LUDUS & PRAGMA

119. Partner Terbaik



119. Partner Terbaik

0Langkah kaki gadis itu berjalan tegas menaiki satu persatu anak tangga yang menjadi akses utama untuk bisa naik ke lantai atas. Sesekali tatapannya mengudara. Menatap tepat mengarah pada pintu kamarnya yang masih tertutup rapat. Ia masih belum mempercayai ini, Raffa berkunjung dan menunggu masuk di dalam kamar pribadinya. Entah sedang apa remaja jangkung itu di dalam sana. Mungkinkah sedang mencari bukti sampai sejauh mana Davira tau mengenai perselingkuhan sang kakak?     
0

Ah, ini gila! Raffa adalah tim yang berdiri di sisinya. Keputusan untuk mulai bekerjasama dengan remaja itu sudah bulat diucapkan oleh Davira jauh-jauh hari. Bukankah terlalu berlebihan jikalau mencari tahu tentang apa yang menjadi rahasia teman seperjuangan dalam tujuan yang sama?     

Gadis itu mempercepat langkah. Satu demi satu, hingga kini sampai di anak tangga terakhir. Kakinya tegas melangkah masuk ke dalam kamarnya. Mendorong pintu kayu di depannya dan mulai membawa langkah kakinya untuk berjalan tegas kembali. Raffa ada di sudut ruangannya. Menarik kursi sembari menatap ke luar jendela yang sengaja dibuka oleh remaja itu sebelum kedatangan Davira kemari. Entah sang mama yang terkesan berlebihan sebab mengijinkan seorang tamu masuk ke dalam kamarnya seperti ini atau Raffa saja yang terlalu lancang dalam meminta sesuatu di hari pertamanya berkunjung?     

Sang mama mengatakan dengan tegas sebelum ini bahwa ia mengijinkan Raffa masuk ke dalam kamar Davira sebab remaja itu adalah adik kandung dari Adam Liandra Kin. Toh juga, Diana tak pernah memberi kecurigaan pada teman-teman Davira yang datang kemari untuk bertemu. Jadi bukan hal yang aneh lagi untuk wanita itu jikalau mengijinkan teman-teman sang putri masuk dan menunggu di dalam kamar.     

"Raffa?" sela Davira berjalan mendekat. Ia meletakkan dompet kecil yang dibawanya tepat di sisi ranjang. Menatap remaja yang kini perlahan memutar kepalanya untuk mengiringi langkah kaki Davira yang semakin dekat saja.     

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya sedikit ragu. Mulai menelisik penampilan remaja jangkung yang kini tersenyum ringan. Ia bangkit. Berjalan menjauh dari sisi jendela dan mendekat pada posisi berdiri Davira kali ini. Sekilas lensanya menatap paras cantik nan gaun anggun yang membuat Davira bak seorang putri kerajaan dari negeri dongeng kemudian kembali tersenyum dan duduk di sisi ranjang.     

Gadis itu menghela napasnya kasar. Tepat memberi tatapan pada remaja yang mulai tak acuh akan keberadaan dirinya saat ini. Berdiri tepat di depan Raffa tak membuatnya mendongakkan pandangan dan fokus menatap lawan bicaranya itu. Bola mata remaja itu kian bergerak menyapu seluruh bagian ruangan. Mencoba menelisik, mengamati, , dan menyesuaikan dengan keadaan barunya sekarang ini.     

Tempat yang disambanginya beberapa jam lalu itu masih saja terlihat asing untuknya mengingat inilah kali pertama Raffa datang dan masuk ke dalam ruangan pribadi milik gadis yang sudah diidamkannya sejak dulu. Jikalau saja kakaknya tak ada, mungkin Davira adalah gadis yang sah menjadi kekasih hatinya saat ini.     

"Aku tanya kamu ngapain di sini?" ulangnya menegaskan. Remaja jangkung itu kini menghentikan gerak matanya. Perlahan fokusnya berpindah pada gadis yang mulai bergerak tak lagi berdiri tepat menghadang tepat di depannya.     

Davira mulai sibuk meletakkan semua aksesoris yang dipakainya sekarang ini. Duduk rapi di depan cermin persegi tempat biasa ia merias diri kalau ingin keluar dari rumah dan menyapa dunia.     

