LUDUS & PRAGMA

113. Kucing Berharap Menjadi Singa



113. Kucing Berharap Menjadi Singa

0Kalian ngapain?" Seseorang menyela. Sukses membuat Adam dan Davina menoleh bersamaan.     
0

Seseorang baru saja keluar dari ruang ganti di sudut ruangan. Itu artinya ... ia mendengar semuanya?     

"Candra?" Davina menegur. Berjalan menjauh dari posisi Adam berdiri. Keduanya saling tatap dalam diam. Sejenak hening membentang seakan menjadi pertanda betapa canggungnya siang ini.     

Remaja berambut cepak bak seorang tentara yang cuti dalam masa liburnya itu menyela. Berjalan mendekat pada dua remaja yang mulai saling memalingkan wajahnya.     

"Sejak kapan lo ada di dalam bilik ganti?" Davina menunjuk. Tepat mengarah pada tirai hitam yang ada di sudut ruangan. Candra tersenyum miring. Melirik jam dinding yang menggantung rapi di tengah ruangan.     

"Entahlah. Gue nyari tempat tidur. UKS penuh dengan orang sakit hari ini." Remaja itu menimpali. Memicingkan matanya sembari tegas menaikkan kedua alisnya bersamaan. Ia berjalan menjauh. Mengarah tepat pada tas punggung hitam yang digeletakkan oleh dirinya di atas lantai.     

"L--lo mendengar semuanya?" Ragu Davina kembali membuka mulutnya. Melirik sejenak sang kekasih gelap yang hanya terdiam memilih menjadi saksi bisu sekarang ini.     

Adam menghela napasnya ringan. Baiklah, berusaha untuk tetap tenang dan menguasai kondisi memang sulit, namun apa salahnya mencoba bukan?     

"Apa aja yang lo denger?" Adam kini menyela pembicaraan mereka. Sejenak menatap Davina yang diam membisu kala dirinya mulai mengambil alih. Adam paham, Candra adalah si baik yang tak akan pernah mau memihak siapapun. Ia adalah si kokoh dalam membangun pendirian. Tak ingin terlibat dalam masalah yang bukan menjadi ranahnya.     

"One Thing, Drag Me Down, Story—"     

"Maksud lo?" Davina menyela. Menatap remaja yang kini menaikkan kedua alisnya sebab terkejut dengan cara Davina berbicara. Sedikit aneh, seperti seseorang yang sedang tertangkap basah sekarang ini.     

Remaja berhidung standar dengan tubuh kerempeng tak berlemak itu menunjukkan ponsel yang masih tertancap dengan earphone putih miliknya. Tepat mengarah di depan Davina juga Adam seakan memberi isyarat pada keduanya bahwa ia tak mendengar apapun. Telinga tersumbat dengan earphone selagi mencoba untuk terlepas. Namun selepas puas untuk menenangkan raga dan pikirannya, ia bangkit. Kembali dengan mata terbuka dan mendapati kedua remaja itu saling tatap dengan kesan yang intens.     

"Gue dengerin lagi one direction. Ada yang salah?" Candra menimpali. Tatapannya polos mengarah pada dua remaja yang kini menghela napasnya bersamaan.     

"Ada yang salah?" tanya remaja itu mengulang.     

Davina menggelengkan kepalanya. "Enggak. Gak ada yang salah. Gue pergi dulu," ucapnya memutus rantai pembicaraan di antara mereka.     

Adam kini menundukkan kepalanya. Menatap permainan ujung sepatu yang menggesek halus dan bersihnya ubin yang menjadi tempatnya berpijak sekarang ini.     

"Kalian coba menyembunyikan sesuatu?" tanya Candra kembali berucap kala memastikan Davina sudah pergi dari ruang basket. Remaja jangkung itu menaikkan pandangannya. Tepat mengarah pada remaja setara tinggi dengannya itu. Tatapan Candra tak bersahabat. Seakan menaruh segala kecurigaan untuk Adam Liandra Kin saat ini.     

"Cuma perdebatan kecil masalah pemilihan ketua yang baru. Lo juga akan tau nanti." Adam menepuk pundak remaja yang ada di sisinya. Tersenyum kaku kemudian kembali ke meja tempat dimana ia bekerja sebelum ini. Mata remaja itu kembali fokus menelusuri dokumen yang ada di depannya. Sesekali melirik Candra yang memutuskan diam sejenak lalu mengangkat kedua bahu dan memilih pergi meninggalkan Adam di sana.     

