LUDUS & PRAGMA

128. Asmaraloka



128. Asmaraloka

0Semilir angin berembus membelai kulit dua perempuan yang kini saling menatap jauh ke atas langit. Gemintang menghias, seakan tak ingin mendung datang dan merusak suasana baik malam ini. Bagi sebagian orang, namun bagi Davira hari kepergiaan gadis itu sudah semakin dekat. Semua yang direncakan sudah tersusun rapi satu persatu. Terlaksana sebagaimana mestinya dengan akhir kisah yang entah mau dibawa nantinya. Akankah pilihannya sudah benar? Ataukah ini adalah jalan lain untuk menjemput duka baru yang mungkin saja datang di penghujung kisah nanti?     
0

Davira tak menyukai London. Yang ia inginkan hanya Indonesia, kampung tercintanya. Di sini ada Arka, Rena, Raffa, teman-teman, sekolah, juga ada sang mama yang akan terus mendengar keluh kesahnya selama menghadapi masa remaja. Akan tetapi, dirinya tak bisa terus menghadapi Adam juga Davina. Mereka adalah teman Davira. Satu sekolah bahkan satu lingkup pertemanan. Mustahil untuk benar bisa melupakan wajah Adam jikalau masih berada di tempatnya sekarang ini. Ia akan terus berpapas dan bertemu dengan remaja itu kemanapun dan di manapun Davira berada. Melupakan Adam tanpa memberi jarak untuk keduanya, adalah hal yang mustahil.     

"Davira," panggil Diana menyela lamunan sang putri. Rasanya sepi setiap tak ada senyum yang mengembang di atas paras cantik Putri semata wayangnya itu. Semua terasa berbeda belakangan ini. Davira tak banyak bercerita, pasal niatnya pergi ke London hanya ingin mengasingkan diri dari keramaian dan kelelahan yang dirasa, begitu kisah singkat yang diceritakan Davira pada Diana.     

Bukan sang ibu namanya kalau tak mendapati hal yang ada di dalam diri sang putri. Diana paham benar jikalau Davira sedang menyembunyikan sesuatu sekarang ini. Melarang dirinya untuk berbicara dan mengabari Adam nanti kalau remaja itu bertanya kemana perginya sang kekasih seakan menjadi point penting yang harus segera ditelisik alasannya.     

"Kamu putus dari Adam?" tanya Diana dengan nada hati-hati. Dirinya tak ingin menyakiti bahkan menyingung hati Davira malam ini. Putrinya sudah dewasa, namun tak sepenuhnya dewasa. Ada emosi yang belum bisa dikontrolnya dengan baik di usia seperti ini. Diana pernah merasakannya, menjadi orang dewasa dengan pemikiran konyol yang tak matang adalah hal yang paling menyebalkan untuk dirinya kala itu.     

Davira menghela napasnya ringan. Menggelengkan kepalanya tak mau menoleh untuk menatap sang mama kali ini. Ia harus berkata jujur, bahkan sebelum kepergiannya ke London untuk bertahun-tahun lamanya nanti.     

"Mama senang ketika mendengar kamu ingin ikut pergi bersama papa dan bersekolah di sana, tapi mama butuh alasan yang jujur untuk itu. Mengapa harus sekarang? Mengapa tidak menunggu selesai sekolah dan baru pergi ke sana untuk mencari perguruan tinggi terbaik? Dan mengapa Adam tak boleh tau tentang itu? Semua pertanyaan itu masih ada di dalam hati mama sekarang ini," ucap Diana panjang lebar. Lembut nada bicara itu seakan sedang membelai-belai setiap inci rambut gadis yang kini mulai tertiup oleh embusan dinginnya angin malam.     

Davira mulai menoleh. Tepat menatap sang mama yang diam membisu untuk menunggu jawaban pasti darinya. Davira paham benar, tak ada seorang anak yang bisa menipu ibunya sendiri.     

"Bagaimana perasaan mama saat mengetahui papa selingkuh dulunya?" Davira menatap. Teduh dan penuh makna. Meminta sang mama untuk segera menjawab pertanyaannya kali ini. Ia tak ingin banyak berbasa-basi. Hanya ingin jawaban pasti dengan kalimat tegas yang pas untuk menggambarkan situasinya sekarang.     

