LUDUS & PRAGMA

117. Rasa Berbeda Untuk Orang Yang Sama



117. Rasa Berbeda Untuk Orang Yang Sama

0Gemintang menghias di atas langit lepas. Biru tua bercampur dengan semburat hitam yang menghiasi cakrawala yang membentang. Langit tak mendung, namun juga tak secerah biasanya. Sinar indah sang dewi malam tak secerah kemarin-kemarin. Bintang yang berkelip pun tak terlihat bahagia. Hanya cara titik putih menjadi manik indah penghias angkasa lepas. Gadis itu menatap remaja tampan di depannya dengan teliti. Tak ingin melepas Adam, sang kekasih apapun alasannya. Davina pergi satu jam yang lalu. Meninggalkan banyak tanda tanya untuk Adam, namun tidak untuk Davira. Gadis itu berhasil mengusir siapapun yang tak diperlukan di sini sekarang. Davina adalah hama untuk hubungan mereka.     
0

Ia tersenyum ringan. Tak segera menyantap nasi goreng yang baru saja ia pesan selepas Adam datang dari kamar mandi umum di sisi bangunan. Remaja itu sempat bertanya, apa gerangan yang membuat Davina pergi tanpa memberi pamit kepadanya terlebih dahulu? Sang kekasih tak ingin banyak menimpali. Cukup menjawab dengan satu kalimat sukses untuk membungkam mulut Adam Liandra Kin. Gadis itu pergi sebab ada urusan mendadak yang harus diselesaikan olehnya selepas menghabiskan nasi goreng pesanannya. Anggukan ringan bersama senyuman manis dilukiskan oleh Adam kala mendengar kalimat dari Davira. Toh juga, ia tak ingin berdebat dengan sang kekasih sekarang ini. Cukup mengiyakan dan memulai semuanya seperti biasanya. Tak ada yang salah, selama Davira tak membahasnya.     

"Thanks, Kapten Kin." Davira menyela. Tersenyum ringan menarik pandangan remaja yang ada di depannya.     

Sukses ia mengembangkan lengkungan bibir yang tajam. Sembari terus mengunyah makanan di dalam mulutnya, Adam mengangguk. Sesekali dirinya menaikkan pandangannya. Tepat mengarah pada Davira yang duduk rapi di depannya.     

"Kamu gak makan nasi gorengnya?" tanya Adam menyela. Sejenak menyipitkan matanya sebab gundukan nasi goreng itu masih utuh tanpa tersentuh sedikit pun oleh sendok yang ada di dalam genggaman sang kekasih. Adam tak banyak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Davira datang tiba-tiba dengan gaun pesta dan make up yang mempesona bagi siapapun yang melihatnya.     

Senyum gadis itu terlihat tulus, meskipun ia bertemu dengan Adam dan Davina di tempat yang sama. Fakta bahwa sang kekasih sudah mengetahui perselingkuhan mereka sebelumnya adalah alasan keanehan yang dirasa oleh Adam Liandra Kin sekarang. Bukankah alangkah pantasnya jikalau Davira bertanya ini itu dengan nada marah dan tatapan kecewa penuh kecurigaan kala ia melihat Davina berada di tempat yang sama dengan sang kekasih? Ya, harusnya begitu.     

Namun apa ini? Senyum dan tatapan itu sangat tulus. Wajahnya bahagia tanpa ada raut kesedihan dan semburat kekecewaan di dalam wajahnya. Tak mungkin jikalau Davira bisa melupakan semua yang sudah terjadi begitu saja.     

"Punya aku mau habis. Nanti gak ada yang menemani makan." Adam menggerutu singkat. Kembali menyendok nasi goreng terakhir yang ada di dalam piring besar di depannya.     

Davira lagi-lagi hanya tersenyum ringan. Perlahan menyingkirkan segala benda yang menghalangi akses dirinya untuk meraih piring kosong yang ada di depan sang kekasih. Mengambilnya dan menggantinya dengan sepiring nasi goreng pedas manis yang dipesan olehnya.     

"Siapa bilang ini buat aku? Ini buat kamu," ucapnya selepas sukses melakukan aksinya.     

Adam mengernyitkan dahi samar. Davira selalu saja penuh dengan tingkah aneh di luar dugaannya.     

