LUDUS & PRAGMA

111. Untuk Gadis Bodoh



111. Untuk Gadis Bodoh

0Hening membentang kala Arka dan Davira memutuskan untuk mengakhiri kunjungan mereka. Berpamit pada nenek juga Larisa yang mengindahkan kepergian mereka dengan senyum manis yang mengiringi. Banyak kata terimakasih yang terucap dari bibir sang nenek sahabat lamanya, Davira terlalu baik dengan membawakan semua buah tangan itu. Gadis itu hanya tersenyum manis sesaat. Menjawab 'ini-itu' untuk berbasa-basi dengan nenek juga Larisa. Di tempat ini hanya ada mereka berdua sekarang. Tak ada siapapun sebab taman kota dengan komplek tempat tinggal Davira juga Arka akan sepi kalau jam larut akan datang. Pukul sembilan malam lebihnya setengah jarum jam berputar. Hawa dingin semakin kuat menusuk juga kerikan jangkrik sesekali menyela. Hanya ada dua lampu besar yang menerangi keduanya sekarang. Tak ada keramaian yang menyela hanya sesekali pengendara melintas untuk pulang ke peraduannya selepas lelah beraktivitas.     
0

Arka meluruskan kakinya. Menatap bentangan cakrawala yang ada di atas atasnya saat ini. Suasana sangat tenang. Langit redup kosong tak ada bintang. Rembulan indah sempurna membulat di atas sana. Cahaya kuningnya terlihat begitu cantik nan agung tanpa ada yang mampu menyainginya.     

Tatapannya berubah kala sang sahabat kasar menghela napasnya. Seakan memberi isyarat pada dirinya untuk menoleh tepat mengarah pada paras cantik Davira Faranisa malam ini. Gadis itu ikut meluruskan kakinya. Menatap bentangan cakrawala yang indah sebab biru kosong seperti itu, baginya sangat indah dan menenangkan.     

"Lo ada masalah 'kan?" Arka kembali angka bicaranya. Tak ingin banyak berbasa-basi kali ini. Dirinya hanya ingin pergi menuju ke point pembicaraan yang sempat tertunda tadi siang.     

Ia hanya bergurau, pasal menuduh Davira sedang mengandung anak sang kekasih. Ia paham dan mengenal baik bagaimana Davira Faranisa. Ia adalah gadis keras kepala yang tak akan pernah melakukan hal bodoh seperti itu. Ia memang cinta pada sang kekasih, namun cinta itu tak akan pernah bisa meruntuhkan pendiriannya sebagai seorang gadis yang masih suci.     

"Lo mau ngira gue hamil anak Adam?" Davira menggerutu. Sejenak ditatapnya sang sahabat yang tertawa kecil, kemudian kembali menatap bentangan langit di atas sana.     

Ia menikmati suasana saat ini. Sepi dan tenang tak ada yang merusaknya.     

"Gue cuma bercanda." Arka menyahut. Menimpali selepas tawa ringannya itu hilang. Ia menghela napasnya. Kembali menyenggol bahu sang sahabat sebab dirinya tak ingin banyak membuang waktunya. Davira berubah sejak kemarin malam. Seakan sesuatu kembali menghantam kepercayaannya.     

"Lo ada masalah lagi 'kan?" tanya Arka kembali mencecar gadis itu dengan pertanyaan yang sama. Arka tak akan pernah muak dan lelah sebelum sahabatnya mengaku kali ini. Cukup, dirinya cukup diam selama ini. Kini saatnya ia menjadi seorang remaja yang berguna untuk Davira.     

Ia kembali menghela napasnya. Kokoh dan tak akan pernah mau berhenti sampai ia mendapat jawaban pasti dari sang narasumber, itulah Arka Aditya. "Gue cuma capek aja. Hidup gini-gini aja dan gak pernah berubah menjadi lebih baik."     

"Karena Adam?" Remaja itu menyahut. Menatap Davira dengan penuh makna. Menelisik setiap perubahan dan aktivitas gadis yang menjadi objek utamanya malam ini. Arka tak ingin kehilangan apapun sekarang, bahwa raut wajah dan mimik dari Davira adalah bagian dari kesimpulannya di akhir nanti.     

