LUDUS & PRAGMA

51. Hope For Her



51. Hope For Her

0Davira melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang membelah padatnya jalanan Kota Jakarta. Ada satu tujuan yang akan disinggahi dirinya bersama sang mantan kekasih. Rumah sakit pusat kota yang terkenal dengan ketenarannya dan pengobatan yang mujarab. Gadis itu ingin yang terbaik untuk Adam. Bukan sebab ia ingin kembali menaruh banyak cinta dan kasih untuk laki-laki yang sudah menyakiti hatinya lima tahun yang lalu itu, namun ia hanya ingin membuat semuanya lebih cepat dengan penyembuhan sang mantan kekasih juga lebih cepat dari dugaannya. Perjanjiannya dengan Raffa hanya sampai sang kakak bisa berjalan kembali, selepas itu Davira akan menjauh dan melepaskan tangannya. Raffa akan membantu itu semua. Menjauhkan Adam dari dirinya meskipun mereka tinggal satu kota sekarang ini. Davira ingin fokus pada hidupnya. Membangun karier yang cemerlang di dunia bisnis. Menunjukkan pada mereka-mereka bahwa seorang gadis seusia dengannya bisa sukses menembus dunia internasional dengan cara berbisnis yang modern. Ia terlalu muak untuk kembali terjun ke dunia romansa percintaan penuh intrik yang mendebarkan hati. Alurnya akan itu-itu saja dan kisahnya akan begitu-begitu saja. Semuanya sama. Permasalahan hanya akan seputar perselingkuhan juga perbedaan ego yang sama-sama tinggi.     
0

Ia menekan tombol musik. Menyalakan alunan lagu jaz untuk memecah keheningan di antara keduanya saat ini. Adam tak banyak berbicaranya, begitu pula dengan Davira yang masih fokus pada jalanan yang ada di depannya. Entah sebab canggung atau malas mulai melanda di antara keduanya saat ini. Malas? Tidak. Banyak hal yang ingin Adam katakan untuk Davira. Mungkin ia bisa mengatakannya sekarang. Menyela keheningan untuk mengakrabkan suasana di antara mereka saat ini.     

"Katakan apa yang mau kamu katakan, jangan menatapku seperti itu." Davira menyela. Sukses menatap Adam yang sedari tadi melirik dirinya sembari terus memainkan ujung jemari jemari milik laki-laki bertubuh kekar itu.     

Adam tersenyum aneh. Davira benar-benar banyak berubah. Ia rasa hanya dirinya saja yang terjebak di dalam lingkaran masa lalu.     

"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Adam membuat perijinan. Ia tak mau kalau kelancangannya hanya akan menimbulkan suasana tak enak antara dirinya dan Davira.     

"Apapun, kecuali rahasia bisnis papa." Gadis itu tertawa kecil. Melirik laki-laki yang ada di sisinya kemudian kembali menatap jalanan yang ada di depannya saat ini.     

"Kenapa kamu kembali setelah sekian lama?" Adam membuka suaranya. Menatap Davira dengan tatapan dalam penuh makna. Gadis itu tak menggubris dirinya dalam sepersekian detik berjalan. Hanya diam sembari terus memainkan stir mobilnya dengan lihai untuk menerobos jalanan padat yang ada di depannya. Untung saja ia dalam sedang keadaan menyetir sekarang ini, jika tidak Adam akan paham arti diamnya itu. Davira tak ingin menjelaskan. Sebab kalimatnya hanya akan menjadi kebohongan baru untuk menutupi apa yang sedang ada di dalam hatinya.     

"Perusahaan papa di London dijual dan dipindahkan ke Hongkong. Jika aku tak kembali ke Indonesia, artinya aku harus kembali beradaptasi di tempat baru lagi. Aku membenci itu sebab itu memuakkan, jadi aku memilih kembali ke Indonesia." Ia menjelaskan. Sedikit memperpanjang untuk memberi kelengkapan atas apa yang dijelaskan olehnya kali ini. Ia tak ingin banyak bahasan tentang datangnya Davira kembali ke Indonesia, sebab ia sudah muka dengan pertanyaan itu. Haruskah itu menyebarkan berita dan alasan kepulangannya lewat siaran radio dan televisi?     

