LUDUS & PRAGMA

134. Sahabat, Selamat Tinggal!



134. Sahabat, Selamat Tinggal!

0Lampu neon menjadi penerang utama ruangan minimalis dengan jajaran buku yang rapi tertata di dalam rak besar sudut ruangan. Tempat yang nyaman, sebab sepi tak ada suara dengan lampu cukup pencahayaan, tak terlalu terang juga tak terlalu redup. Cukup jikalau hanya digunakan untuk membaca buku tidak untuk berpesta dan bermain-main bersama teman. Perpustakaan indah ini dibangun di sisi bangunan rumah yang tak pernah disangka oleh Davira Faranisa, sisi pintu keluar menuju halaman belakang rumah mewah adalah tempat yang pas untuk menyimpan ratusan buku dari berbagai tahun dan masa. Seperti layaknya perpustakaan kota yang sering Davira kunjungi akhir pekan hanya untuk sekadar membaca buku atau benar-benar ingin menimba ilmu baru di sana. Ia tak tahu, kalau kediaman nenek dan kakek Larisa menyimpan tempat senyaman ini di dalam rumahnya.     
0

Gadis itu kini diam, tepat menghentikan langkahnya kala sepasang netra indah milik Davira memotret sebuah Novel bersampul cokelat tua dengan tulisan judul miring diperbesar, gadis itu menariknya. Berniat untuk membuka selepas membaca judul dan mengamati buku itu secara fisik. Akan tetapi kedatangan Larisa menyelanya. Ia mengurungkan niat selepas sapaan lirih masuk ke dalam telinga gadis itu.     

Larisa masuk ke dalam ruangan bersama dengan satu nampan yang berisi dua cangkir teh hangat untuk menemani perbincangannya dengan si sahabat lama. Davira Faranisa. Tak banyak diucap oleh gadis itu saat pertama kali menginjakkan kaki di dalam rumah Larisa beberapa menit yang lalu. Hanya tersenyum-senyum dengan mata berbinar tanda bahagia melihat Larisa sedikit lebih segar sekarang ini.     

Malam hening menyapa, sembari menunggu Larisa untuk menjamu dirinya dengan baik, Davira dipersilakan masuk dan menyapu setiap bagian rumah yang terlihat sedikit asing untuknya. Sebab bertahun-tahun lamanya ia baru bisa kembali datang beberapa pekan yang lalu. Toh juga, itu tak lama. Hanya sebentar tak cukup waktu untuk menyambangi setiap bagian yang ada diri rumah ini.     

"Bukankah lebih baik ngobrol di taman belakang? Udaranya lebih sejuk dari di sini." Larisa menyela sembari meletakkan satu persatu cangkir berisi teh hangat yang sama mengepulkan asapnya di udara.     

Gadis itu tersenyum ramah. Menggeleng sembari berjalan mendekat ke arahnya. "Udara malam gak baik untuk kesehatan calon ibu."     

Larisa kini tersenyum ringan. Menatap segala pergerakan yang diciptakan oleh sahabatnya. Davira terlihat semakin dewasa dengan balutan blazer dan baju rajut berkerah turtle neck itu. Wajahnya terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis yang rata dengan kulit putih bersihnya.     

"Tumben datang ke sini?" Larisa memulai percakapan selepas hening dan sepi datang menemani. Atmosfer ruangan mulai aneh selepas Davira memberi tatapan teduh padanya. Seperti sesuatu sedang terjadi pada gadis cantik yang ada di depannya.     

Davira merogoh masuk ke dalam tas selempang kecil yang ada di atas pangkuannya. Ia kini mengeluarkan sesuatu. Meletakkannya perlahan tepat di atas meja untuk memberi akses pada Larisa bisa menatapnya dengan benar. Gadis ber-daster itu menyipitkan matanya kala menyadari sesuatu yang aneh sekarang. Davira menunjukkan paspor atas namanya. Ia mulai paham, bahwa gadis itu sedang ingin memberi tahukan pada dirinya bahwa sesuatu hal buruk sedang terjadi padanya.     

"Lo mau pergi?" tanya Larisa melirih. Ia mengintip ekspresi wajah yang ditujukan Davira kali ini. Meskipun sedang menundukkan wajah dan menurunkan pandangannya namun Larisa mampu menerka apa kiranya yang sedang ada di dalam pikiran teman kecilnya itu. Davira banyak berubah, dewasa dan penuh teka-teki. Meskipun tak tumbuh bersama, namun setidaknya Larisa mengenal seluk beluk seorang Davira Faranisa.     

"Gue akan ke London besok Sabtu." Davira mempersingkat. Tersenyum kaku menutup kalimatnya.     