"Kenapa buat aku? Kamu yang udah bayar semuanya, setidaknya makan satu—"     

"Kamu terlihat kurus dan kelelahan belakangan ini. Jangan terlalu banyak bekerja hanya untuk mengurusi masa pergantian anggota tim dan pemilihan ketua basket baru. Ada yang lain. Jadi biarkan mereka yang melakukannya," cecar Davira tak mau kunjung menghentikan kalimatnya. Gadis itu kini mengerutkan bibirnya selepas sukses menata alat makan baru untuk sang kekasih. Ia menarik segelas es teh manis dengan potongan jeruk di atas mulut gelas. Mendorong itu hingga tepat berada di sisi piring nasi goreng sang kekasih.     

"Kamu belum makan apapun." Adam menolak. Niat hati ingin mengembalikan porsi yang dipesan pada Davira.     

"Aku bisa pesan lagi. Makan aja." Davira menyela. Memotong aktivitas sang kekasih sembari tersenyum ringan. Mengusap punggung tangan Adam dengan sesekali melirik perubahan raut wajah remaja itu.     

Ada semburat ekspresi aneh yang dilukiskan oleh sang kekasih. Seperti sebuah rasa bersalah ada dan menguasai selepas semua perlakuan sederhana namun manis yang ditunjukan Davira untuk dirinya.     

"Davira ...."Adam memanggil lirih. Meraih jari jemari sang kekasih yang baru saja ingin pergi meninggalkan punggung tangannya.     

"Maafkan aku," susulnya dengan nada ringan. Adam tersenyum tipis. Mengerutkan dahinya kala tak ada suara yang menyahut sekarang.     

Dalam tatapan itu, Davira berharap Adam akan kembali jujur sekarang. Jikalau ia jujur dengan mengatakan bahwa dirinya datang bersama Davina dan kembali menjalin hubungan bersama gadis sialan itu, setidaknya Davira akan berpikir untuk mengakhiri semua niat balas dendam ini. Ia akan memaafkan Adam lagi, mungkin. Namun dengan sedikit syarat yabg harus dipenuhi. Setidaknya sekarang ini, Davira berharap kalau Adam jujur padanya. Sekali saja.     

"U--untuk apa?" tanya gadis itu melirih.     

Adam menghela napasnya. Semakin erat menggenggam jari jemari Davira dan memperdalam tatapannya.     

--sungguh, meskipun itu menyakitkan setidaknya Davira ingin Adam Liandra Kin berkata jujur sekarang. Melegakan hatinya dan perlahan membuatnya kembali percaya.     

"Dulu aku pernah menyakiti kamu dan membuat luka yang menyedihkan. Aku berusaha mengkhianati kamu dan melukai kepercayaan yang kamu kasih untuk aku. Padahal kamu sangat baik dan hangat. Aku meminta maaf untuk itu," ucapnya mempersingkat ---benar tak akan pernah ada kejujuran lagi mulai sekarang.     

Adam sudah pergi terlalu jauh. Permohonan maaf dan pengampunan yang diberikan oleh Davira Faranisa tak ubahnya bagai menabur garam di atas samudera. Tak akan pernah berdampak baik dan membuahkan hasil.     

"Aku sangat merasa bersalah mulai saat itu."     

"Tapi kenapa kamu mengkhianati aku lagi?" --batinnya bergejolak. Ia ingin mengatakan itu. Namun jikalau tujuannya adalah menghancurkan Davina juga, maka ia tak bisa melakukannya.     

"Hm. Aku datang dari rumah bukan datang dari masa lalu. Jadi jangan membahas di hari dan cuaca baik seperti ini, oke?" Davira tersenyum manis. Melepas genggaman sang kekasih dan mencubit kasar pipinya.     

Adam mengangguk ringan. "Ngomong-ngomong, Minggu ini, mama akan menginap di luar kota. Mau mampir dan menginap di rumah aku juga?" tanya Adam menggoda.     

Davira terdiam sejenak. Sialan! Persetanan gila tak tahu diri bagaimana bisa ia membicarakan itu selepas pergi dan menghabiskan sore bersama gadis lain?     

"Minggu besok? Aku harus belajar. Senin depan kita udah ujian." Davira menolak.     

"Kita bisa belajar bersama—"     

"Mama juga akan mengajak aku pergi ke suatu tempat sebelum itu. Jadi aku gak bisa kemana-mana." Gadis itu kembali memotong. Apapun kalimat sanggahan dari sang kekasih, ia hanya ingin menolak tawaran gila itu. Bahkan ia sudah tak ber-napsu lagi untuk Adam.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.