LUDUS & PRAGMA

133. Dialog Penuh Kedukaan



133. Dialog Penuh Kedukaan

0"Selamat malam, Adam."     
0

Remaja itu diam mematung kala tak menyangka siapa yang kini datang dan berdiri di depannya. Arka Aditya.     

"Ngapain lo ke sini? Malam-malam begini?" Adam mencecar dengan pertanyaan yang terlontar keluar dari celah bibirnya. Terdengar begitu ketus dan dingin. Ia tak mau menerima Arka sebagai tamunya malam ini. Remaja itu adalah musuhnya. Sebaik apapun seorang tuan tamu, tetap tak akan bisa mengijinkan musuh bebuyutannya untuk datang dan bertamu masuk hingga mengotori ubin lantai rumahnya.     

"Ada daftar yang harus lo tanda tangani." Remaja itu menyodorkan selembar kertas tepat mengarah pada remaja jangkung yang ada di depannya. Adam diam sesaat. Matanya tak lagi untuk Arka, namun mengarah pada lembar kertas yang ada di depannya sekarang ini.     

"Terima aja gak usah banyak mikir," susul Arka kala Adam hanya diam bak patung jalanan.     

Remaja itu menghela napasnya kasar. Meraih apa yang diberikan Arka untuknya. Perlahan Adam membuka kertas itu, memfokuskan segala tatapan tak lagi untuk kedatangan Arka yang kini mulai menyelonong masuk ke dalam rumahnya. Adam membaca setiap daftar yang ada. Sama persis dengan apa yang ditulis dan ditelitinya beberapa hari yang lalu, juga di pojok kirinya sudah dibubuhi tanda tangan yang khas tercoret dari bekas gerak tangannya.     

Sialan, ia dipermainkan!     

Adam kini memutar tubuhnya. Menatap Arka yang berjalan masuk dan mendekat pada Raffa yang baru saja menyelesaikan makan malamnya. Menyapa? Entahlah. Terlihat sepeti itu dari kejauhan.     

Remaja itu berjalan masuk ke dalam rumahnya. Menghampiri posisi sang adik yang kini berhadapan dengan tamu tak diundang itu. Adam menarik bahu Arka. Membuat remaja itu berputar secara kasar. Tatapan tajam mulai ia dapatkan. Adam benar-benar tak suka akan kehadirannya malam ini. Datang dengan membawa kebohongan hanya untuk bisa masuk ke dalam rumahnya saja sudah sangat menyebalkan untuk Adam Liandra Kin. Sekarang? Mau mengganggu adiknya? Wah! Persetanan gila memang remaja satu ini.     

"Katakan apa mau lo datang ke sini?" Adam bertanya. Memberi penekanan penuh pada setiap kata yang diucap oleh dirinya sembari memperdalam tatapan dan memperkuat cengkramannya.     

"Karena gue ingin berkunjung." Arka tersenyum manis. Menyingkirkan tangan Adam dari bahunya dengan kasar. Remaja itu tak banyak berbicara lagi sekarang ini. Tatapan Adam seakan sedang mencoba menelisik kebohongan yang ada di dalam dirinya sekarang ini.     

"Buatkan gue minum. Apapun kalau ada jus jambu." Arka kembali menimpali. Kini tertawa kecil sembari menepuk pundak remaja jangkung setara tinggi dengannya itu. Kemudian sejenak melirik Raffa yang diam sembari tersenyum manis padanya.     

Adam menghela napasnya. Baiklah, sang mama sedang tertidur di kamarnya malam ini. Entah sudah memejamkan matanya atau masih dalam keadaan sadar dan mengistirahatkan otak serta raganya, namun Adam hanya tak ingin mengganggu sang mama dengan keributan yang ia ciptakan sebab kehadiran Arka yabg tiba-tiba begini.     

Remaja itu kini berjalan masuk ke dalam dapur. Entah apapun yang ada di dalam dapur akan ia keluarkan untuk menjamu tamu sialannya itu. Apapun, bahkan racun tikus sekalipun.     

"Kakak mau bertanya soal Kak Davira?" Raffa menyela selepas sang kakak menghilang dari hadapannya. Masuk ke dalam dapur yang jaraknya sedikit jauh dari posisi mereka saat ini. Jadi, Adam tak akan mendengar apapun yang dikatakan oleh keduanya.     

