LUDUS & PRAGMA

127. Peran Sahabat



127. Peran Sahabat

0"Mengerti? Bagaimana bisa gue mengerti semua ini?" Arka memprotes. Menarik bahu gadis yang duduk rapi di sisinya sembari terus menatap paras tampan Arka dengan sesekali berkedip untuk menyesuaikan lensanya dengan keadaan baru sekarang ini. Davira tak lagi menangis. Tetes air mata itu sirna selepas ia kembali mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri sekarang. Semua akan baik-baik saja. Semua akan kembali ke tempatnya selepas Davira pergi dan kembali nanti. Adam mungkin akan berubah. Tak lagi menjadi kekasihnya yang terus bisa bersama dengan Davira. Takdirnya tak akan pernah sebaik ini lagi.     
0

Ketika Davira pergi, ia paham benar bahwa dirinya tak hanya kehilangan Adam, namun juga seluruh kehidupan yang ada di Indonesia sekarang ini. Semuanya akan berubah, entah menjadi lebih baik atau malah bertambah buruk dan tak terkendali lagi.     

"Berapa lama?" tanya Arka kembali membuka suaranya kala Davira tak kunjung menjelaskan situasi aneh yang sedang dibuatnya sekarang ini.     

"Satu tahun. Paling lama dua tahun berjalan. Gue akan kembali setelah semuanya baik-baik saja." Davira menyahut. Ia berbicara dengan nada lembut sekarang ini. Tak ingin banyak memberi rasa sakit pada hati sahabat yang sudah kacau selepas mendengar kalimat singkat darinya itu.     

Arka pastinya terkejut, sebab ia tak pernah menyadarinya selama ini. Davira terlihat diam. Menguasai semuanya sebab gadis itu sudah menyusun rencana apik rupanya. Pergi menjauh dari kehidupan penuh luka ini adalah cara Davira untuk menyelesaikan masalah yang sedang dirundung oleh dirinya sekarang. Davira diam, sebab ia tak ingin semuanya menyadari keanehan yang ada di dalam dirinya sekarang. Gadis itu berencana untuk pergi secara diam-diam.     

"Pasti Adam gak tau 'kan?" Remaja jangkung itu menebak. Mencoba menerka setiap alur yang akan dibuat oleh Davira selepas malam ini berakhir nanti.     

"Dia akan tadi di hari gue pergi nanti. Papa sudah mengurus semuanya dan mama juga begitu. Adam gak akan pernah tahu ke mana gue pergi, Arka. Jadi gue minta sama lo untuk—"     

"Gue gak akan memberi tahu Adam. Lo akan menghilang begitu saja bukan? Ya, itu rencana lo." Arka masih memprotes. Ia tak bisa menerima itu. Nada bicaranya tak lagi terdengar bersahabat sekarang. Coba katakan, sahabat mana yang tak merasa dikhianati selepas ia mengetahui bahwa sahabatnya menyusun sebuah rencana gila seperti ini? Ya, tak akan ada. Davira memang sudah tumbuh dewasa, begitu juga dirinya. Akan tetapi tetap saja Arka adalah bagian dari hidup gadis cantik itu. Setidaknya beri tahu lebih awal. Mengapa harus mendekati hari sebelum dirinya pergi?     

"Bukan gitu, Arka. Gue cuma gak mau lo kepikiran tentang ini." Davira menimpali. Sembari menautkan kedua alis cokelat ia mendesah ringan. Arka berhak untuk marah. Bahkan remaja itu berhak untuk mengumpat pada Davira yang sudah menyembunyikan segalanya dari dirinya, namun sejenak saja dengarkan Davira berbicara dan pikirkan dengan baik apa yang dimaksud oleh gadis itu.     

"Kapan lo akan pergi?" Arka menghela napasnya. Lagi-lagi ia tak peduli dengan apa yang dijelaskan oleh sang sahabat. Toh juga penjelasan apapun tak akan pernah mengubah fakta bahwa Davira sudah berdusta terlalu banyak padanya.     

"Setelah ujian berakhir. Minggu depan, tepat saat pengumuman lepas jabatan Adam dari kapten basket."     

Deg! Arka diam. Benar, waktunya bersama Davira tak banyak. Hatinya sakit, perih, dan panas. Bagaimana bisa gadis itu mengakui semuanya selepas satu minggu sisa waktu mereka bersama. Gila memang, satu minggu tak akan pernah bisa menebus rasa rindu selama satu hingga dua tahun ke depan.     

