LUDUS & PRAGMA

116. Davina dan Davira



116. Davina dan Davira

0"Davina ...." Gadis itu menyela. Memotong aktivitas gadis yang kini menoleh tegas ke arahnya. Tatapan Davina aneh kala tak sengaja menangkap perawakan tubuh jangkung milik Adam yang berdiri tegap tepat di belakang tubuh ramping milik Davira. Bahkan pergelangan tangan Adam digenggam erat oleh gadis itu.     
0

--tunggu, Davira memergoki dirinya sekarang?     

"D--davira ...." Gadis itu terbata-bata. Sigap melepas genggaman garpu juga sendok yang ada di sela-sela jari jemari lentik miliknya. Tatapan gadis itu itu kini sayu. Sesekali melirik Adam yang diam sembari menundukkan pandangannya. Gadis itu kini menggeleng samar, tidak! Tidak mungkin semuanya berakhir sore ini!     

"Kenapa tegang begitu?" Davira menyela selepas hening membentang di antara keduanya. Gadis itu kini menghela napasnya ringan. Tersenyum kaku mengimbangi gadis yang baru saja menarik kursi kayu tepat di depannya.     

"Aku dan Adam boleh gabung di sini? Sepertinya lo sendirian," tuturnya lembut. Melirik sang kekasih yang mulai berjalan dengan memutar langkah untuk duduk tepat di sisi Davira. Suasana canggung mulai terasa, tak ada suara dalam sepersekian detik berjalan. Hanya saling pandang dengan arti yang tak sama. Davira terlihat bahagia dan bersinar dengan tatapan manis seperti itu. Seakan mulai ingin kembali berhubungan baik dengan Davina sore ini. Sedangkan Adam, terus saja memalingkan wajahnya sembari sesekali menghela napasnya singkat nan berat. Baik Davina maupun Davira, ia paham benar bahwa apa yang dirasakan oleh Adam adalah sebuah perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.     

Takut? Tentu. Rasa itu pasti sedang menyelimuti di dalam hatinya. Kekhawatiran juga tak akan absen dari sana. Bergelut dengan rasa canggung yang membuat dirinya memilih bungkam tak menatap siapapun sekarang. Untuk Davina, ia membenci ini. Situasi yang mempertemukan mereka bertiga dengan dirinya yang menjadi orang paling menyedihkan adalah hal yang paling membuatnya muak.     

"Kenapa lo pesan sebanyak ini? Seseorang sedang bersama lo sekarang?" Davira kembali membuka mulutnya. Ia tak puas selepas melihat perubahan wajah aneh yang dialami oleh sang kekasih juga Davina Fradella. Seakan sebelum musuhnya hancur lebur di depan matanya sendiri, Davira tak akan pernah mundur dan berhenti. Toh juga, ini adalah awal permulaan dari segala pembalasan atas rasa sakit yang diterima olehnya sekarang.     

"Ah, ini ...." Gadis itu menghela napasnya. Kembali mengambil garpu dan sendok untuk memulai lagi aktivitas makannya yang baru saja tersela.     

"Aku datang bersama seorang teman dekat. Tapi dia pergi begitu aja dengan alasan yang tak masuk akal. Dia orang yang brengsek dan gak tau diri. Makan aja kalau mau makan itu," tawarnya tersenyum canggung. Mendorong piring berisi nasi goreng telur mata sapi dengan rasa pedas manis yang menggugah selera makan.     

"Teman dekat? Ah, orang yang membelikan lo gelang dan kalung itu?" tanya Davira memberi pertanyaan acak.     

Lawan bicaranya kini mengangguk samar. Lagi-lagi tersenyum kaku lalu memasukkan satu suap nasi goreng yang baru saja ia sendok.     

"Lain kali ajak dia bertemu gue. Sekali-kali 'kan?" Davira tersenyum manis. Melirik sejenak sang kekasih yang masih memilih menatap jauh ke depan.     

"Adam," panggil Davira menyenggol bahu sang kekasih. Remaja berponi naik itu menoleh. Tepat mengarahkan pandangannya pada gadis cantik yang ada di sisinya sekarang ini.     

"Ada yang salah sama kamu? Kenapa terus melihat ke arah lain. Di sini ada yang sedang bersama kamu." Davira menyeru. Menegur sang kekasih yang terus saja terkesan tak acuh dengan tatapan teduhnya itu.     

