LUDUS & PRAGMA

118. Putra Kin.



118. Putra Kin.

0Mobil sedan itu melaju sedang membelah jalanan padat Kota Jakarta. Sesekali berhenti dan berbelok untuk mengikuti irama jalanan yang dilaluinya. Kini kecepatannya berkurang selepas memasuki jalanan komplek tempat rumah sang kekasih berada. Adam terus saja menggenggam tangan Davira. Sesekali menggerakkan ibu jarinya untuk bisa mengusap punggung tangan sang kekasih. Hangat dan nyaman, suasana seperti ini memang terkesan sederhana dan kampungan. Akan tetapi untuk dirinya sangatlah nyaman dan istimewa. Semua hal yang dilakukan dan dikatakan oleh Adam selalu saja sukses membuat gadis itu luluh lantah akan pendirian dengan terus membesarkan amarah dan emosi. Seakan Adam memiliki cara khusus terbaik untuk membuat Davira meleleh dalam keadaan apapun.     
0

Netra pekatnya kembali menatap sang kekasih. Si gadis manis duduk rapi di atas kursi kemudi. Davira tersenyum ringan. Meskipun tak menatap Adam, namun arti lensa teduh itu amat sangat dimengerti oleh remaja jangkung itu. Jika tak bahagia dengan amat sangat yang meluap-luap, setidaknya Davira menyelesaikan hari dengan hangat dan nyaman.     

"Aku gak bisa mampir, gak papa?" Adam menyela. Menarik pandangan gadis yang kini menoleh tepat ke arahnya. Gerbang rumah Davira sudah terekam jelas oleh netra keduanya. Kini mobil itu berhenti tepat berada di depan gerbang besar yang tak asing lagi untuk seorang Adam Liandra Kin.     

"Gak papa. Lagian aku juga mau istirahat." Davira menjawab dengan nada lembut. Melepas genggaman tangan sang kekasih dengan perlahan. Mengusapnya ringan sesekali menepuk punggung tangan berotot milik remaja yang amat dikasihinya itu.     

Di dalam setiap senyum dan tawa juga arti tatapan yang diberikan oleh Davira, ia menyimpan banyak luka. Teramat dalam dan sangat sakit rasanya. Ia ingin menangis. Mengatakan pada Adam mengapa dirinya melakukan semua ini untuk kedua kalinya? Benarkah jikalau Adam sudah tak lagi menyayanginya?     

Lantas apa semua ini? Adam hanya membutuhkan Davira saja untuk terus berada di sisinya tanpa pernah mau ada kekosongan yang mengisi di dalam dirinya saat ini.     

Davira melepas genggaman tangannya. Menatap sang kekasih dengan penuh keseriusan. Perlahan gadis itu mendekatkan wajahnya. Niat hati ingin mencium bibir sang kekasih dengan penuh kasih sayang, namun ia mengurungkannya. Davira lebih memilih ciuman hangat mendarat di pipi tirus sang kekasih untuk menutup dan mengakhiri pertemuannya dengan Adam malam ini.     

"Kenapa gak jadi di bibir?" protes Adam dengan manja.     

Ia tersenyum kuda. Mencubit kasar pipi Adam kemudian kembali menatap sang kekasih dengan teliti. "Aku gak pernah mencium pipi kamu, tak bolehkah jikalau aku mencobanya?" tanya Davira berbasa-basi.     

"Tentu boleh! Bahkan kamu boleh mencium semua yang ada di dalam diri aku sekarang!" Adam merentangkan tangannya dengan antusias. Sukses membuat Davira menatapnya sembari tertawa geli. Baiklah, ini terlalu berlebihan.     

"Gak mau?" tanya Adam memastikan.     

"Kesempatan ini gak akan ada—"     

"Mama menelepon," sela Davira menunjukkan ponselnya. Tepat mengarah pada wajah tampan Adam yang kini berubah masam.     

"Aku harus masuk, atau mama yang akan keluar." Gadis itu terkekeh kecil.     

"Good night, Kapten Kin," sambungnya tersenyum manis. Mengusap pipi Adam kemudian sigap memutar tubuhnya untuk mendorong pintu mobil yang ada di sisinya.     

Adam mengangguk. Mengerang ringan untuk menanggapi dan menyertai kepergian sang kekasih. "Nice dream, Nona Davira!" teriaknya dengan lantang.     

