LUDUS & PRAGMA

112. Rahasia Yang Terkuak



112. Rahasia Yang Terkuak

0"Belajarlah untuk ujian akhir semester satu. Jangan biarkan nilai kalian hancur di akhir perjuangan selama tiga tahun bersekolah di sini. Tiga bulan setelah ujian akhir semester satu, akan akan ujian akhir semester dua dan selepasnya kalian akan sibuk dengan ujian praktek dan ujian nasional. Persiapkan diri kalian dan jaga kesehatan sebab musim hujan akan tiba." Rentetan kalimat itu masuk jelas ke dalam lubang telinga gadis yang masih sibuk merapikan buku dan segala alat tulis yang ada di atas mejanya. Pergantian jam pembelajaran adalah saat yang tepat untuk menghela napas dan menjeda segala pemikiran yang ada di dalam otak. Davira membenci situasi seperti ini, semakin dekat dengan ujian akhir otaknya semakin diajak berlari untuk bisa menggapai segala hal yang ada di dalam kehidupannya sekarang.     
0

Davira membenci situasi hatinya yang terus saja begini. Tak kunjung membaik, sebab selalu memburuk setiap detiknya. Ia membenci fakta kemarin malam dirinya harus menangis di dalam dekapan sang sahabat. Juga, dirinya tak menyukai masa yang mendekati ujian nasional begini.     

"Ibu akan pergi dan kerjakan tugas kalian dengan baik. Tugas itu akan membantu nilai kalian nanti." Lagi-lagi suara menginterupsi. Kini semua serentak memberi jawaban. Tak ada yang bisa membantah kalau sang guru sudah memberi perintah.     

Davira kini mulai bangkit dari tempat duduknya. Berniat untuk pergi ke kamar mandi selepas sang guru pergi begitu saja. Meninggalkan suasana kelas yang semakin ramai dan riuh. Akan tetapi naas, Arka menarik pergelangan tangannya. Menyuruh dengan paksa gadis yang ada di sisinya itu untuk kembali duduk di tempatnya sekarang.     

"Kenapa lo—"     

"Lo yang kenapa?" Arka memotong kalimat gadis yang ada di sisinya. Matanya fokus menatap raut wajah sahabat lamanya itu. Davira tak bisa menyembunyikan apapun sekarang ini, mau tak mau dirinya harus membuka mulutnya.     

"Apanya yang kenapa?" Gadis itu menggerutu kesal. Membalas sorot lensa pekat yang ditujukan tepat mengarah padanya saat ini. Arka jelas sedang menginginkan adegan dan situasi serius penuh ketegasan di antara keduanya saat ini. Ia tak ingin berbasa-basi ini itu hanya untuk menyampaikan pesan utama yang mengganjal di dalam dirinya semalaman penuh.     

"Kenapa lo pergi gitu aja kemarin malam? Kita bahkan belum selesai berbicara bukan?" tanyanya memprotes. Ia paham kalau Davira pasti sedang kalut-kalutnya kemarin itu. Namun, tetap saja. Ia tak bisa mengakhirinya secara sepihak seperti itu. Pergi selepas melepas pelukannya dengan Arka Aditya tanpa berucap sepatah katapun adalah pilihan Davira untuk menghindari rentetan kalimat yang mungkin di cecarkan padanya. Toh juga, Davira sudah puas menangis di dalam pelukan sang sahabat. Melepas segala rasa aneh yang terus saja mengganggu di dalam dirinya.     

Kala ia mengetahui perselingkuhan sang kekasih, Davira tak bisa mengatakan pada semua orang. Bahkan dirinya tak bisa menangis sebab terlalu lelah untuk melakukan hal itu.     

"Memangnya apa yang perlu gue jelasin? Lo udah tahu semuanya. Jadi gue anggap, gue gak perlu menjelaskan apapun kemarin." Gadis itu menyahut. Tegas nada bicara terlontar keluar dari dalam mulutnya. Ia menghela napasnya kasar untuk mengakhiri segala kegundahan yang ada. Fakta terus saja memberi tamparan pada Davira, bahwa ia tak pantas mengharapakan Adam terus bersama di sisinya dengan setia. Semesta seakan ingin menunjukkan pada Davira betapa payah dan menyedihkan dirinya saat ini. Pilihan untuk memaafkan Adam adalah sebuah kesalahan yang besar.     