"Mama kakak mengijinkan Raffa untuk masuk dan menunggu di dalam kamar—"     

"Maksud aku, ngapain kamu bertamu malam ini? Kak Adam tahu?" Davira menyela. Menatap tubuh jangkung berperawakan kerempeng dengan raut wajah persis dengan Adam Liandra Kin itu dari pantulan cermin. Tak ingin menoleh apalagi memutar tubuhnya. Ia fokus membersihkan wajahnya dari make up yang menutupi kecantikan asli nan natural miliknya itu dengan sesekali menghela napasnya kasar sebab ia tak menyangka akan berbicara se-intim ini dengan adik kandung sang kekasih.     

"Kakak kamu tahu kalau kamu menyukai aku. Jika dia juga tau kamu berkunjung dan masuk ke dalam kamar aku, dia pasti akan benar-benar membenci kamu." Davira tertawa kecil. Sembari meletakkan kapas kotor yang sudah sukses mengangkat seluruh make up dari wajahnya sekarang ini, ia kembali melanjutkan.     

"Jika kakak kamu membenci kamu, usaha aku akan sia-sia saja," pungkasnya menutup kalimat. Davira berbalik. Tepat mengarahkan tatapannya pada remaja yang baru saja menarik satu sisi bibir merah mudanya. Raffa menyeringai selepas mendengar kalimat itu keluar dari mulut seorang Davira Faranisa.     

"Kenapa tersenyum begitu? Ada yang salah dengan apa yang aku katakan?" Gadis itu kini bangkit. Kembali berjalan mendekat pada Raffa yang menggelengkan kepalanya singkat.     

"Hanya sedikit lucu," ucapnya melirih.     

"Lucu?" Davira kini menelisik. Samar Dahinya mengernyit sembari sesekali mata bulatnya menyipit. Meskipun berusaha mengenal Raffa dengan baik, namun tetap saja bagi Davira remaja jangkung itu selalu terlihat asing dan baru.     

"Kita bekerja sama. Padahal tujuan kita berbeda." Dua kalimat itu sukses membuat perubahan ekspresi di atas paras cantik Davira. Tatapan tajam mengintimidasi mulai diberikan untuk Raffa. Benar kata orang tua jaman dulu, mempercayai manusia adalah hal yang paling tidak berguna.     

"Apa maksud kamu?!" tegasnya berucap. Ia menundukkan pandangan matanya. Kembali menatap Raffa yang mulai tertawa kecil sekarang ini.     

"Untuk apa aku memberi pelajaran pada Kak Davina atau Kak Adam? Secara fakta yang ada, mereka berdua gak ada hubungannya sama aku. Itu adalah urusan kak Adam mau dia—"     

"Karena kamu menyukai aku." Davira memotong. Meraih bahu remaja yang ada di depannya dan mencengkeramnya kuat. Matanya menajam. Seakan-akan ingin menusuk masuk ke dalam retina remaja yang menjadi lawan bicaranya itu.     

Ada kebencian untuk Davina sekarang ini. Rasa ingin membebaskan semua kebencian itu ada di dalam diri dan ambisi Davira. Seseorang telah mengkhianati dirinya, dan Davira membenci itu. Fakta bahwa sang kekasih juga ikut masuk ke dalam penghianatan itu adalah sebuah tamparan sekaligus api penyulut untuk membuatnya bergerak sejauh ini. Davira memang tak berniat untuk menghancurkan Adam, ia hanya menargetkan Davina sebagai objeknya. Akan tetapi gadis itu paham benar sekarang, sehati-hati apapun dirinya dalam melangkah sang kekasih pasti juga akan terkena imbasnya.     

"Benar, karena aku menyukai kakak." Raffa tersenyum singkat. Membuat cengkraman kuat Davira mulai melunak sekarang ini.     

"Boleh aku tanya sesuatu?" Remaja jangkung itu kembali membuka suaranya. Menarik perhatian Davira untuk kembali fokus mendengarkan.     

"Siapa yang paling ingin kakak hancurkan sekarang? Davina Fradella Putri atau Adam Liandra Kin."     

"Atau jangan-jangan kakak melakukan ini hanya karena ingin mendapatkan Kak Adam kembali?" tanyanya mencecar Davira dengan pertanyaan yang sukses membuat gadis itu terdiam membisu sekarang.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.