--syukurlah, semua berakhir dengan normal.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Suara langkah kaki mulai terdengar samar. Kini menyisakan suasana hening sebab tak banyak orang yang berlalu lalang di lorong sekolah. Seperti sebuah 'dejavu' yang kembali terulang untuk kedua kalinya. Ia berpapasan dengan Davina Fradella Putri. Sangat membosankan! Dari sekian banyak manusia yang menghuni sekolah ini, mengapa harus Davina?!     

Kayla Jovanka berjalan tegas menyusuri lorong dengan langkah yang kian dipercepat bukan tanpa sebab dan alasan yang jelas. Dirinya melibat Davira masuk ke dalam perpustakaan sekolah sendirian. Waktu yang tepat untuk berbincang dengan gadis itu secara intim. Toh juga, suasana perpustakaan sangat mendukung untuk itu semua.     

Namun apa ini? Sialan betul semesta itu. Selalu saja menyelipkan hama di dalam rencana yang sudah disusun apik oleh dirinya.     

"Kenapa lo berhenti?" tanya Kayla menatap tajam gadis yang baru saja menghalangi langkah kakinya.     

Davina tersenyum miring. Menghela napasnya kasar kala lensa matanya bertemu dengan netra pekat milik Kayla. Gadis itu meraih pundak Kayla. Mengusapnya perlahan sembari menatap pergerakan tangannya sendiri. Sigap tubuh gadis itu menghindar. Tak ingin banyak berbasa-basi dan membuang waktunya di sini. Gadis kurang ajar ini tak patut di beri waktu oleh dirinya.     

"Gimana ini, tapi gue yang menang." Davina menyela. Bibirnya berkerut seiring dengan lipatan kening samar dengan kedua alis yang duduk rapi di atas mata indahnya itu saling bertaut.     

Kayla memindah fokus matanya. Sigap menelisik arti tatap mata bersama dengan senyuman bibir yang amat menyebalkan itu. Menang? Ah, soal Adam!     

"Lo yang kalah," ucapnya mengimbuhkan.     

Kayla ikut tertawa kecil. Kasar ia mendorong tubuh lawan bicaranya itu. Membuat Davina mundur ke belakang dengan irama langkah yang tak pasti. Gadis itu berjalan mendekat. Mengikuti gerak langkah kaki yang diciptakan oleh Davina sekarang ini.     

"Kita mulai babak kedua kalau begitu," paparnya menarik sisi bibir tipis. Memberi kesan bahwa ia tak akan tumbang dan menyerah semudah itu. Kayla bukan tandingan untuk Davina. Dirinya memang terlihat lemah dan payah, hanya diam bak saksi bisu yang tak mampu berbuat apapun sekarang ini. Akan tetapi, gadis sialan itu salah besar! Bahkan jika harus membuat kedua kaki indah Davina patah pun, ia tak akan pernah ragu untuk melakukannya.     

"Di babak kedua kita lihat ... masih 'kah lo bisa sesombong ini?" Ia tertawa lepas. Mendorong bahu Davina hingga membuat tubuh gadis itu terdorong kasar menabrak tembok lorong yang ada di belakangnya. Gadis itu kini menatap tajam sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi dan meninggalkan lawan bicaranya di sana.     

"Soal Davira!" teriak Davina kembali memutus langkah gadis yang ada di depannya.     

"Lo pikir dia akan sanggup untuk menghancurkan Adam?" tanyanya mengimbuhkan.     

Kayla menoleh. Tepat mengarahkan tatapan mata indahnya pada gadis yang masih saja belum mengerti keadaan barunya di sini.     

"Lo pikir bisa bekerja sama dengan dia?"     

"Lo pikir gue akan berkerja sama dengan gadis bodoh seperti Davira?" Kayla menyahut. Kembali melangkah untuk mendekat pada gadis yang ada di depannya.     

"Kalian ... maksud gue lo dan Davira bukan cuma sama dalam nama, namun juga sama dalam bersikap. Bodoh dan ceroboh," susulnya menyeringai. Kembali memutar langkah meninggalkan gadis yang masih mematung di tempatnya sekarang ini.     