"Kalau ngomong sesuatu kemarin ... apa yang akan lo sarankan setelah itu?" Davira kembali berucap. Kini melirik sahabatnya yang terdiam membisu.     

Aneh, bagi Arka ini sang aneh. Ia hanya perlu mengatakan pada Davira bahwa dirinya menyarankan agar Davira melepas Adam. Segala pemilihan untuk tetap bersama remaja itu hanyalah sebuah kesalahan semata. Akan tetapi, Arka tak bisa melakukan itu. Dirinya hanya bisa terdiam sekarang ini.     

"Lo akan menyarankan untuk mengakhiri hubungan dan meninggalkan Adam bukan?" Ia menyeringai. Bukan Arka yang membuatnya muak, namun keadaan seperti ini. Terus saja berulang dan tak pernah usai.     

Remaja jangkung yang ada di sisinya ikut merekahkan senyum yang manis dan sopan terlihat oleh kedua lensa pekat milik Davira. Tubuhnya menyerong. Tepat mengarah pada gadis yang duduk di sisinya dengan rapi menyilangkan tangannya di atas perut.     

"Gue bilang gue menghargai semua keputusan yang lo buat. Gue gak akan memaksa lagi." Arka menimpali. Memalingkan wajahnya untuk menatap papan tulis kotor yang mulai bersihkan oleh temannya di depan sana.     

"Bertahanlah jika bisa. Buat keputusan untuk kedua kalinya dengan mempertimbangkan banyak hal. Jika bisa, balas dendam lah. Sampai Adam dan Davina memohon belas kasih sama lo." Remaja itu kembali berkata. Kalimatnya tegas. Sukses membuat Davira menoleh dan menatap dirinya dengan tajam. Davira tak pernah tahu, jikalau sang sahabat bisa berubah seperti ini.     

"Lo menyuruh gue untuk balas dendam?"     

Arka kini bangkit dari posisi duduknya. Melirik sesekali Davira yang masih mengikuti setiap gerak-geriknya saat ini. Remaja itu tersenyum miring. Menepuk pundak Davira dengan tepukan ringan.     

"Gue cuma menyarankan. Gue bisa jadi bala bantuan terbaik," pungkasnya menutup kalimat.     

Davira menghela napasnya ringan. Memang ... Arka bukan orang yang mudah ditebak belakangan ini. Bagaimana bisa ia menjadi remaja lain yang terus saja memberinya kejutan seperti ini? Toh juga, dari mana Arka pasal perselingkuhan Adam? Mungkinkah Raffa memberi tahu? Ah! Sudahlah.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Matanya manis memandang wajah tampan di depannya. Sesekali tersenyum ringan kala Adam Liandra Kin mulai menghela napasnya bagai orang yang tak sabaran. Remaja itu menfokuskan seluruh lensa tajamnya untuk menelisik segala tulisan dan nama yang tertera di atas keras di depannya. Tak ada yang bisa mengganggu Adam kalau sudah fokus begini, hanya terus menatap kertas di depannya dengan memainkan pena di dalam genggaman jari jemarinya untuk mengusir bosan.     

Gadis itu kini terkekeh kecil. Tawanya itu sukses menarik perhatian sang laki-laki. Tak ada yang aneh juga tak ada yang lucu, namun tawa itu seakan memberi penegasan padanya bahwa ada yang sedang salah di sini. Sekarang.     

"Kenapa tertawa?" tanya Adam menelisik.     

Gadis itu menggelengkan kepalanya sembarik menaikkan kedua bahunya bersamaan. Tak ada, tak ada yang lucu memang. Namun melihat wajah Adam seperti itu amat sangat menggemaskan untuk Davina Fradella Putri.     

"Nanti malam mau makan malam sama gue?" tawarnya mengubah topik pembicaraan mereka.     

Adam mengernyitkan sejenak dahinya. Berpikir untuk menimang-nimang kalimat gadis yang duduk di sudut ruangan dengan terus memperhatikan apapun yang dilakukan oleh Adam.     

"Makan malam? Berdua?" tanyanya memastikan.     

