LUDUS & PRAGMA

126. Kalimat Tak Baik



126. Kalimat Tak Baik

0Malam seakan menjadi saksi bisu untuk Arka juga sang gadis pujaan. Hanya beralaskan sebuah harapan tak pasti, Davira tetap dalam pendiriannya. Bersama sang kekasih dengan bodohnya ia menganggap semua sudah baik-baik saja. Bahkan ia sempat tersenyum manis pada Adam sebelum berada di tempat ini. Menjadi gadis yang seperti itu, tentu bukan hal yang mudah untuk seorang Davira Faranisa. Arka pun begitu, ia masih kokoh dalam tekadnya untuk terus mencintai Davira di keadaan seperti ini. Rasanya hampa, terkadang. Sepi juga menyayat hati kalau mendengar kabar buruk menimpa sang sahabat. Duduk bersama Davira tak bisa menjamin segalanya akan bahagia dan bisa menjemput takdir baik nantinya. Mereka sama-sama terluka. Dalam diam, Davira menyimpan banyak duka yang tak bisa diceritakan seluruhnya pada sang sahabat. Arka pun begitu, mengikuti langkah Davira dan merasakan apapun yang gadis itu rasakan adalah cara terbaik untuk melindungi sang sahabat.     
0

Ia payah dan lemah. Bertindak dalam sebuah batasan yang tak boleh dilampaui adalah sebuah tantangan tersendiri untuknya. Melihat Davira perlahan hancur seperti ini, tentu menjadi sayatan yang meninggalkan bekas luka di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Namun, Arka bisa apa? Ia hanya bisa menjadi penonton bisu yang berusaha tetap waspada dalan keadaan buruk yang mungkin akan terjadi ke depannya. Davira tak mengijinkan campur tangan dari remaja itu banyak. Ia hanya ingin Arka tetap bahagia dengan hidupnya sekarang ini.     

Bahagia? Mustahil! Separuh bahagia Arka pergi terbawa oleh harapan kosongnya hidup bersama sang sahabat. Separuh jiwanya pun entah kemana hilangnya sekarang ini. Merasa bahwa waktu telah mengubah banyak hal selepas Davira melangkah keluar dari zona nyamannya dua tahun lalu.     

Tak ada yang salah juga tak ada yang keliru, semua benar dalam pendiriannya. Hanya pasal waktu saja, sebab tak semua baik datang diwaktu yang baik pula.     

"Gue mendengar semuanya, Davira." Arka mencoba untuk kembali mendesak sang sahabat. Sebelumnya ia sempat bertanya, apa gerangan yang membuat hati Davira tergerak untuk melihat wajah Alia dan Ana di rumahnya? Tenyata ini! Sedikit aneh dan terkesan ceroboh memang. Tak seperti Davira yang hanya mengambil satu peluang dengan keuntungan terbesar, yang sedang duduk bersamanya adalah gadis bodoh yang suka tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.     

Menukar nama pemegang saham dengan kerugian 25 persen? Sangat gila! Benar-benar bukan seperti seorang Davira Faranisa.     

--permasalahannya dengan Adam mengubah caranya berpikir juga bersikap dalam mengambil keputusan, rupanya.     

"Gak ada yang ingin lo katakan tentang itu?" tanya Arka kembali membuka suaranya. Ia benar-benar belum bisa menerka apa kiranya yang sedang bergulat di dalam kepala gadis yang hanya diam terus menatap jauh ke depan. Pemandangan tak ada yang menarik memang, namun Davira ia lebih memilih menatap ke depan ketimbang harus memberi sorot lensa indahnya untuk sang sahabat.     

"Lo beneran akan diam? Sampai kapan?" Ia kembali berucap. Tegas nada bicara guna menarik perhatian gadis yang ada di sisinya sekarang ini. Davira tak banyak berbicara selepas keluar dari kawasan rumah sang papa. Meninggalkan Alia dengan ribuan pertanyaan yang mungkin muncul di dalam kepala gadis kecil itu. Bertukar? Tentu, Alia akan mendapat banyak keuntungan dan segala kerugian akan didapat oleh Davira. Bodoh, haruskah Arka mengatai sang Sahabat dengan kata konyol itu.     

"Memangnya apa yang bisa gue jelaskan sekarang?" Davira mulai membuka mulutnya. Sejenak ia menoleh sembari tersenyum ringan pada sang sahabat. Senyum itu, sangat mengerikan! Sungguh, hati Arka tersayayat sekarang ini. Luka Davira berpindah padanya hanya melalui senyum kecut yang dilemparkan Davira padanya.     

