LUDUS & PRAGMA

13. Sisa Harapan



13. Sisa Harapan

0Senja datang benar menutup hari. Menguapkan lelah semua orang yang ada di muka bumi. Indah semburat jingga di atas cakrawala seakan menjadi penyajian yang khas untuk semua mata memandang. Suasana sepi dengan kerikan jangkrik yang mulai membentang, menemani segala kesendirian. Secangkir teh hangat dengan kadar gula yang tak tinggi menjadi peneman remaja jangkung yang kini duduk di atas ayunan kecil sisi taman belakang rumah mewahnya. Mamanya ada di ruang tengah. Tak lagi bersama sang adik sebab Raffa kembali ke rumah papanya. Sepi memang selalu ada, namun nyaman dirasa sebab itu. Adam seakan mulai paham dan mampu menyesuaikan dengan segala situasi yang jauh berbeda dari apa yang ada di masa lalu. Ia bukan lagi kapten Kin untuk seorang Davira Faranisa. Raffa benar, jika Davira kembali nanti mau bagaimana Adam nantinya juga? Haruskah ia memeluk Davira? Mengatakan bahwa ia bersalah dan mengaku sebagai tersangka? Tidak! Adam yakin Davira telah berbahagia. Ia hanya ingin melihat paras sang mantan kekasih. Dihari terakhir lima tahun lalu, Adam tak bisa melihatnya. Ada awan putih yang menggumpal di atas atasnya kala itu. Sinar mentari riang seakan sedang menertawakan takdir perpisahan yang terkesan begitu mengenaskan untuk dirinya.     
0

Adam paham benar bagaimana kondisinya sekarang. Kakinya memang tak parah, jika ia bersemangat mungkin tahun depan dirinya bisa berjalan dengan baik. Akan tetapi, ia mulai nyaman dengan situasi dan kondisinya sekarang. Ia tak harus terus berada di kursi roda. Kadang kala Adam berjalan dengan bantuan tongkat penyangga di tangan kanannya. Meskipun masih terasa kaku, namun setidaknya sedikit ia sudah berusaha. Tinggal waktu dan Tuhan saja yang menjawabnya.     

"Adam ...." Seseorang memanggil dirinya dengan lembut. Perawakan tubuh kurus ramping dengan gaun panjang khas mamanya kalau sore datang begini sudah tertangkap oleh sepasang netra miliknya. Ia tersenyum hangat. Menyambut kedatangan wanita paruh baya yang sudah mengasuh dirinya selagi sakit.     

"Gimana kaki kamu? Besok mama ada jadwal meeting. Jadi tidak bisa menemani kamu untuk check up ke rumah sakit." Ia menjelaskan. Sembari melangkah untuk mendekat pada posisi putra pertamanya itu.     

"Raffa juga—"     

"Adam bisa datang sendiri." Remaja jangkung itu menyela. Memotong kalimat sang mama dengan tegas. Baginya, semuanya sudah biasa. Ia hanya perlu sedikit berusaha. Jika memang takdirnya kembali berjalan adalah tahun ini maka hasil tak akan pernah mengkhianati usaha.     

"Mama yakin kamu akan mengatakan itu," ucapnya tersenyum kuda. Duduk di sang putra sembari menatapnya penuh kehangatan.     

Adam diam. Mamanya terlihat begitu lega selepas mendengar jawaban darinya. Tidak, bukan seperti mamanya. Yang ada di depannya sekarang seperti orang lain berwajah identik dengan mamanya. Wanita itu tak akan pernah mengijinkan Adam untuk datang ke rumah sakit sendirian, bukannya apa. Ia hanya tak ingin Adam terluka.     

"Jadi mama panggilkan orang lain untuk menemani kamu," susulnya mengimbuhkan. Tersenyum manis sembari mengusap puncak kepala sang putra. Adam membenci usapan itu. Bukan tak ingin mendapatkannya, namun Adam sudah tak pantas untuk mendapatkan itu. Usianya sudah kepala dua sekarang ini. Sudah sangat pantas kalau ia diperlakukan seperti seorang pria dewasa. Teh hangat bukan lagi susu manis. Kopi mengepul bukan lagi air putih. Bahkan Adam sempat ingin merokok, akan tetapi sang mama memarahinya habis-habisan. Membuang semuanya tanpa menyisakan satu batang pun.     

