa tak pernah menceritakan itu padanya. Cucu cantiknya itu hanya bercerita pasal kebaikan Davira. Hidup mulia dengan seorang kekasih tampan yang ditujukkan oleh Davira melalui sebuah rekam gambar. Meskipun tak bertemu dengan Adam secara langsung, namun Larisa terus saja memuji ketampanan kekasih hati dari sahabat lamanya itu.     

"Itu sudah berlalu. Jadi aku tak ingin membahasnya," tutur Davira mengakhiri kalimat dengan lembut. Ia ingin terus berlaku sopan. Tak peduli jikalau hatinya tak nyaman sekarang ini.     

"Larisa ada, Nek?" Gadis itu kembali membuka suaranya. Senyum memudar seiring dengan arah tatapan mata yang jauh ia tempatkan di lantai atas. Jikalau Larisa tak berpindah kamar, maka pintu kayu yang langsung menghadap ke depan dan mampu terekam jelas oleh kedua lensanya itu adalah kamar milik Larisa.     

"Ada di kamarnya. Kamu bisa naik ke atas. Nenek akan membuatkan minuman." Wanita tua itu tersenyum. Menunjuk tepat mengarah pada pintu yang sudah ada di dalam tebakan Davira. Larisa ... masih sama.     

Gadis itu berpamit. Tersenyum ringan untuk mengiringi kepergian wanita berambut putih yang ia buat menggulung rapi di belakang lehernya. Ia kini mulai melangkah. Menuju ke lantai atas dengan menaiki satu persatu anak tangga yang ada di depannya. Tatapan mata Davira kini mulai menyapu setiap bagian ruangan yang ada di sisinya. Tak menyangka, jikalau ia akan datang kemari dengan suasana yang sama persis seperti kala itu. Tak banyak yang berubah di sini, hanya beberapa tata dekorasi yang di perbarui.     

Ada satu hal yang paling disukai oleh Davira kala datang kemari. Tatanan rumah ini sangat rapi dan menyejukkan. Klasik namun elegan. Didominasi oleh warna cream yang menyejukkan mata. Setiap ornamen diukir sedemikan rupa membentuk sebuah garis lengkung yang mempesona. Membuat siapapun yang menatapnya akan jatuh cinta pada pandangan yang pertama.     

Ia kini telah sampai di anak tangga terakhir. Sejenak langkahnya terhenti selepas menginjakkan kakinya di lantai paling atas rumah mewah yang hanya berpenghuni oleh tiga manusia saja. Larisa, kakek, dan neneknya.     

Gadis itu mulai menghela napasnya ringan. Melirik barang bawaan yang sengaja ia persiapan untuk Larisa dan calon putrinya. Davira tak bisa membelikan banyak mainan juga pakaian bayi, sebab dirinya tak tahu anak yang dikandung oleh sahabat lamanya itu berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Setidaknya ia bisa membawa buah untuk membuatnya tetap sehat, juga tanaman pembersih udara agar semua tetap terjaga dengan baik.     

Gadis itu kini melangkah. Tegas dan terkendali. Hatinya lebih baik sebab ia membuatnya begitu. Dirinya tak ingin menemui Larisa dalam keadaan yang payah dan menyedihkan, setidaknya berusaha tersenyum bahagia untuk menghibur sahabatnya itu adalah cara Davira menjadi sedikit lain saat ini.     

Ia mengetuk pintu. Satu kali hanya ada suara lirih yang terdengar. Dua kali ia mengetuk. Kini suara Larisa menyahut dengan menyertakan nama neneknya di bagian penutup kalimat. Davira tersenyum, ya dirinya datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Kejutan! Mungkin itu alasannya melakukan demikian.     

Ia membuka pintunya perlahan. Tersenyum dan ...     

--inilah kejutan yang sebenarnya!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.