LUDUS & PRAGMA

125. Tentang Ambisi



125. Tentang Ambisi

0Jangan pernah berharap semesta akan mengembalikan semua yang diambilnya darimu. Semesta tak sebaik itu. Ketika sesuatu atau seseorang pergi menghilang dari kehidupanmu, kau yang harus mengambilnya kembali. Jangan menunggu semesta untuk mengembalikannya. Simpelnya begini, jika kau menginginkan apa yang sudah diambil semesta kembali padamu, maka kau harus merebutnya. Akan tetapi jikalau kau tak lagi menginginkan itu, pergi dan biarkan hilang bersama waktu. Begitulah cara bermain bersama semesta.     
0

Davira meletakkan sekeranjang buah yang dibelinya sebelum datang kemari. Selepas siang datang bersama panasnya yang ganas menyengat, kini tinggal sore datang menyambut senja indah di atas cakrawala. Davira menghabiskan sorenya di tempat ini. Berkunjung ke rumah keluarga tiri selepas kematian Mira tentu akan terasa berbeda untuk Davira. Tak ada lagi warna di dalam rumah mewah ini. Semua terasa hitam dan putih yang menghiasi. Tawa canda tak ada lagi terdengar masuk ke dalam lubang telinga gadis itu. Alia menjaga Ana di lantai atas, di sini ia hanya bisa bertemu dengan sang papa, Denis.     

Arka melirik. Tepat pada gadis yang tersenyum ringan sembari mendorong keranjang buah yang ada di depannya sekarang ini. Ia tak tahu, masih belum paham sejauh ini. Mengapa Davira mengajaknya kemari alih-alih menghabiskan senja di tempat yang lebih baik guna menghibur hatinya yang sedang kalut?     

"Davira ingin bertemu dengan Alia," ucapnya memulai perbincangan. Denis mengangguk. Ditatapnya sang putri dengan penuh kehangatan. Tentu, tangan dan pintu selalu terbuka untuk Davira sekarang ini. Ia tak perlu meminta ijin sebenarnya, sebab dirinya adalah bagian dari keluarga ini. Meskipun tak besar dan tak mewah seperti dulu, namun setidaknya masih nyaman untuk ditempati oleh ketiga putrinya jikalau Davira ingin menginap malam ini.     

"Dia ada di lantai atas. Kamu bisa naik dan—"     

"Terimakasih." Davira kembali menyela. Memotong kalimat sang papa yang baru saja ingin menjelaskan. Ia bangkit. Sejenak menatap Arka yang memilih diam menjadi saksi bisu di sini. Dalam diamnya, remaja itu sedang mencoba menerka situasi yang sedang terjadi padanya. Alasan mengapa Davira mengajaknya kemari adalah hal yang paling ingin diketahui oleh Arka sekarang ini.     

"Davira naik dulu," tuturnya membungkuk. Meskipun gadis itu membenci sang papa, namun tetap saja. Pria itu adalah orang yang usianya lebih tua dari Davira. Diana, sang mama mengajari dirinya untuk bersikap sopan pada orang yang lebih tua darinya. Siapapun itu, bahkan orang brengsek tak tahu diri sekalipun.     

"Lo bisa ikut kalau mau ikut." Gadis itu kini menatap sang sahabat. Kalimat singkat yang diucapkan sukses menarik pandangan Arka untuk menoleh dengan sedikit menaikkan pandangannya menatap gadis yang tersenyum kaku padanya.     

"Nanti gue nyusul," ucapnya membalas. Davira hanya mengangguk. Tak ingin banyak berbasa-basi dan menghabiskan waktunya di sini, gadis itu pergi berlalu dan berjalan menaiki satu demi satu anak tangga untuk menghantar tubuhnya sampai ke lantai atas. Tempat di mana Alia dan Ana berada.     

Ada satu tujuan Davira datang kemari. Sebab rindu? Omong kosong! Gadis itu bukan gadis baik yang akan melupakan semua rasa sakit dan mengabaikan luka yang ada di dalam hatinya begitu saja. Alasan Davira datang kemari adalah menyapa untuk berpisah.     

"Alia ...." Gadis itu memanggil selepas langkahnya tepat menginjak ubin pertama di lantai atas. Menatap gadis yang bermain bersama sang adik di balkon rumahnya. Yang dipanggil menoleh. Tepat mengarah pada kedatangan gadis yang kini berjalan ringan mengarah padanya.     