"Kamu akan kembali ke London atau pergi ke Hongkong setelah ini?" Adam kembali melempar pertanyaannya. Dalam harap ia tak ingin Davira pergi lagi. Tetap ada di sisinya, apapun yang terjadi. Meksipun gadis itu menjaga jarak dengannya, namun setidaknya Adam bisa melihat dan memastikan bahwa Davira baik-baik saja.     

"Entahlah. Aku baru seminggu lebih berada di Indonesia. Tergantung apa yang akan terjadi nantinya," ucapnya tersenyum ringan. Nada bicaranya terdengar sangat nyaman dan bersahabat. Seakan tak pernah ada rasa dendam di dalam hatinya.     

"Kenapa harus pergi lagi kalau sudah nyaman di sini?" Laki-laki itu kembali menyela. Ikut mengembangkan senyum manis pada Davira.     

Adam tak sepenuhnya benar! Davira tak sepenuhnya nyaman dengan semua ini. Baik di London maupun di Indonesia, semuanya sama saja. Davira merasa tak benar-benar nyaman dan bahagia. Ada yang mengganjal di dalam hatinya. Entah karena apa, namun selama lima tahun terakhir ini ia tak bisa benar-benar menjemput bahagianya sendiri.     

"Kita tak bisa tahu apa yang akan terjadi pada kita nantinya. Jadi jangan berharap terlebih dahulu," tutur gadis itu sembari memutar stir mobilnya. Berbelok di ujung pertigaan jalan untuk sampai ke tempat tujuannya sekarang ini.     

Bangunan besar rumah sakit sudah terlihat jelas oleh keduanya. Gerbang besar itu menjadi pembatas utama antara lingkungan luar rumah sakit dengan bagian dalam bangunan megah nan tinggi yang dibangun sedikit jauh dari jalan raya. Adam pernah mendengar sedikit tentang rumah sakit ini, namun sampai sekarang ia belum pernah mengunjunginya. Banyak yang mengatakan bahwa semua doktor yang bekerja mayoritas adalah orang luar negeri. Kemampuan yang tak diragukan lagi untuk mengobati dan menyembuhkan berbagai macam luka.     

Davira menghentikan laju mobilnya, menekan tiket parkir untuk membuka gerbang otomatis yang ada di depannya. Kembali mobil itu berjalan. Menyusuri setiap jalanan rumah sakit untuk mencari tempat parkir terbaik yang tak jauh dari pintu utama rumah sakit.     

"Davira ...." Adam kembali memanggil. Gadis yang baru saja menghentikan laju mobilnya dan mematikan mesin mobilnya itu kembali menoleh. Sekarang fokusnya tak terbagi lagi. Ia sudah berada di area parkiran rumah sakit. Menepi dari jalanan kota dan tak sedang mengemudikan mobilnya lagi saat ini, jadi Davira bisa menatap Adam dengan fokus dalam diam yang menyelimuti sejenak.     

"Boleh aku berharap padamu mulai sekarang?" tanyanya melirih. Tatapan sepasang netra tajam bak ujung belati yang baru saja diasah itu mulai memblokir seluruh fokus milik gadis yang kini diam menatapnya nanar. Kalimat itu ... hampir saja membuatnya terhanyut dalam suasana.     

Tidak! Davira duduk di sini bukan sebagai gadis bodoh yang akan menerima mantan kekasihnya kembali dalam waktu dekat ini. Ia bahkan masih bisa mengingatnya dengan baik bagaimana Adam mengkhianati seluruh kepercayaan yang ia berikan kala itu. Ia tak bisa dengan mudah memberikan kepercayaannya kembali!     

"Berharap untuk kesembuhan atau berharap yang lainnya?" Davira berkelit. Tersenyum tipis menutup kalimatnya.     

"Dua-duanya. Jika aku sembuh nanti, aku hanya ingin berada di sisimu. Aku tidak meminta posisiku dulu sebab aku tahu akan sulit rasanya untuk menerimaku kembali. Ijinkan aku menjadi seorang teman. Ijinkan aku mendatangiku kala aku membutuhkan pertolongan. Aku hanya ingin ...."     

"Jangan menaruh harapan tinggi padaku." Davira memotong kalimat itu. Kembali senyum merekah di atas bibir merah mudanya.     

"Kenapa?"     

"Karena aku adalah manusia biasa."     

.... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.