LUDUS & PRAGMA

124. Pengakuan Dari Pragma



124. Pengakuan Dari Pragma

0"Gue gak mau menunggu lagi. Gue gak mau bermain teka-teki lagi. Katakan apa yang akan lo lakukan?" tanya Arka tak kunjung melepas genggaman tangannya untuk Davira.     
0

Gadis itu kembali menghela napasnya ringan. Sigap sepasang netra miliknya kembali menyapu perubahan ekspresi wajah sang sahabat. Arka adalah laki-laki paling penting di dalam hidupnya sebelum Adam datang dan mengacau. Menyingkirkan posisi Arka dari kehidupan Davira. Semesta memang gila, menempatkan dirinya sebagai tokoh utama dalam drama romansa picisan dengan alur murahan seperti ini.     

Davira mencintai sang kekasih dengan sangat tulus. Menempatkan segala harapan dan doa baik untuk seorang Adam Liandra Kin, namun yang ia dapat hanyalah sebuah pengkhianatan. Dari sekian banyak macam hukuman mengapa harus seperti itu? Davira meninggalkan seorang laki-laki yang sudah baik dan setia di sisinya hanya untuk memperjuangkan seorang Adam Liandra Kin? Bodoh! Jika ia tahu semua akan berakhir seperti ini, maka ia tak akan pernah mau memilih jalan itu dulunya. Ia akan terus berasa Arka dalam hubungan yang baik. Jikalau semesta mengijinkannya, Davira akan hidup bersama dengan Arka sebagai seorang pasangan yang berbahagia.     

Namun, Alur berkata lain. Banyak rasa sakit yang sudah diterima olehnya. Tak hanya dihantam sekali, namun dirinya dijatuhkan bertubi-tubi banyaknya. Ia menyerahkan tubuhnya pada Adam malam itu, merasakan cinta penuh dengan gairah yang menggebu. Mempercayai bahwa Adam adalah laki-laki yang akan terus bersamanya tanpa ada kata pengkhianatan yang menyertai. Semesta mengacaukan segala hubungan baiknya dengan sang kekasih. Mengirim Davina sebagai gadis brengsek yang ada dan menghancurkan semuanya. Memberi luka yang teramat dalam di lubuk hatinya.     

"Gue melakukannya dengan Adam," kata Davira membuat pengakuan. Menundukkan pandangan sebab tak kuasa menatap Arka Aditya sekarang ini.     

Remaja itu diam sebab belum bisa mengerti dengan benar apa yang sedang dimaksudkan oleh Davira. Melakukannya? Melakukan apa?     

"Gue bilang ... gue sudah melakukannya dengan Adam malam itu," ulangnya memberi penekanan. Sesekali Davira menggigit bibir bawahnya. Seluruh tubuhnya gemetar. Entah mengapa, namun yang dirasakan olehnya adalah sebuah ketakutan yang luar biasa adanya.     

Arka kini mulai mengubah ekspresi wajahnya. Menghela napasnya kasar sembari ber-wah ringan selepas mengerti apa yang dimaksudkan oleh sang sahabat. Hubungan suami istri? Gila! Davira pasti sedang gila sekarang ini. Itu sebabnya ia berbicara 'ngawur' seperti itu.     

"Bukan hubungan intim tapi kita melakukannya. Dia melihat semua yang ada di dalam diri gue dan begitu juga sebaliknya. Dia melepas semua—"     

"Cukup Davira!" Arka berteriak lantang. Menghentikan kalimat gadis yang masih menunduk. Davira masih belum bisa menatapnya dengan benar sekarang ini. Rasa takut dan kalut mungkin adalah alasan utama ia terus menatap jatuh di atas tanah.     

"Jangan berbohong hanya untuk memberatkan keadaan." Arka melirih. Mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menarik bahu sahabatnya sekarang. Kuat mulai merapatkan jari jemarinya untuk mencengkram bahu sang gadis.     

"Tatap mata gue," perintah Arka melirih. Davira tak mengindahkan itu. Tetap dalam kondisinya yang kokoh menatap ujung sepatu sang sahabat.     

"Tatap mata gue Davira!!!" Remaja itu kembali mengulang. Nada bicaranya semakin menggila dengan ekspresi wajah yang tak bisa dikontrol olehnya. Amarah mulai memuncak. Menggebu-gebu di dalam diri seakan benar ingin lari menghampiri Adam dan menghabisi remaja itu di tempatnya.     