Davina tersenyum ringan. "Lo berniat untuk mengajak Davira dan menjadikan obat nyamuk di sana?" tanyanya memincingkan mata tegas. Tatapannya kini terkesan lain, dan Adam paham akan arti tatapan itu. Tak suka dan tak akan pernah suka! Itulah artinya.     

"Ini makan malam pertama kita setelah berbaikan. Bukankah harusnya dibuat romantis dan pribadi?" Davina kembali mengimbuhkan. Sisi bibirnya naik dengan tajam. Terdiam sesaat untuk menunggu respon dari remaja yang ada di depannya sekarang ini.     

"Tentu, gue akan memilih tempatnya." Adam tersenyum. Meletakkan pena yang ada di dalam genggamannya kemudian menarik ponsel yang ada di sisinya. Jari jemarinya mulai luwes bermain untuk mengolah apapun yang ada di dalam ponselnya. Mengetikkan beberapa huruf untuk menjangkau tujuannya sekarang ini. Tempat makan terbaik untuk merayakan hari yang baik pula.     

"Gue sudah menentukan tempatnya." Davira menyela. Bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan mendekat.     

"Rumah makan seafood di pertigaan jalan belakang sekolah, katanya ada menu baru di sana. Gue pengen mencoba itu." Ia kembali membuka suaranya. Tersenyum manis di bagian akhir kalimat.     

"Oke, kita akan ke sana. Gue jemput lo pukul tujuh." Adam menghela napasnya ringan. Lalu meletakkan ponsel dan mengganti benda itu dengan pena hitam untuk kembali pada aktivitasnya sebelum ini.     

"Adam ...," panggilnya melirih.     

Remaja itu kembali mendongak. Menatap gadis yang kini duduk di atas meja sisi dinding tempat tas biasa diletakkan.     

"Gue punya satu pertanyaan yang mengganjal di dalam hati gue sekarang. Boleh gue menanyakan itu?"     

"Hm. Tanya aja," ucap Adam menyahut sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.     

"Davira tahu tentang kita?" tanyanya memastikan. Lensa itu semakin tegas dan sentral untuk menelisik arti perubahan wajah remaja yang ada di depannya.     

Adam terdiam sesaat hening membentang di antara keduanya. Saling melempar tatapan satu sama lain dengan makna dan arti yang berbeda. Davina berharap Adam jujur sekarang ini, namun yang ada di dalam lensa Adam adalah sebuah arti dan makna ingin segera mengakhiri percakapan mereka.     

"Kenapa tanya gitu? Udah gue bilang hanya kita yang tahu tentang ini."     

"Kayla tahu." Davina memotong kalimat. Sukses membuat Adam membulatkan kedua matanya sejenak.     

"Gue yakin, Arka juga tahu." Gadis itu mengimbuhkan.     

"Lo yakin Davira gak tau tentang ini?" tangannya mencecar sang kekasih gelap dengan pertanyaan bodoh. Tidak, bukan sedang lepas kendali. Davina mempertanyakan itu hanya untuk memastikan reputasinya di sekolah masih baik-baik saja.     

Semuanya mengenal dirinya sebagai gadis baik yang tak akan pernah melakukan kesalahan kotor seperti ini. Davina adalah si cantik yang murah senyum. Akan menyapa ramah kalau namanya dipanggil dengan antusias. Cara berbicaranya juga sopan dan bersemangat. Santun adalah sikap yang dimiliki oleh seorang Davina Fradella Putri.     

"Kayla pasti mencari tahu sendiri karena membenci gue dan lo. Wajar saja." Adam mulai membuka mulutnya. Kini ikut berdiri dan mulai memutar langkahnya untuk berjalan menghampiri gadis di depannya.     

"Arka pasti juga curiga sebab kita satu tim. Tapi lo yakin dia akan memberi tahu Davira? Hei, Davina. Arka itu orang bodoh yang terlalu mencintai sahabatnya. Jika dia memberi tahu itu, maka itu akan menyakiti hati Davira bukan?" Adam mencoba untuk mulai bernegosiasi dengan gadis cantik di depannya itu.     

"Hanya kita yang tahu tentang ini semua," tukasnya menutup kalimat.     

"Kalian ngapain?" Seseorang menyela. Sukses membuat Adam dan Davina menoleh bersamaan.     

Seseorang baru saja keluar dari ruang ganti di sudut ruangan. Itu artinya ... ia mendengar semuanya?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.