Tak ada yang bisa ia katakan sekarang. Cukup melihat kepergian Kayla yang berjalan meninggalkan dirinya tanpa ada keraguan sedikitpun. Jika seseorang bertanya padanya bagaimana perasaan Davina sekarang? Akan sangat berbohong jikalau ia tak merasa sedih dan khawatir dengan keadaannya sendiri. Sebelum Adam resmi memutuskan Davira, maka tak akan ada ketenangan yang menyelimutinya.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

"Katakan apa yang lo inginkan sekarang? Jangan hanya berdiri dan membuat gue muak." Davira menyela. Memutuskan untuk memulai pembicaraan di antara keduanya. Kayla datang tanpa undangan juga tentunya tanpa diharap-harapkan sebelumnya. Gadis bermata kucing itu menerobos masuk ke dalam perpustakaan. Mencari keberadaan dirinya dan hanya berdiri diri diam tanpa ada suara apapun yang terdengar. Bibirnya terkunci rapat, tak sepatah katapun gadis itu ucapkan untuk Davira Faranisa.     

"Gak mau? Kalau gitu gue akan pergi." Davira kembali berucap kala Kayla masih diam bungkam tak mau banyak bersuara. Ia menghela napasnya kasar. Sejenak melirik jari jemari gadis itu yang sigap masuk ke dalam kantong rok pendek miliknya.     

"Jangan membuang waktu gue untuk—" Ucapan Davira terhenti kala matanya merekam pemandangan yang tak bisa dibilang wajar. Kayla diam. Bungkam membisu dengan tangan yang terulur padanya. Memberikan sebuah amplop cokelat kecil yang baru saja dikeluarkan gadis itu dari dalam saku rok pendek yang dikenakan olehnya sekarang ini.     

"Lihat sendiri ... dan putuskan." Kayla kini berucap. Lirih nada bicaranya terdengar samar masuk ke dalam lubang telinga gadis di depannya. Davira mengernyitkan dahinya tegas. Matanya perlahan menyipit dengan tangan yang mulai menerima pemberian Kayla. Buka tanpa keraguan tertuang di dalamnya, tentu Davira sangat ragu sekarang ini. Meskipun Kayla banyak membantunya namun tetap saja, gadis itu adalah musuh utama yang harus dihindari olehnya.     

Kini perlahan Davira membuka amplop itu. Menatap dengan tegas apa gerangan yang terlihat begitu misterius dan mencuri perhatiannya saat ini. Ekspresi wajah Kayla datar dan serius, seakan memberi kesan penambah bahwa situasi yang terjadi tak bisa diabaikan dan diremehkan oleh Davira sekarang ini.     

"Haruskah gue membukanya sekarang?" Davira bertanya. Menghentikan aktivitas untuk kembali menatap Kayla dengan benar.     

"Buka dan buat keputusannya." Kayla tersenyum aneh. Tipis lengkungan bibir itu menghias di atas paras cantiknya. Bukan Davira kalau hanya menurut saja. Dirinya kini ikut tertawa ringan.     

"Soal Adam lagi?" tanyanya menebak asal.     

"Gue hanya bilang buka dan buat keputusannya." Kayla masih kokoh dalam pendiriannya sekarang ini. Tak ingin banyak berbincang dengan Davira sebelum isi amplop itu dibuka.     

Gadis itu berdecak. Sigap menarik isi amplop dan mengeluarkannya. Matanya tajam memandang. Rekam gambar yang sungguh menakjubkan! Sang kekasih berciuman dengan Davina Fradella Putri? Ya! Benar-benar sialan.     

"Jadi bagaimana?" tanya Kayla tegas.     

Davira kembali mengembalikan foto itu masuk ke dalam amplop menatap Kayla yang tersenyum manis padanya. "Lo dapat dari mana ini?"     

"Bukan urusan lo. Yang jelas—"     

"Lo dapat dari mana!" sentak Davira memuncak. Pakaian yang dikenakan sang kekasih di dalam foto sama dengan apa yang dikirimkan oleh Raffa padanya. Tempat dan waktunya sama, namun adegannya berbeda. Jikalau Kayla menangkap momen ini di saat yang bersamaan dengan Raffa, mengapa remaja itu tak menangkap gambar yang sama?     

"Putuskan dulu, baru gue akan menjawabnya."     

"Memutuskan apa?!" tanya Davira jengkel.     

"Lo mau bekerja sama dengan gue?"     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.