LUDUS & PRAGMA

115. Senja Tak Mengenakkan



115. Senja Tak Mengenakkan

0Cantik dan mempesona adalah rekam pertama yang bisa disimpulkan oleh Adam kala netranya benar menatap kedatangan tak terduga sang kekasih. Davira datang, entah dari mana asalnya. Mungkin ia mengekori Adam sampai ke tempat ini? Ataukah semesta sedang bergurau dengannya sekarang?     
0

Adam mulai mengembangkan senyumnya kala Davira sudah semakin dekat langkah posis dengan dirinya. Gadis itu melambai samar. Gaun yang jatuh tepat di atas kedua betisnya itu terlihat begitu apik dan mempesona jikalau dipakai oleh Davira. Senyum manis mengembang, menjadi poin penyempurna gadis itu untuk dikatakan terlihat sangat cantik nan anggun sekarang ini.     

"K--kenapa kamu bisa datang ke tempat ini?" Adam menyahut selepas gadis bersepatu merah maroon itu tepat menghentikan langkah di depannya. Keduanya kini menepi. Tak lagi masuk ke dalam antrean kamar mandi sebab Davira yang mengajaknya.     

"Aku?" tanya gadis itu memastikan. Sejenak ia terdiam sembari tersenyum ramah. Lensanya sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tak ada yang salah di sekitarnya.     

Adam ikut menelisik. Mencoba untuk menerka apa kiranya yang sedang dicari oleh sang kekasih. Davira bak seorang putri yang tersesat. Dengan gaun indah dan dandanan seperti ini, ia tak patut jikalau disebut hanya ingin mampir menghabiskan sore di dalam kafetaria. Adam menaruh banyak keyakian bahwa gadis itu sehabis pulang dari pesta.     

"Kenapa wajah kamu jadi tegang begini karena ketemu aku sekarang?" celotehnya berbasa-basi.     

Adam menoleh. Ber-huh ringan sembari sejenak menyentakkan alisnya naik ke atas. Ia belum pernah memperkuran adegan mengejutkan seperti. Bertemu Davira saat dirinya sedang berkencan dengan Davina itu sangat gila dan menjengkelkan!     

"Aku terkejut karena kamu tiba-tiba datang ke tempat yang jauh seperti ini," ucap Adam beralasan. Lawan bicaranya itu hanya tersenyum ringan. Meraih punggung tangan sang kekasih dan mengusapnya dengan lembut.     

"Tak bolehkah aku bertemu dengan kamu di hari baik ini?" tangannya merengek. Melipat keningnya sembari sesekali mengerutkan bibir merah meronanya.     

"Mama habis berpesta dengan temannya tadi, dia mengajakku tapi karena bosan aku pergi dengan taksi dan mampir ke tempat paling dekat dari tempat pesta mama dan teman-temannya."     

Adam diam tak tahu harus menjawab atau merespon bagaimana lagi sekarang? Kejadian seperti ini tak pernah diprediksi oleh dirinya sebelumnya. Ia hanya terus berpikir bahwa tempat yang jauh tak akan membuat hubungan dan kencan butanya bersama Davina terbongkar. Semuanya akan baik-baik saja, begitu kiranya pikir Adam.     

"Kenapa diam? Ada yang aneh? Haruskah aku pulang sekarang karena kita bertemu di sini?" Davira mengimbuhkan. Sedikit memiringkan kepalanya sembari kuat menggenggam kedua pergelangan tangan sang kekasih. Davira ingin membuat pertemuannya dengan sang kekasih senatural mungkin sekarang ini. Meskipun kenyataannya ia sudah menyusunnya dengan baik.     

"Enggak, bukannya gitu."     

"Teman-teman kamu udah pulang? Aku gak lihat mereka sekarang." Davira mengimbuhkan. Memutar tatapan untuk menatap sekelilingnya sekarang. Tak ada Candra, juga tak ada teman basket Adam yang lain. Tak seperti pamitnya remaja itu untuk pergi bersama teman-teman basketnya sebelumnya. Semua terasa aneh dan asing.     

"Mereka pergi ke tempat lain. Aku hanya mampir untuk membeli kopi, di sini kopinya terkenal enak." Adam menyahut. Singkat menjelaskan dengan terus mengembangkan senyum manis di atas paras tampannya.     

Bingo! Melawan kebohongan dengan sebuah kebohongan. Melawan alur palsu dengan alur yang palsu pula. Itulah yang sedang dilakukan oleh keduanya sekarang ini. Baik Davira maupun Adam, sama-sama sedang melempar kedustaan.     