"Adam selingkuh rupanya. Dengan siapa?" tanya Diana tersenyum manis. Mengusap puncak kepala sang putri dengan lembut.     

"Davina." Nama singkat itu disebut. Sukses membuat Diana menghentikan aktivitasnya. Memindah fokus untuk menatap sang putri dengan kesungguhan. Bagaimana bisa Davira menahan semua perasaan itu sendirian?     

Berbeda, jika Denis di masa lampau berselingkuh dengan gadis yang tak ia kenal rasanya saja sudah sangat sakit dan menyesakkan di dalam dada. Sekarang ini ia sedang mendapati sang putri dengan nasib sama namun melebihi batasan yang ia rasakan. Davira mendapati sang kekasih berselingkuh dengan sahabat dekatnya sendiri? Benar-benar gila Adam itu.     

"Davina Fradella?" tanya Diana untuk memastikan.     

Sang putri menganggukkan kepalanya ringan. "Hm, Davina."     

"Bagaimana perasaan mama dulu? Muak?" Davira kembali mengulang pertanyaannya. Ia hanya butuh mamanya memberi jawaban tak butuh balik memberikan pertanyaan untuk mengulik apa yang ada di dalam hatinya sekarang ini.     

Sakit? Tentunya. Davira benar-benar merasa sedang dikhianati oleh dua orang sekaligus. Si teman dekat dan si remaja yang sudah mencuri hatinya selama dua tahun terakhir ini.     

"Awalnya mama sangat tertekan. Terus berpikir mengapa pasangan kita bisa pergi dan tidur bersama gadis lain?" Diana kini meraih pundak sang putri. Menarik tubuh Davira agar jatuh ke dalam rangkulan hangatnya malam ini.     

Ia mulai menepuk-nepuk pundak Davira sembari sesekali mengusapnya perlahan. "Lalu mama akan merasa sangat sedih dan kecewa. Marah dan emosi meluap-luap di dalam diri. Hanya bisa diam, bahkan tak bisa melakukan apapun. Menerima keadaan adalah cara mama untuk kembali bangkit sebab mama masih punya kamu."     

Davira kembali menoleh. Sedikit mendongakkan pandangan untuk mendapatkan senyum manis dari sang mama.     

"Pada akhirnya ... mama ingin lari dari semuanya. Pergi meninggalkan papa kamu dan mengakhiri semuanya dengan diam-diam. Seperti yang sedang kamu lakukan sekarang," pungkas Diana menutup kalimatnya.     

Davira tersenyum ringan. Kembali menatap jauh ke atas langit tempat para bintang berdialog malam ini. Sepi rasanya, sebab ini mungkin akan menjadi percakapan terakhirnya dengan sang mama.     

"Mama setuju dengan keputusan Davira setelah tahu alasan aslinya?" Gadis itu kembali menyela. Meletakkan kepalanya di atas pundak sang mama dan mulai memejamkan matanya perlahan     

"Mama hanya punya kamu sekarang. Apapun keputusan kamu untuk tetap bahagia, mama akan mendukungnya." Diana menimpali. Menjawab dengan mengusap pundak sang putri untuk memberi banyak kenyamanan pada Davira malam ini.     

Diana paham bagaimana rasanya. Setiap inci rasa sakit yang dirasakan oleh sang putri, Diana paham benar. Tak hanya sakit lambat laun, namun juga sedih, kecewa, marah, dan dongkol akan bercampur aduk menjadi satu. Membuat pilihan untuk melarikan diri dari semua yang terjadi adalah pilihan yang paling baik untuk saat ini.     

Diana pasti akan merindukan sang putri. Dua tahun tidak, ia yakin akan lebih dari itu! Ia tak akan bersua langsung dengan sang putri semata wayangnya.     

Ada sebuah perjanjian yang Davira lontarkan pada Diana jauh-jauh hari. Selama gadis itu pergi, Davira ingin Alia dan Ana tinggal di rumah ini. Menjadi anak angkat Diana dan merawat dua malaikat itu juga mendidiknya menjadi pribadi yang kuat seperti Davira. Alia dan Ana adalah pengganti Davira selama dua tahun ke depan.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.