LUDUS & PRAGMA

121. Status Mantan Teman Baik



121. Status Mantan Teman Baik

0Adam menatap gadis di depannya dengan penuh pertanyaan. Davina tiba-tiba saja menyeretnya datang kemari. Gudang belakang sekolah yang tak akan pernah dijangkau oleh siapapun kalau tak ada keperluan penting yang mengharuskan mereka untuk datang kemari. Sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya sebelum ini, perihal Davina yang meminta bertemu sekarang tanpa ada alasan dan penolakan lagi darinya.     
0

"Kenapa lo menarik gue kayak tadi. Gimana kalau Davira—"     

"Davira lagi?" Gadis itu membuang tatapannya. Berdecak ringan selepas nama gadis yang menjadi alasan utama dirinya menyeret sang kekasih datang kemari tegas disebut oleh Adam sekarang. Davina mulai membenci Davira. Entah mengapa belakangan ini rasanya begitu aneh. Davira seakan terus memancing emosi di dalam dirinya untuk naik dan memuncak. Menggunakan nama Adam dan berkedok hubungan mereka sekarang ini, tentunya membuat Davina tak lagi bisa berkata banyak sebelumnya. Ia akan kalah dan Davina paham itu. Itu sebabnya mengapa ia memilih untuk berbicara langsung dengan Adam.     

"Kenapa lo jadi sensian gini? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak terlihat dekat di lingkungan sekolah?" Adam menyela. Menarik perhatian gadis yang kini melipat kedua tangannya rapi di atas perut. Davina paham, sekali lagi ia paham benar dimana letak posisinya untuk Adam. Kekasih bayangan yang dianggap jikalau ia bosan bersama Davira Faranisa. Memang akhir-akhir ini ia banyak meluangkan malam bersama Davina. Mengakhiri hari dengan sebuah panggilan suara panjang hingga tengah malam datang menghampiri, namun tetap saja baginya semua itu kurang sebab dirinya ingin Adam seutuhnya!     

"Lo mengeluh sama Davira?" tanyanya menyipitkan mata.     

Adam terdiam sejenak. Tatapannya tegas menelisik masuk ke dalam netra indah milik Davina Fradella Putri. Tak ada kebohongan di dalam tatap mata itu. Hanya ada sebuah keseriusan dengan amarah yang menggebu-gebu sekarang ini. Entah apa yang sudah terjadi di antara Davira dan Davina sebelum ini, akan tetapi yang jelas Adam paham akan satu hal ... bahwa apapun itu, pasti bukan hal yang baik untuk diperbincangkan sekarang.     

"Mengeluh?"     

"Pacar lo itu bilang kalau lo mengeluh dengan dahlil gue yang merepotkan hidup lo," ucap gadis itu sembari mengetukkan ujung jari telunjuknya tepat di atas dada bidang milik Adam. Sigap tangan remaja itu menghentikannya. Menggenggam ujung jemari Davina dengan erat. Tatapannya memblokir semua aktivitas gadis di depannya sekarang ini. Tak ingin Davina lepas dari pandangan juga jangkauannya.     

Adam tak mengerti, sungguh. Ia tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Davina sekarang ini. Selepas perselingkuhannya dengan Davina terpergok beberapa hari yang lalu, ia tak pernah berbicara intim dengan sang kekasih dengan menyinggung nama Davina di dalamnya. Sungguh, Adam tak sedang hilang ingatan sekarang ini. Kokoh semua ingatnya masih melekat apik di dalam otaknya.     

"Jelaskan," ucap Adam memerintah dengan tegas. Gadis yang baru saja menatapnya dengan tajam itu kini perlahan melunak. Jari jemarinya yang kuat menunjuk sang kekasih, kini mulai melemas diikuti dengan gerak bola matanya yang mulai tak lagi fokus.     

"Gue bilang jelaskan." Remaja jangkung itu mengulang. Ia menatap penuh keseriusan.     

"Alasan gue pergi kemarin adalah karena kalimat sialan itu. Gue bisa apa selain menurut dan mengatakan kalimat maaf selepas lo mengeluh dan mengatakan bahwa gue membebani hidup kepada Davira? Gue cuma kekasih gelap lo, Adam!" Kesal nada bicara Davina terkesan benar ingin memprotes Adam sekarang. Ia tak berdaya. Hanya bisa mengeluh dan mengeluh sekarang ini. Terkesan konyol memang, namun hanya ini yang bisa ia lakukan untuk bisa mendapat raga seorang Adam Liandra Kin.     