"Kenapa dengan Adam, lo bertengkar sama dia lagi?" Davira mengalihkan. Berpura-pura menjadi gadis bodoh yang tak mengerti apa-apa sekarang ini. Ia hanya ingin tutup mulut dan tutup telinga jikalau ia menyangkut pasal Adam dan Davina. Dirinya hanya ingin terus mengawasi sekarang ini. Menjadi penonton bisu yang berpengaruh di akhir kisah, adalah pilihan Davira Faranisa untuk sekarang. Ia tak ingin melakukan banyak hal. Melangkah terlalu tergesa-gesa akan merugikan dirinya sendiri.     

"Lo yang bertengkar sama dia," susulnya selepas kalimat itu habis. Arka memutar tubuh jangkungnya. Meraih pergelangan tangan sahabatnya dan menghangat itu dengan genggaman erat jari jemari panjang miliknya. Ia menatap dalam-dalam. Seakan mencoba mengulik arti tatapan yang diberikan oleh Davira padanya malam ini.     

Arka tahu, sesuatu tersembunyi di dalam saja. Sorot mata itu memang teduh, namun terkesan sangat aneh dan asing. Baginya Davira akan memberi tatapan seperti ini kalau sesuatu sedang mengusik batin dan jiwa gadis itu hingga membuat rasa gelisah ada dan menyelimutinya.     

"Lo gak mau jujur sama gue?" Arka kembali menyahut. Kali ini suara berat itu terdengar begitu lemah dan lirih. Mencoba membujuk Davira agar mau mengatakan apapun yang mengganjal di dalam hatinya.     

"Apa yang harus gue katakan, semua udah gue katakan sama lo. Lo berharap sesuatu hal yang buruk terjadi?" tanya gadis itu sedikit meninggikan volume bicaranya. Ia datang dan memenuhi panggilan sang sahabat untuk menghabiskan malam bersama bukan untuk membuat hatinya semakin kacau. Ia ingin berbicara dengan Arka, namun dalam topik pembicaraan yang ringan dan bersahabat.     

"Lo mau berbohong sama gue lagi?"     

"Lo sendiri? Lo berbohong soal selalu datang ke rumah Rena dan Larisa. Lo berbohong dengan tidak berkomunikasi sama papa. Lo pikir itu bukan kebohongan?" Davira memprotes. Menautkan kedua alisnya sembari melipat keningnya samar. Ada yang aneh, selalu saja rasanya seperti ini.     

"Maaf soal itu. Tapi gue—"     

"Kebohongan tetaplah kebohongan Arka. Itu pun lo terapkan sama gue. Jadi jangan mencoba mencari pembelaan." Gadis itu melirih. Memotong kalimat sang sahabat yang baru saja ingin beralasan untuk membenarkan posisinya. Davira paham betul, mereka berdua berdiri di atas dosa dan kesalahannya masing-masing. Bukan lagi sebagai Arka Aditya dan Davira Faranisa yang selalu terbuka dan saling mengerti, semakin dewasa semakin banyak hal berubah di antara keduanya.     

Proses pendewasaan memang terkadang lebih menyakitkan dari apa yang terjadi di masa lalu untuk Davira. Namun, mau diapakan lagi? Semesta sudah mengatur semuanya.     

"Gue mau pulang. Sebab sudah malam." Davira beralasan bangkit dari posisi duduknya untuk pergi meninggalkan sang sahabat. Melangkah jauh dengan kecepatan sedang yang berirama.     

"Adam selingkuh lagi?!" Remaja itu berteriak. Sukses membuang langkah gadis yang baru saja ingin mengungkapkannya terhenti. Davira memutar tubuhnya cepat. Menatap remaja yang kini melangkah mendekat ke arahnya.     

"Gue tau Davira ...." Ia mengimbuhkan. Meraih bahu sahabatnya yang kini mulai menghela napasnya kasar.     

Davira menundukkan pandangannya. Menatap ujung sepatu kotor sebab rumput yang dipijaknya saat ini. "Gue harus gimana sekarang?" ucapnya melirih. Perlahan air mata itu menetes. Butiran bening yang selama ini disimpan rapi di dalam kelopak matanya tak bisa lagi ia bendung. Tetes demi tetes terjun mengenai ujung sepatunya. Isak tangis mulai terdengar.     

Arka meraih bahu sahabatnya. Menatap Davira dengan penuh kecemasan.     

"Gue harus gimana lagi?!" teriaknya sembari menaikkan pandangannya. Kini gadis itu menangis sejadi-jadinya. Tak bisa membendung segala amarah juga rasa sedih bercampur kecewa yang diberikan oleh sang kekasih padanya.     

Arka meraih tubuh gadis itu. Memeluknya hangat dan mengusap punggungnya dengan penuh kasih sayang.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.