LUDUS & PRAGMA

123. Hati Yang Mendung



123. Hati Yang Mendung

0Akhir pekan adalah waktu yang pas untuk mengakhiri lelah setelah satu pekan menghadapi dunia dengan kesibukan yang luar biasa banyaknya. Sebuah tempat yang sempurna dikunjungi kala pagi datang dengan riangnya bersama sinar sang surya yang menyorot tegas menuju ke permukaan bumi adalah taman perbatasan kota. Di tempat inilah Davira memutuskan untuk menjemput surya. Tak sendiri, sebab ada sang sahabat yang kini menemani. Arka Aditya, datang sebagai seseorang yang sengaja dipanggil Davira untuk mendampingi lari paginya kali ini. Davira tak ingin sendirian, toh juga sudah sangat lama ia tak melakukan hal ini. Berjalan, ah tidak ... tapi berlari kecil bersama sang sahabat yang mengiringi setiap langkah dan mendengar setiap perkataannya adalah sesuatu yang amat sangat dirindukan oleh sang gadis sekarang ini.     
0

Bukan salah Arka tentunya, tak sempatnya Davira untuk berlari pagi bersama remaja jangkung itu sebab Adam-lah yang menjadi alasan kuat untuk itu. Davira sering menghabiskan pagi bersama Adam di akhir pekan. Entah hanya untuk berlatih fisik seperti ini, atau mengumbar kemesraan di mall pusat kota kalau siang hampir datang menyapa, yang jelas Davira terlalu sibuk untuk Arka.     

Remaja itu menoleh. Tepat mengarahkan pandangan lensanya untuk menatap gadis yang ada di sisinya sekarang ini. Davira tak memandanginya. Hanya terus menatap jauh ke depan seiring dengan langkahnya yang ringan membelah udara. Davira terlihat tenang. Tak ada masalah yang sedang menyelimutinya sekarang ini. Sejenak ia seperti melupakan fakta bahwa sang kekasih kembali berselingkuh dengan Davina dan berusaha untuk bersikap seolah-olah semua sudah kembali pada tempatnya.     

"Davira," panggil Arka menyela. Gadis itu sigap menarik earphone yang menyumbat telinga kirinya. Melengkungkan benda itu tepat di atas tengkuk lehernya untuk mulai memberi celah pada lubang telinganya mendengar suara sang sahabat.     

"Gak jadi," tukas Arka tersenyum ringan. Menggelengkan kepala kala gadis yang ada di sisinya hanya menyeringai. Kembali ia menarik earphone untuk menyumbat telinganya lagi.     

Tidak! Arka harus menanyakan ini. Pasal Adam, bagaimana Davira bisa mengontrol semuanya sekarang ini? Bahkan Arka masih mengingat bagaimana gadis itu menangis dan memeluknya malam itu. Dalam tatapan mata Davira, ia menyerah. Tak ingin kembali berjuang untuk mendapatkan posisinya lagi. Akan tetapi, hanya dalam satu malam gadis itu berubah sampai sekarang? Setenang ini? Tidak, Arka yakin ada yang sedang bergejolak di dalam sana.     

"Da—"     

"Katakan apa yang mau lo katakan, jangan membuang waktu seperti itu," sela Davira kini tegas mencabut earphone yang menyumbat telinganya. Gadis itu memelankan larinya hingga berjalanlah yang menjadi pilihannya. Arka mengimbangi. Tak lagi berlari kecil untuk mengeluarkan keringat dari dalam tubuhnya, ia kini berjalan seiring dengan apa yang dilakukan oleh Davira.     

"Boleh gue tanya sesuatu?" tanya Arka sembari menggaruk-garuk sisi alisnya. Tak ada yang gatal, namun inilah yang ia lakukan kala rasa aneh mulai datang menghampiri. Di dalam dirinya ada dua suara sekarang. Suara pertama untuk mengabaikan fakta yang sedang ada di depannya. Fakta bahwa Davira terlihat baik-baik saja tanpa ada beban yang memberatkan. Bukankah seharusnya ia bahagia? Maksudnya, Davira terlihat baik-baik saja sekarang. Tak ada air mata bahkan tak ada semburat kesedihan di atas paras cantiknya.     