"Gue gak pernah bilang itu."     

"Terus maksud lo gue berbohong sekarang?" Davina tertawa kecil. Menunjuk dirinya sendiri sembari terus memberi tatapan pada sang kekasih.     

"Atau jangan-jangan ... Davira tahu?" Davina mulai menghentikan tawanya. Melepas segala rasa aneh yang kini berubah menjadi lebih aneh lagi. Hatinya terasa panas. Jantungnya berdetak lebih kencang kala Adam tak kunjung memberi penjelasan atas kalimat yang baru saja diucapkan olehnya. Dalam raut wajah dan tatapan itu seakan Adam tak bisa melakukan penyanggahan.     

"Jawab gue!" Davina membentak. Menggoncang-goncangkan tubuh sang kekasih untuk memaksa Adam memberi jawaban pasti atas pertanyaannya itu.     

"Gue pergi dulu." Mengabaikan pertanyaan dari Davina, remaja itu melepas kasar cengkraman kedua tangan Davina dari bahunya. Memutar tubuh untuk berniat pergi dari tempatnya. Namun, Davina mencegah. Kuat ia menarik pergelangan tangan Adam. Membuat remaja itu mau tak mau harus kembali menoleh dan memutar tubuh mengarah padanya.     

"Katakan yang sebenarnya terjadi. Davira benar tahu?" tanyanya mengulang. Kali ini dengan memberi penekanan di setiap kalimat yang diucapkan olehnya.     

"Gue bilang gue harus pergi. Gue jelaskan itu nanti," ucap Adam kembali melepas genggaman tangan milik Davina.     

"Adam!"     

"Adam!" Teriakannya tak dihiraukan. Remaja jangkung itu pergi begitu saja. Meninggalkan Davina yang masih mematung di tempatnya sekarang ini.     

"Berhenti." Suara bariton menyela dirinya. Sukses membuat Davina tersentak sebab ia muncul tiba-tiba dari dalam gudang sekolah.     

"A--arka?!" pekiknya kala tubuh jangkung itu benar terekam nyata oleh sepasang lensa teduh miliknya.     

"L--lo ngapain di sana?" tangannya gagap. Menunjuk tepat mengarah masuk ke dalam pintu gudang sekolah.     

"Gue harus meletakkan bola basket yang rusak di dalam gudang, tapi gue nyangka gue dapat hiburan seperti ini." Arka bertepuk tangan. Semakin kuat melangkah untuk mendekat pada gadis yang kini memaku di tempatnya.     

"Berhentilah selagi gue masih berbaik hati," ucapnya melirih. Menyeringai di bagian akhir kalimatnya sembari menatap paras cantik milik Davina. Tatapan gadis itu berubah begitu saja. Tak lagi teduh, namun tajam penuh dendam.     

"Apa yang akan lo lakukan kalau gue menjawab gak mau? Lo akan memberi tahu Davira?" kekehnya menyeringai tajam.     

"Harusnya tapi itu akan merusak mood dan menghancurkan orang yang gue sayangi." Arka memalingkan wajahnya. Sejenak menghela napasnya kasar kemudian kembali menatap Davina yang ada di depannya.     

Ia mengambil satu langkah untuk mendekat. "Berhentilah, itu kalimat bujukan terakhir dari gue," bisiknya lirih.     

"Bukankah ini adalah kesempatan terbaik untuk lo?" Davina menyahut. Tepat membalas senyum seringai yang dilontarkan Arka untuk dirinya.     

Remaja jangkung itu diam membisu. Menunggu kalimat lanjutan dari lawan mainnya sekarang ini.     

"Katakan sama Davira kalau Adam berselingkuh, dan lo bisa menggunakan rasa sakit Davira untuk menjadi pacar gadis bodoh itu," katanya menyusul.     

Davina kini melipat tangannya rapi di atas perut. Melangkah untuk semakin mengintimkan posisinya dengan Arka. Sebenarnya tak perlu berbisik, sebab di sini hanya ada dirinya dan remaja sialan ini. Akan tetapi, berbisik adalah caranya untuk mengancam.     

"Dan lo akan menang dari Adam," ucapnya menutup kalimat.     

Arka tertawa puas mendengar itu. Menarik wajahnya untuk menjauh dari Davina yang kini tajam menyipitkan kedua matanya. "Sayangnya ... lo adalah gadis bodoh di sini, bukan Davira."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.