"Siapa?" tanya Adam menelisik.     

Mamanya semakin tegas mengembangkan senyum manis. Kini kembali menatap ke arah pintu masuk tempat akses utama untuk mengunjungi taman belakang rumah. Seseorang keluar dari sana. Melambai ringan dengan senyum kuda yang menyebalkan. Tatapannya masih sama, penuh amarah dan keegoisan. Hanya saja sekarang ini senyum itu menutupinya.     

"Long time no see, Adam." Ia berucap. Kalimat singkat namun cukup jelas untuk menandakan betapa lamanya mereka tak berjumpa.     

"Gue pernah mendengar kalimat itu." Adam memalingkan wajahnya. Menatap ke arah lain sebab ia benar-benar tak menyukai kehadiran Arka sekarang ini. Bukan hanya Arka yang menyimpan dendam dan amarah untuknya, namun dirinya juga merasakan hal yang sama. Adam membenci remaja yang menjadi alasan utama Davira bisa pergi ke luar negeri. Bantuan dari Arka mengubah segalanya. Ia mengkhianati pertemanannya dengan Adam. Baiknya Adam tak pernah diindahkan olehnya. Untuk Arka? Tentu. Tak pantas ditanyakan lagi. Ia membenci Adam sebab laki-laki itulah yang membuat sang sahabat dekat pergi dari sini.     

"Mama tinggal dulu, oke." Wanita itu kembali menyela. Bangkit dari tempat duduknya untuk meninggalkan sang putra bersama teman lamanya. Apapun yang terjadi pada sang putra, ia mengetahuinya. Kebencian di antara dua laki-laki ini ia juga mengetahuinya. Semua hal yang terjadi pada Adam Liandra Kin sudah seperti rahasia umum untuk dirinya.     

Arka kini berjalan mendekat. Duduk di bawah pohon besar sedikit jauh posisinya dengan Adam. Posisi mereka memang berhadap, namun tak saling tatap sebab muak mulai membentang di antara keduanya. Lama Arka tak berjumpa dengan Adam seperti ini. Jika hanya melihat sekilas pandang saja, ia selalu melakukan itu.     

"Bener kata Raffa, lo merepotkan banget." Arka kini mulai menyela. Melirik Adam sekilas sembari tersenyum seringai. Tatapan remaja yang ada di depannya itu tak lagi fokus. Sesekali melirik kemudian kembali menatap air mancur kecil di sudut taman belakang rumah.     

"Makasih kekhawatirannya." Adam menyahut. Kini mulai menggerakkan satu sisi tangannya untuk bermain mengusir bosan yang ada. Ada banyak yang ingin ia tanyakan pada Arka, mungkin begitu juga sebaliknya. Namun, suasana seakan tak mendukung semua itu. Arka dan Adam benar terasa bak orang asing yang baru saja bertemu.     

"Lo beneran gak bisa jalan?"     

"Lo pikir lima tahun untuk berbohong itu hal yang mudah dilakukan?" Adam menyahut. Memincingkan matanya aneh. Pertanyaan dari Arka akan selalu terasa memuakkan untuk dirinya. Laki-laki jangkung itu adalah penyebab utama Davira pergi.     

"Gue kira lo akan mencari Davira." Arka berucap. Menarik perhatian Adam yang kini mulai menatapnya.     

"Lo akan membantu?" tanyanya ketus.     

"Tentu enggak. Gue akan menghalangi."     

"Ke mana Davira pergi?" Adam memulai percakapan. Tepat mengarahkan pandangan untuk lawan bicaranya itu. Matanya tajam membidik. Menunggu jawaban dari Arka untuk melegakan hatinya sekarang ini.     

"Kalau lo tau, lo mau apa? Lo gak bisa pergi ke sana dengan kaki seperti itu." Remaja itu bangkit. Berjalan mendekat pada Adam. Senyum seringai mengembang untuk mengiringi segala langkah yang diambil. Tak lagi muak, Arka kini mulai fokus menyentralkan kedua lensa pekatnya.     

"Gue akan berusaha sembuh." Adam menjawab. Tak banyak ingin berbasa-basi sekarang. Terlalu lama untuk menunggu momen ini tiba. Arka mendatangi dirinya setelah semua yang terjadi.     

"Fokus untuk sembuh. Jangan memikirkan hal yabg mustahil. Seperti mendapatkan Davira kembali misalnya."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.