"Apa yang lo rencanakan? Mengambil alih perusahaan yang ada di London dan—" Ucapan Arka terhenti selepas menyadari satu hal yang baru saja masuk ke dalam kepalanya. Benar, ada satu fakta yang dilewatkan olehnya selama ini.     

"Jangan bilang papa lo tau tentang ini?" Arka menyerongkan tubuhnya untuk bisa menghadap Davira dengan dengan benar. Sepasang matanya membulat bersama kerutan kening yang mulai sama terlihat.     

"Pemilik 25 persen harus tau tentang ini bukan?"     

"Mama lo?" tanya Arka menyahut. Raut wajahnya aneh sekarang. Kala ia menyadari sesuatu yang tak wajar di antara mereka berdua sekarang.     

"Dia adalah mama gue, tentunya tahu." Kalimat dengan nada bicara ringan terus saja terdengar masuk ke dalam telinga Arka. Sesekali Davira tersenyum ringan menutup apa yang dikatakan olehnya. Ringan dan nyaman memang terdengar, namun hati gadis itu pasti sedang menjerit-jerit sekarang ini.     

"Lo akan pergi ke London?" To the point! Arka kini mulai menangkap maksud gadis yang ada di sisinya. Ya, Davira mengajak Arka sedari tadi pagi untuk membuat remaja itu menyadari satu hal. Rencana untuk lari. Menjauh dari semua yang aneh sekarang ini. Arka tak mengerti mengapa Davira memilih jalan seperti ini. Pergi ke London bukan hanya pasal menjauh dan menghilang dari kehidupan sang kekasih, namun juga memungkin bahwa Davira tak akan pernah kembali lagi.     

"Lo gila!" Arka menyentak. Tegas meninggikan volume bicaranya untuk membentak gadis yang kini tertawa kecil.     

"Kalau lo pengen menghancurkan Adam sehancur-hancurnya, gue bisa bantu. Membunuh Adam? Akan gue lakukan. Tapi gue gak bisa melihat lo pergi dari Indonesia, Davira." Arka merengek. Menghembuskan napasnya kasar sebagai tanda gusar hatinya kali ini. Davira terlalu ceroboh baginya. London bukan tempat untuk Davira hidup. Di sana tak akan ada dirinya, sebab Arka tak akan pernah bisa ikut Davira pergi ke negara asing itu. Toh juga, Diana pasti akan tetap di Indonesia untuk mengurus bisnisnya bukan? Lantas, siapa? Davira akan bersama siapa di sana nanti?     

"Apapun akan gue lakukan asalkan lo masih di sini, Davira. Please!" Arka memohon. Menyatukan kedua tangannya tepat di hadapan gadis itu. Davira memalingkan wajahnya. Sejenak ia menundukkan pandangan sembari mulai menggigit bibir bawahnya. Ia ingin menangis, sungguh. Hal yang paling dihindarinya ketika memberi tahu Arka pasal rencananya untuk pergi sejenak dari kampung halaman adalah adegan ini. Arka akan menatapnya dengan teduh. Mata remaja itu berbinar bahkan ingin menangis sekarang ini. Tangannya menyatu dengan sesekali ia mencoba untuk merengek bak bayi yang ditinggal pergi oleh ibunya pagi hari.     

Davira membenci ini. Jujur saja, membuat Arka menyadarinya sendiri tanpa ia harus memberi tahu adalah jalan terbaik untuk tidak berhadapan dengan adegan melankolis seperti ini. Akan tetapi dirinya salah, adegan ini selalu ada. Bahkan sekarang ia merasakan pedihnya.     

"Davira ... please! Don't go," susul remaja itu melirih. Tangannya melunak selepas tatapan Davira kembali mengarah padanya.     

Gadis itu menggeleng ringan. Tersenyum tipis dengan tetesan air mata yang mulai turun membasahi pipinya. Ia kalah, menatap paras sedih sang sahabat ia sangat kalah. Payah dan lemah kalau sudah melihat Arka seperti itu. Remaja itu adalah laki-laki yang kuat. Bahkan ia selalu membuat Davira tersenyum di tengah masalah yang sedang dihadapinya. Ia tak pernah menangis di depan Davira selama berpuluh tahun lamanya, akan tetapi malam ini ... Arka menangis.     

"Gue ingin menghancurkan Davina. Otomatis gue juga akan menghancurkan Adam, tapi gue gak bisa melihat Adam hancur. Jadi gue memilih pergi untuk sementara, Arka." Gadis itu menjelaskan. Mencoba membangun dinding pengertian di dalam diri sang sahabat.     

"Mengertilah," pungkasnya melirih.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.