Larisa yang ada di depannya kini duduk sembari menggeser posisi untuk lebih dekat dengan remaja cantik itu. Ia meraih pergelangan tangan Davira. Menarik pandangan gadis itu untuk naik dan fokus padanya.     

"Ada masalah?" tanyanya melirih. Nada bicara Larisa sangat lembut dengan menaruh banyak kehati-hatian di sana. Ia tak ingin kalau Davira akan marah atau tersinggung sebab dirinya mulai masuk mencampuri urusan pribadinya. Mungkin saja, datangnya kemari hanya untuk berpamit dan memberi tahu padanya bahwa Davira menunggu Larisa di London. Ingin hidup bersamanya sebagai teman lama di negeri orang. Bukan untuk memberi tahu bahwa ada sebuah masalah besar yang sedang menimpanya sekarang ini.     

"Hanya saja ... gue ingin berlibur," ucapnya tersenyum tipis. Dusta! Davira mendustai gadis cantik bermata sipit itu. Tebakan Larisa benar, jikalau hanya pasal datang dan berpamitan dengannya. Akan tetapi untuk jujur dan membebani? Davira tak ingin melakukannya. Larisa sudah cukup menanggung beban banyak sekarang ini. Hamil di usia muda dan di luar hubungan pernikahan tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi olehnya. Semua terasa lebih berat jikalau dibandingkan dengan beban dirinya sekarang ini.     

"Berapa lama?"     

"Paling lama dua tahun dan paling cepat satu tahun. Gue ingin berlibur dan menikmati masa muda. Papa akan membangun bisnisnya di sana, sekalian belajar." Ia menerangkan. Dustanya terlalu banyak sekarang ini. Akan tetapi mau bagaimana lagi? Ia hanya datang untuk memberi tahu saja, bahwa Davira tak akan ada di Indonesia selama beberapa tahun terhitung dari minggu besok.     

"Adam tahu tentang ini?" Larisa kembali menyahut. Nada bicaranya semakin lirih sebab ia tak ingin melukai hati Davira. Dusta gadis itu terendus olehnya. Larisa tahu, Davira begitu menyukai dan menyayangi sang kekasih. Meninggalkan Adam secara tiba-tiba begini terasa aneh dan janggal untuknya.     

"Gue mau minta tolong tentang itu," tutur Davira lembut.     

Larisa memincingkan matanya sejenak. Benar dugaannya, kalau masalah itu menyangkut Adam Liandra Kin.     

"Ketika suatu saat nanti Adam datang dan bertanya kemana perginya Davira ... tolong katakan tak tahu. Katakan padanya bahwa gue gak datang malam ini." Gadis itu memohon. Tatapannya berubah menjadi sayu dengan penuh pengharapan ia berikan pada Larisa. Davira benar-benar ingin menghapus jejaknya sekarang ini. Menyisihkan diri dari keramaian dan segala masalah yang membebani dirinya adalah tujuannya pergi ke London.     

"Kenapa gue harus mengatakannya? Adam berhak tahu kemana pacarnya pergi."     

"Please, Risa." Davira memutus percakapan. Hanya terdiam sejenak selepas gadis yang menjadi lawan bicaranya tak berekspresi apapun sekarang ini.     

"Gue harus tau alasannya, Davira."     

Davira kini memalingkan sejenak wajahnya. Mengulum salivanya berat sembari sesekali menghembuskan napasnya ringan. Ia kembali tak fokus selepas merasa pedih di dalam kedua kelopak matanya. Manik indah itu berbinar. Seakan berbicara pada Larisa bahwa hati Davira sangat terluka sekarang.     

"Setelah gue pergi, Adam bukan lagi pacar gue. Dia hanya teman yang sedang merasa kehilangan sejenak. Abaikan semuanya, kalau dia memohon. Please, Risa. Help me!"     

"Apa masalahnya?" Larisa mengulang. Ia belum mendapat jawaban tegas dari sahabatnya, itu sebabnya Larisa tak akan mengubah pertanyaannya.     

"Adam selingkuh dengan sahabat gue sendiri. Bukan hanya sekali, tapi ini kedua kalinya. Gue punya semua bukti dan itu semua ... membuat gue muak! Gue gak bisa berpura-pura untuk—" Ucapan Davira terhenti kala Larisa meraih tubuhnya. Mendekap erat gadis yang kini mulai menangis dengan sesenggukan ringan yang samar terdengar.     

Larisa tahu, bagaimana rasa sakitnya. Sangat sakit! Hingga terkadang rasa sakit itu tak bisa didefinisikan dengan baik.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.