"Haruskah aku pergi sekarang? Katanya kamu cuma mampir. Padahal aku berharap kita bisa menghabiskan senja di sini sebab pertemuan tak teduga seperti sekarang. Bukankah ini menggemaskan?" Davira mencubit pipi sang kekasih. Tersenyum kuda pada remaja yang kini terkekeh kecil. Gadisnya sangat menggemaskan. Membuatnya ingin memeluk dan menciumnya sekarang juga. Di depan umum? Sebab itulah Adam mengurungkan niatnya.     

"Bisakah kamu menetap di sini? Kita pesan makan dan menghabiskan senja. Sama aku," ucapnya memohon. Mata Davira berbinar. Menaruh harapan besar pada sang kekasih untuk terus berada di sisinya sekarang.     

Remaja jangkung berponi naik itu menghela napasnya ringan. Terdiam sejenak sembari terus menatap tatapan polos sang kekasih. Tentu, permintaan Davira tak susah. Hanya cukup membatalkan janjinya dengan si teman-teman dekat dan duduk bersama gadis itu sekarang juga. Tak ada masalah untuk itu hal itu. Pun juga Adam tak benar datang bersama Candra dan yang lainnya. Akan tetapi Davina lah yang menjadi masalahnya sekarang ini. Gadis itu sedang menunggu dirinya di sana. Sendirian tak ada yang menemani.     

Adam akan menolak Davira hanya untuk Davina? Bajingan gila dia itu jikalau benar melakukannya. Fakta terbaik dari semuanya adalah Adam lebih menyayangi dan mencintai Davira Faranisa ketimbang Davina Fradella Putri.     

"Hm. Tentu," ucap remaja itu dengan penuh ketegasan. Senyum indah mengembang di atas paras tampannya sekarang. Tak ingin menunjukkan banyak gerak-gerik aneh pada Davira, Adam ingin terus terlihat normal dan apa adanya.     

"Kita ambil tempat duduk di pojok sana dan—"     

"Aku mau duduk di halaman depan kafetaria. Taman belakang tak terlalu bagus. Halaman ini lebih ramai dari halaman depan." Permintaan terakhir gadis itu dengan penuh pengharapan. Berharap bahwa Adam akan mengiyakan kalimat darinya barusan itu.     

--tunggu jikalau mereka duduk di halaman depan kafetaria, maka Davira akan bertemu dengan Davina?     

Adam menggelengkan sejenak kepalanya. Sukses membuat perubahan ekspresi di atas paras cantik milik sang kekasih.     

"Ada yang salah? Kamu gak mau?" Davira merengek. Melipat bibirnya tanda tak suka hatinya sekarang ini.     

"Enggak. Bukannya itu. Kita pergi ke sana sekarang," ucapnya menarik pergelangan tangan sang kekasih. Adam paling tak bisa jikalau melihat Davira menangis dan merengek seperti ini. Hatinya akan luluh dan pikirannya akan hanyut dalam sebuah rasa iba bercampur dengan kasih sayang yang semakin besar ukurannya.     

Keduanya kini berjalan tegas. Melewati jalan yang sama, yang dilalui Adam sebelum dirinya sampai ke area toilet untuk mengantre. Gadis yang ada di belakang punggungnya kini tersenyum miring. Tak salah jikalau ia memutuskan untuk bekerja sama dengan Kayla.     

Informasi yang didapat olehnya sangat berguna sekarang ini. Dirinya datang bukan tanpa sebab alasan yang jelas, namun Davira datang sebab keputusan yang sudah dibulatkan oleh dirinya beberapa saat sebelum menyambangi tempat ini.     

"Oh, itu Davina?!" Davira menghentikan langkahnya. Antusias nada bicaranya terdengar masuk ke dalam lubang telinga remaja yang sigap menoleh ke arahnya.     

Jujur, Adam belum mempunyai alasan apapun sekarang ini untuk dijelaskan pada Davina.     

"Kita ke sana. Dia sendirian sepertinya," susul Davira menarik pergelangan tangan sang kekasih. Membawa tubuh Adam untuk mendekat pada gadis yang mulai menyantap makan di depannya.     

Satu keputusan yang dibuat oleh Davira sebelum mendadani dirinya cantik bak seorang putri raja yang baru saja keluar dari pesta dansa adalah ia ingin mulai membalas semua rasa sakit hatinya. Sekarang!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.