Remaja yang baru saja meletakkan pantatnya dia atas sofa itu kini menoleh. Tepat mengarahkan pandangan pada remaja bertubuh tinggi nan kurus yang berjalan mendekat padanya. Duduk tepat di depan Arka sembari memincingkan matanya.     

"Sesuai dugaan, kamu adalah remaja yang pandai!" Arka menyahut. Tersenyum kuda di bagian akhir kalimatnya.     

"Apa yang ingin kakak tanyakan?"     

"Sebenarnya bukan masalah yang besar, tapi kamu sesuatu tentang Davira belakangan ini?"     

Bingo! Arka datang untuk memastikan keadaan yang sedang terjadi padanya. Apakah Davira hanya berkerjasama dengan Arka Aditya saja atau juga melebarkannya sayapnya untuk merengkuh bantuan dari Raffardhan Mahariputra Kin?     

"Tentang apa?"     

"Apapun." Arka menyahut. Tepat tenang dengan segala senyum manis yang mengembang di atas para tampannya.     

Keduanya kini sama-sama diam. Saling menatap tak ada senyum lagi yang tercipta. Tatapan Raffa pada Arka teduh sedikit tajam. Ia tahu, Arka ada di pihak Davira sekarang ini. Melihat sang sahabat yang dicintainya sedang dalam masa hancur tentu menjadi luka tersendiri untuk remaja jangkung itu. Raffa paham benar kalau apapun yang dilakukan oleh Davira adalah campur tangan dari Arka Aditya sebelum remaja itu datang kemari dan memastikan.     

"Soal Kak Davira pergi ke London?" tanyanya melirih. Benar! Ini yang ditunggu oleh Raffa sebelumnya. Davira ternyata tak sepenuhnya percaya pada Arka Aditya ataupun Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Dia juga meminta bantuan sama kamu?"     

Raffa menganggukkan kepalanya ringan. Berdeham untuk memberi respon atas kalimat tanya yang dilontarkannya padanya.     

"Kakak setuju dengan kepergian Kak Davira?" Tentunya ini adalah kalimat yang mengganjal di dalam hati Raffa. Kemanakah Arka saat Davira memutuskan untuk pergi dari Indonesia selama bertahun-tahun lamanya? Apakah Arka tak mencegah dan membujuk sahabatnya itu? Sangat tak becus!     

"Aku bahkan menangis sambil membujuknya. Itu air mata pertama aku untuk Davira." Arka kini menyela. Ia tahu, Raffa pasti akan menyalahkan dirinya atas kepergian Davira. Tak becus! Sahabat yang tak ada untuk sahabatnya yang sedang kalut-kalutnya hingga membuat gadis itu memutuskan untuk pergi dan lari bak seorang pengecut ---mungkin itu kiranya yang ada di dalam pemikiran remaja identik wajah dengan Adam Liandra Kin itu.     

"Davira sudah menyusunya sejak dulu. Paspor, penerbangan, tempat tinggal, bahkan sekolah pengganti dan kampus masa depan. Semua sudah disusun rapi olehnya. Mencegah Davira tak berguna sekarang ini," imbuhnya menjelaskan.     

"Itu sebabnya, memilih sahabat itu penting. Kakak hanya ada ketika Kak Davira—"     

"Kamu nyalahin aku? Wah!" Arka menyela. Menunjuk tepat ke depan wajah tampan lawan bicaranya itu. Benar 'kan? Raffa pasti menyalahkan dirinya.     

"Kalau kakak kamu gak brengsek, Davira gak akan pergi. Kamu kemana aja sampai gak bisa mencegah hal bodoh yang dilakukan oleh Adam, huh?" Raffa kini membentak. Tidak, tidak sampai menggelegar hingga membuat Adam mendengar semuanya. Setidaknya remaja itu sedikit bisa menunjukkan kekesalan yang ada di dalam dirinya saat ini.     

Raffa kini menghela napasnya ringan. Memalingkan wajah sembari berdecak kasar. "Lalu, sekarang harus bagaimana? Kakak rela Kak Davira akan pergi begitu saja?"     

"Menurut apa yang Davira katakan dan perintahkan."     

"Bagaimana kalau Kak Davira gak akan pernah kembali lagi ke sini?" Raffa menyahut. Kembali tatapan matanya tegas terarah pada Arka.     

"Dia akan kembali," sahut Arka penuh keyakinan.     

"Kenapa kakak begitu yakin? Karena kakak adalah sahabatnya?"     

"Karena dia sudah berjanji akan kembali."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.