Davira paham mengapa Adam melakukan ini. Rasa canggung dan takut tentu ada di dalam dirinya sekarang. Berpikir bahwa Davira akan berpikir negatif selepas ini adalah beban pikiran yang menumpuk di dalam otaknya sekarang ini. Adam tak bisa menghindar. Toh juga, mau beralasan apa lagi kalau Davira bertanya macam-macam padanya?     

"Aku tadi gak jadi ke kamar mandi. Boleh aku pamit ke sana sebentar?" tanyanya dengan lirih. Mengusap punggung sang kekasih dengan penuh kasih sayang.     

Davira mengangguk ringan. Tersenyum tipis untuk mengiringi aktivitas sang kekasih yang mulai bangkit dan pergi menjauh dari posisinya juga Davina sore ini.     

Ia kembali menatap gadis yang masih fokus dengan sepiring nasi goreng yang ada di depannya. Tak mau menoleh atau memberi tatapan untuk Davira sekarang. Dari raut wajahnya, ia paham kalau Davina tak menyukai kehadirannya sekarang ini. Wajah masam itu seakan memberi isyarat padanya bahwa ia harus segera pergi sekarang juga.     

Sekarang? Tidak! Davira datang bukan untuk mendapat pengusiran. Ia datang untuk mengusir seseorang.     

"Davina." Gadis itu memanggilnya. Ringan nada terdengar masuk ke dalam lubang telinga. Davira tersenyum mulai mengangkat sendok dan mengaduk-aduk nasi goreng yang ada di depannya.     

"Boleh gue minta sesuatu hal sama lo?" tanyanya meminta perijinan.     

Davina menyipitkan matanya sejenak. Samar dahinya terlipat sembari perlahan sisi mata tajamnya berkerut.     

"Kedepannya ... tolong jangan menyusahkan Adam." Gadis itu berkata dengan nada lirih. Lagi-lagi mengembangkan senyum tipis dengan tatapan teduh nan sayu. Jikalau ditanya berapa nilai yang tepat untuk akting Davira sore ini, maka nilai sempurna adalah jawabannya.     

"Gue? Menyusahkan Adam? Kapan?" tanya Davina menegaskan. Gadis itu menghela napasnya kasar. Sejenak memalingkan wajah untuk membuat tatapan kesal yang baru saja dilukiskan oleh kedua matanya. Kembali pada Davira yang terdiam untuk menunggu kalimat lanjutan darinya sekarang.     

"Katakan ... kapan gue menyusahkan Adam?"     

"Lo adalah official basket yang harusnya mengurus semuanya sendirian. Adam adalah kapten basket bukan asisten lo. Jadi, cek dokumennya sendiri, jadwalkan pertemuan dan buat acaranya sendiri bersama tim lo. Sekarang saatnya Adam untuk beristirahat." Ia menjeda kalimatnya. Diam sejenak. Meletakkan kasar sendok kembali tertidur di sisi piring berisi nasi goreng penuh sebab ia belum memakannya sedikitpun. Dirinya tahu, porsi nasi goreng yang ada di depannya adalah milik sang kekasih.     

Bagaimana bisa Davira memakan makanan yang dibeli Adam bersama selingkuhannya? Semesta memang terkadang sangat kejam.     

"Adam mengatakan kalau gue—"     

"Jadilah orang yang berguna. Jangan hanya bisa menyusahkan orang dengan posisi lo itu. Jika Adam sakit karena kelelahan, maka lo adalah orang pertama yang akan gue tampar habis-habisan." Davira menutup kalimatnya dengan perubahan ekspresi wajahnya yang asing untuk Davina. Semarah apapun gadis itu padanya sebelum ini, Davira tak pernah menatapnya dengan begitu tajam. Amarah seakan sedang Menggebu-gebu di dalam dirinya sekarang. Sorot lensa itu seakan ingin membakar apapun yang ditatap olehnya.     

"Kenapa lo jadi segini marahnya hanya karena Adam merengek kelelahan?" tawa ringan muncul. Singkat dengan nada tawa yang terkesan meremehkan.     

"Karena dia pacar gue. Dia adalah orang yang paling gue sayangi di dunia ini. Jika ada yang membuatnya terluka dan merebutnya dari gue, gue akan membuat orang itu menyesal," pungkasnya menutup kalimat.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.