Gadis yang baru saja ingin menutup pintu mobil itu tersenyum ringan. Melambaikan tangannya untuk memberi perpisahan yang sempurna kali ini. Perlahan ia menutup pintu mobil. Berjalan meninggalkan Adam dan masuk ke dalam rumah.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Davira menghela napasnya panjang. Dalam langkah gontai itu, dirinya memutuskan benar masuk ke dalam rumah. Lampu utama sudah dinyalakan, menandakan bahwa sang mama sudah pulang ke rumah. Davira berdusta pada Adam perihal pesta yang membosankan bersama mamanya. Ia datang dengan sengaja. Berdasarkan informasi dari narasumber utama yang mengirimi dirinya pesan singkat berisi alamat dan jam perginya Adam bersama Davina.     

Dengan kasar ia mendorong pintu yang ada di depannya. Masuk ke dalam rumah bersama lelah yang kini mulai menyelimuti. Davira melepas satu persatu aksesoris yang membebani dirinya malam ini. Bandana mutiara putih yang melingkar di atas kepalanya, anting panjang, gelang mewah, dan kalung liontin menawan hati juga sepasang cincin yang melingkar sejajar di jari jemari tangannya. Ia membenci harus melakukan ini, namun dirinya mau apa lagi sekarang? Menunjukkan pada Adam bagaimana sakitnya dibohongi adalah tujuannya melakukan semua ini.     

"Davira ...." Diana menyela gerutu ringan yang dilakukan oleh Davira sekarang. Membuat sang putri menoleh dan tegas menatap ke arahnya. Mata gadis itu sayu, menatap kedatangan sang mama yang pasti akan bertanya ini itu jikalau ia pulang dengan penampilan aneh seperti ini.     

"Kamu habis dari pesta?" Benar 'kan? Bukan Diana kalau ia tak cerewet dengan kedatangan sang putri malam ini.     

"Hm, ada teman Davira yang berulang tahun."     

"Siapa? Davina? Rena? Pasti bukan Arka." Mamanya asal menebak. Sesekali menyipitkan matanya sebab sang putri tak kunjung memberi jawaban untuknya.     

"Mama gak kenal. Dia cuma teman sekelas Davira." Gadis itu membuka suaranya. Tepat mengarahkan sorot lensa pekatnya untuk menatap sang mama.     

Diana tersenyum kaku. Menganggukkan kepalanya mengerti selepas mendengar jawaban dari sang putri.     

"Mau makan malam dulu? Mama belikan ayam tepung kesukaan kamu." Diana mengimbuhkan. Mengusap punggung Davira dengan lembut. Tersenyum manis untuk sang putri yang sedang lelah malam ini.     

"Davira mau mandi dan membersihkan dulu. Nanti kalau Davira sudah lapar, Davira ambil sendiri," paparnya melirih. Ia membalas usapan lembut sang mama. Kini mulai mengambil langkah pertama untuk berjalan meninggalkan wanita yang sudah sabar membesarkan dirinya selepas pengkhianatan yang dilakukan oleh sang papa di masa lampau.     

"Davira, ngomong soal teman kamu ada yang menunggu kamu di lantai atas." Mamanya menyela kembali. Sukses menarik perhatian gadis yang kini menoleh dan menghentikan langkahnya. Ditatapnya lantai atas yang sepi bak tak pernah dihuni oleh siapapun. Hanya ada kamar Davira dan kamar tamu di sana. Mamanya memilih kamar di lantai utama dekat tangga menuju naik ke kamar pribadinya. Jadi jika Davira tak ada maka di lantai atas juga tak ada orang yang menghuninya.     

"Temen?" tanya Davira memincingkan matanya. Teman sepermainannya hanya Rena dan Arka, pun jikalau mereka akan datang maka mereka akan memberi tahu Davira terlebih dahulu.     

Memang sih, Arka terkadang datang dengan penuh kelancangannya. Namun, sang papa akan langsung menyebut nama remaja itu tanpa harus memberi teka seperti ini.     

"Mukanya sedikit asing karena gak pernah datang ke sini. Tapi sepertinya juga familiar." Diana mulai berpikir. Sejenak melupakan nama remaja yang datang menyapanya dan meminta ijin untuk menunggu Davira di dalam kamar gadis itu.     

"Adam punya adik laki-laki 'kan?" tanya Diana selepas diam tak bersuara.     

Ah, benar. Raffardhan Mahariputra Kin.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.