Senyum perlahan mengembang di atas paras cantik itu. Memberi isyarat penyambutan akan kehadiran Davira yang terkesan tiba-tiba. Meskipun begitu, Alia sangat bahagia melihat fisik Davira di depannya.     

"Kakak datang?" tanyanya antusias. Bangkit dari posisi duduknya dan berniat untuk menghampiri Davira.     

Davira mencegah. Memberi isyarat bahwa dirinya yang akan ke sana, Alia tak perlu datang. Ia hanya cukup menunggu dengan terus mengawasi sang adik.     

"Kenapa kakak datang?" tanyanya lagi. Davira tersenyum. Duduk di sisi balkon tempat kursi sofa kecil berada. Ia tak ingin banyak berbasa-basi sekarang ini. Melihat wajah Alia dan Ana dengan semburat kemiripan dengan Mira membuatnya muak!     

"Ada yang ingin aku bicarakan." Davira memulai. Menatap gadis kecil mungil yang sedang sibuk dengan puluhan mainan bayi di depannya. Sejenak menghela napasnya kemudian tegas menoleh pada Alia yang menunggu kalimat lanjutan dari dirinya sekarang ini. Tak ada kecurigaan di dalam tatap lensa Alia untuk Davira. Gadis itu terlalu bahagia mengetahui sang kakak tiri datang menyambangi rumahnya tanpa alasan tertentu yang mendesak seperti sekarang ini.     

"Bicaralah, kak. Alia dengan senang hati mendengarnya." Gadis itu kembali mengembangkan senyum manis. Berusaha untuk tetap akrab dengan Davira meskipun canggung benar terasa sekarang ini. Ia tak begitu mengenal Davira, begitu juga sebaliknya. Waktu, jarak, dan keadaan memisahkan dua gadis tak bersalah ini. Menjadi asing dan membenci diluar fakta bahwa mereka adalah saudara satu ayah.     

"Tentang nama pemegang saham kepemilikan perusahaan papa yang ada di London, bisa kamu berikan semuanya untuk kakak?" Bingo! Inilah alasan Davira datang kemari. Mengambil apa yang menjadi milik Alia untuk rencana-rencana bodohnya.     

"M--maksud kakak?" tanya Alia gagap. Ia bukan gadis pandai yang mengerti akan hal semacam itu. Dirinya masih di bawah umur, bagaimana bisa ia menjadi pemegang saham sebuah perusahaan internasional?     

"Aku akan menjelaskan singkat." Gadis itu meraih pergelangan tangan sang adik tiri. Menatap masuk ke dalam netra teduhnya untuk mencoba membangun dinding pengertian pada gadis itu sekarang.     

"Papa punya perusahan besar yang baru berkembang di London, aku sudah memeriksanya ... hampir 75 persen, nama kamu adalah pemegang saham terbesar di perusahaan itu. Jika papa mengundurkan diri, maka perusahan dan segala asetnya akan jatuh ke tangan kamu nantinya. Hanya menunggu—"     

"Kenapa kakak ingin mengambil itu?" tanya Alia menyela. Anak pintar! Dalam sekali menjelaskan ia sudah banyak memberi pemahaman. Mirip dengan Davira Faranisa.     

"Aku akan menukarnya dengan perusahaan yang ada di Indonesia. Meskipun tak sebesar yang ada di London, tapi seluruh saham atas nama aku di Indonesia akan menjadi milik kamu 100 persen." Gadis itu tak menghiraukan pertanyaan dari Alia. Terus mencoba untuk menyakinkan gadis yang ada di depannya sekarang ini. Arka benar, Alia dan Davira memiliki banyak kemiripan. Itu sebabnya mereka pantas disebut sebagai si kembar tak serupa wajah dan nasibnya.     

"Aku hanya mengambil milik kamu 75 persen dan kamu mendapatkan tukar 100 persen. Katakan saja seperti aku mengambil uang kamu 10 ribu dan aku menukarnya dengan—"     

"Alia paham itu." Alia kembali menyela. Sukses membuat Davira kembali bungkam sejenak.     

"Alia hanya tanya ... mengapa kakak ingin bertukar sekarang?" tanyanya mengulang.     

Davira menghela napasnya ringan. "Aku mencintai London."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.