Akan tetapi di sisi lain, Arka ingin menanyakannya. Ia ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada sang sahabat. Benarkah ini Davira? Atau ia hanya sedang melihat imitasi dari sahabatnya?     

"Soal Adam?" Davira menebak. Gadis itu mulai paham sekarang, apapun dan di manapun situasi serta keadaannya akan tetap sama pertanyaannya. Bagaimana dengan Adam?     

Keduanya kini terhenti. Saling tatap dalam diam sejenak membentang. Jujur saja, Davira ingin kembali pada Arka. Menjadi gadis yang bodoh dalam mencinta. Tetap bersama sang sahabat tanpa mau mencoba hal apapun di luar zona nyamannya. Davira merasakan semua itu. Ia merindukan panggilan manja Arka sebagai seorang sahabat untuknya. Ia bahkan merindukan berbicara pada Arka dan berbasa-basi dengan remaja itu. Tak melulu harus terlibat permasalahan seperti ini.     

Namun, Davira bisa apa? Semuanya sudah terlanjur jauh seperti ini. Berusaha untuk mengembalikan pada posisi semula sangatlah sulit bahkan tak mungkin.     

"Gue tau ini membosankan, tapi apa yang sedang lo rasakan sekarang?" Arka berkelit. Masuk ke dalam manik mata gadis yang ada di depannya itu. Tak ada perlawanan. Davira hanya diam tak memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Arka. Gadis itu seakan sedang menguji Arka untuk bisa menebak apa kiranya yang sedang dirasakan oleh Davira sekarang ini.     

"Menurut lo?"     

"Lo pasti hancur 'kan?" tanya Arka kembali menatap dengan teduh. Davira tersenyum miring. Langkahnya kembali tercipta. Ringan dan sedang diiringi dengan hawa dingin khas pagi yang membelai permukaan kulit. Gadis itu kini melipat rapi kedua tangannya di atas perut. Tak lagi menatap Arka, namun memfokuskan tatapannya tepat pada apapun yang ada di depannya saat ini. Di tempat inilah, ia bertemu dengan Adam. Rasa itu ... ada di tempat ini.     

"Haruskah gue mengakhiri semuanya, Ka?" Gadis itu melirih. Ia menghela napasnya ringan. Nada bicaranya memang terdengar halus dan lembut, namun selaan yang dibuat olehnya terasa begitu miris dan menyayat hati masuk ke dalam pendengaran Arka.     

"Bagaimana lo mengakhiri semuanya?" tanya Arka ikut melirih. Dirinya dan Davira sudah dewasa sekarang. Tak ada yang perlu diberatkan lagi. Bahkan jikalau suatu saat Davira pergi menghilang, ia akan paham. Sebab gadis itu sudah dewasa. Ia sudah mampu menentukan pilihannya sendiri sekarang.     

"Dengan menghancurkan semuanya. Adam dan Davina ...." Tatapan mata itu kembali pada Arka. Teduh nan sayu. Sukses membuat remaja yang ada di sisinya menghentikan langkah dan kasar menarik pergelangan tangan Davira. Ia tak tahu, bahkan dirinya tak tahu sekarang harus bagaimana lagi? Ia tak bisa banyak membantu Davira. Ia hanya bisa menjadi pendengar baik untuknya. Bahkan jika pun Arka memberi bogem mentah dan menghancurkan wajah tampan Adam sebab sudah menyakiti hati sang sahabat, itu tak akan berefek banyak untuk menyelesaikan masalah Davira. Gadis itu tak akan pernah lega.     

"Caranya?" tanya Arka menelisik.     

Davira tersenyum sejenak. "Aku membalas kehilangan dengan kehilangan juga," katanya menegaskan.     

Arka kini mulai memincingkan matanya. Tidak, ia berharap pemahamannya kali ini salah kaprah. Ia tak ingin Davira pergi dari hadapannya.     

"Gue bahkan gak bisa menangis untuk ini lagi. Gue terlalu muak," susulnya mengimbuhkan. Davira berbohong, gadis itu sedang ingin menangis sekarang. Namun sesuatu yang ada di dalam dirinya menghalangi. Hanya ada binar air mata di atas kelopak matanya. Tak ada yang jatuh dan mengalir sebab Davira menahan itu.     

"Lo akan tau nanti. Jadi tunggu saja, tanggal mainnya."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.