"Bantu gue Arka." Davira memohon. Meraih pergelangan tangan sang sahabat yang kini mulai menggelengkan kepalanya samar. Arka masih dalam keadaan awalnya, tak percaya dan tak mau memberi kepercayaan untuk ini lagi. Jika memang hanya pergi ke lain kota, Arka akan bisa memaafkan Davira dengan cepat, namun ini ... Davira pergi ke lain negara yang sangat jauh.     

"Jangan pergi," ucap Arka tiba-tiba. Masih belum bisa merelakan apa yang menjadi keputusan Davira malam ini. Gadis itu tersenyum miris. Di depannya adalah Arka, yang menolak mentah-mentah kepergiaannya. Bagaimana jika Adam tahu akan hal ini nanti? Apa dan bagaimana kiranya respon remaja itu ketika mendengar sang kekasih pergi meninggalkan dirinya bertahun-tahun lamanya?     

"Maafin gue, Ka. Tapi ini keputusan gue," sela Davira mengusap punggung tangan sang sahabat.     

Sigap tangan Davira merogoh masuk ke dalam tas selempang yang dikenakan olehnya. Mengeluarkan satu map kecil berwarna cokelat muda dan menyodorkannya untuk sang sahabat.     

"Ini bukan kado kenang-kenangan dari gue, tapi permohonan bantuan dari gue," tuturnya sembari menatap paras tampan remaja berhidung lancip itu.     

Arka diam sejenak. Ikut memberi tatapan pada sang sahabat dengan penuh keraguan. Tangannya perlahan terulur. Jari jemarinya kuat meraih apa yang diberikan Davira untuk dirinya malam ini. Arka belum bisa menebak isi amplop itu, setidaknya bukan uang atau sebuah kado cantik yang mempermanis hubungan. Raut wajah Davira tak seperti mengisyaratkan akan hal itu. Namun, ekspresi wajah itu seakan memberi kode padanya bahwa apapun yang ada di dalam map kecil itu adalah sebuah kesalahan dan dosa milik sang kekasih.     

"Bukalah, gue akan menjelaskan apapun yang menjadi pertanyaan lo setelah membukanya." Ia tersenyum manis. Tepat mengarahkan sorot lensa pekat miliknya untuk menatap map yang kini mulai dibuka oleh Arka.     

Remaja itu diam sejenak. Matanya perlahan membulat kala mendapati beberapa rekam gambar yang tak pernah diduga olehnya bahwa Davira akan memiliki ini. Banyak bukan hanya satu atau dua, namun beberapa. Bahkan gadis itu memiliki foto 'selfie' sang kekasih bersama Davina dalam pose yang amat sangat mesra.     

--wah, Adam memang gila!     

"Dari mana lo dapat semua ini?"     

Davira diam sejenak. Kembali ia merogoh masuk ke dalam tas kecil yang ada di atas pangkuannya sekarang. Ia menyerahkan flashdisk pada sahabatnya. Sembari samar bibirnya melengkung untuk memberi isyarat pada Arka bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bukan keadaannya, namun hatinya. Davira sudah mengikhlaskan semua ini. Inilah yang disebut sebagai menghancurkan.     

"Di dalamnya ada file rekaman suara dan bukti percakapan Davina dan Adam. Perselingkuhan mereka ada di dalam flashdisk itu."     

"Lo dapat semua ini dari mana?" tanya Arka mengulang. Mengabaikan penjelasan dari sang sahabat. Tatapannya menajam. Mencoba untuk menerka apa kiranya yang ada di dalam kepala gadis itu sekarang ini.     

"Arka Aditya, Kayla Jovanka, Raffardhan Mahariputra Kin, dan Candra Gilang. Gue dapat dari mereka, dan gue kumpulkan jadi satu." Davira tersenyum mengakhiri kalimatnya.     

Candra? Ya, Candra sedikit banyak ikut membantunya melalui informasi yang didapat gadis bernama Kayla Jovanka. Informasi tentang pertemuan Davina dan Adam di kafetaria waktu itu, bukan dari Kayla ataupun Raffardhan Mahariputra Kin, melainkan dari Candra Gilang.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.