Davira perlahan menaikkan pandangan matanya. Samar netranya indahnya itu menangkap potret paras tampan milik Arka Aditya. Wajah remaja itu memerah. Dengan tatapan tajam seakan seseorang yang baru saja mendapati kekasih hatinya mati dipenggal secara brutal di depan wajahnya sendiri.     

"Katakan yang sebenarnya," tukasnya dengan lembut.     

"Gue sudah mengatakan semuanya." Davira menyahut. Kini ia tak bisa mengatakan apapun lagi. Tujuannya mengajak Arka kemari adalah untuk mengakui dosanya. Memberi tahu pada sang sahabat yang jelas-jelas sangat mencintainya akan apa yang sudah diperbuatnya dengan sang kekasih malam itu.     

Alasan Davira begitu mencintai Adam dan alasan mengapa ia tak bisa melepas remaja itu begitu saja, adalah raganya sudah terbawa bersama Adam bukan hanya hati dan perasaannya saja.     

Arka menghela napasnya kasar. Menundukkan pandangan untuk menatap ujung sepatu miliknya. Perlahan cengkramannya melunak. Tak lagi menahan tubuh Davira untuk tetap berada di depannya saat ini.     

"Alasan lo gak bisa melepas Adam karena lo hamil anaknya?" tanya Arka memasukkan. Melirik perut sang sahabat yang masih terbilang normal.     

"Gue memang bodoh, tapi tak sebodoh itu." Ia kembali menimpali. Tegas nada bicaranya terdengar masuk ke dalam lubang telinga sang sahabat.     

Arka menganggukkan kepalanya. Fakta yang ia takutkan selama ini tak benar adanya. Setidaknya ia bisa sedikit bernapas lega sekarang.     

"Apa lagi yang lo sembunyikan dari gue?"     

Gadis itu menghela napasnya. Berjalan dengan memundurkan satu langkah kakinya untuk menjauh dari sang sahabat. Kembali lensa itu tajam menitik pada netra teduh nan pekat milik Arka Aditya. Ia akan merindukan cara sahabatnya menatap nanti. Pasti, Davira pasti sangat merindukan itu.     

"Kenapa? Ada yang lebih parah dari bermalam dengan Adam?" tanya Arka kala tak kunjung ada jawaban dari Davira.     

"Lo mau menemani gue nanti siang?" Davira kembali melempar pertanyaan untuk Arka Aditya. Dalam diam dirinya harus merelakan banyak hal. Berdiam diri dan menatap semua yang sudah tak pada tempatnya, membuat hatinya benar-benar sakit dan kacau.     

Ia tak bisa terus menatap Adam dengan cara yang sama namun perasaan berbeda. Ia tak bisa lagi diam sebagai saksi bisu untuk perselingkuhan sang kekasih. Davira juga tak bisa berpura-pura lagi bahwa Arka masih ada di sisinya sekarang ini. Ia yang sudah meninggalkan Arka hanya untuk Adam, hingga membuat sahabatnya itu lebih nyaman bersama Rena sekarang ini. Davira tak bisa hanya diam berdiri dengan berpura-pura bahwa semua akan kembali pada tempatnya seiring dengan waktu yang berjalan nantinya.     

--sebab waktu tak sebaik itu.     

Gadis itu tak tahu kapan semuanya akan berakhir dan menjadi lebih baik lagi. Ia pun tak bisa memastikan bahwa sesuatu yang lebih buruk tak sedang ada dan menunggunya di depan sana. Ya, Davira menyerah sebab dirinya payah!     

"Ke mana?" Lirih suara itu menyela. Tatapan teduh masuk ke dalam netra Davira.     

"Aku ingin bertemu dengan Ana dan Alia." Ia memungkaskan kalimatnya. Tersenyum ringan sembari sigap jari jemarinya kasar mengusap kedua pipinya yang baru saja basah oleh air mata. Meskipun tak deras, namun butiran bening itu sesekali menetes untuk mengekpresikan betapa terlukanya hati seorang Davira Faranisa.     

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Arka kembali menyela.     

Davira menghela napasnya ringan. "Karena aku merindukan mereka."     

Arka diam bungkam tak bersuara. Kini ia mulai paham akan satu hal, apapun yang diputuskan oleh Davira tentu akan mengubah banyak hal mulai sekarang ini. Di mulai dari pengakuannya pada Arka dan berlanjut pertemuannya dengan Alia dan Ana.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.