LUDUS & PRAGMA

130. Ketika Rasa Berbicara



130. Ketika Rasa Berbicara

0Pemandangannya tak asing memang, namun rasanya sedikit lain. Raganya bersama Adam, namun jiwanya sudah melayang di angkasa lepas. Harapannya untuk bahagia menjemput masa dewasa bersama sang kekasih tak lagi akan dapat di raih oleh seorang Davira Faranisa. ia hanya bisa berangan-angan saja kali ini. Semua sirna sebab pengkhianatan yang kembali di dapat olehnya. Davira tak pernah lagi menyingung pasal perselingkuhan Adam dengan Davina selepas hari ini. Bukannya apa, ia hanya tak ingin terus mengungkit kesalahan sang kekasih yang baru pertama kali terjadi. Dirinya juga manusia, tempatnya salah gudangnya dosa. Bukan hanya Adam yang pernah berbuat salah, dirinya pun begitu. Alasan Davira memaafkan Adam adalah untuk memberi remaja itu kesempatan berubah. Memperbaiki diri dan belajar dari pengalaman yang sudah-sudah adalah harapan yang dipupuk Davira di dalam hatinya. Ia tak ingin mengubah sang kekasih juga tak ingin memaksa Adam untuk berubah. Ia ingin kekasih hatinya sendiri yang melakukan itu. Biarlah ia merenung dan berkompromi dengan waktu pasal apa yang sudah terjadi padanya.     
0

Akan tetapi, naas. Sayang amat sangat disayangkan oleh dirinya, Adam tak akan pernah bisa berubah. Ia hanya butuh waktu untuk menjeda semuanya agar kembali terlihat normal dan baik-baik saja. Selepas itu? Perselingkuhan adalah caranya untuk menjemput kebahagiaan.     

"Kamu gak belajar?" Adam menyela keheningan. Menatap sang kekasih yang kini menggelengkan kepalanya samar. Lamat-lamat ia menatap semburat kesedihan ada di dalam wajah sang kekasih. Niat hati bertanya, namun ini adalah hari yang sulit. Ia tak ingin memperburuk keadaan Davira dengan mengungkit apapun yang menjadi masalah yang mengganggunya sekarang ini. Adam akan bertanya, selepas ujian selesai dan hari tenang juga bahagia dilaksanakan.     

"Aku sudah belajar." Gadis itu berdusta. Tersenyum ringan mengakhiri percakapan singkat itu. Adam kembali menganggukkan kepalanya. Kini sigap tangan berotot miliknya meraih pundak sang kekasih. Merangkul Davira hingga membuat jarak berhimpit di antara mereka tercipta. Davira meriah tangan Adam. Menepuk punggung tangan milik sang kekasih dengan lembut. Samar tatapan matanya terjun mengenai permukaan jari jemari panjang milik Adam Liandra Kin.     

Jari ini ... Davira akan merindukannya. Punggung dan telapak tangan ini ... Davira juga akan merindukannya. Genggaman, suara, bahkan fisik Adam, semuanya Davira akan merindukan itu semua.     

"Kin, boleh aku tanya sesuatu?" Davira kini menyela. Menatap remaja jangkung berponi naik yang duduk rapi sembari menyandarkan punggungnya ke belakang.     

Adam menatapnya dengan teduh. Seakan ingin memberatkan kepergian Davira satu minggu yang akan datang. Ia akan merindukan semuanya. Sangat merindukannya. Mungkin bukan pilihan terbaik untuk pergi menghilang dari Adam sang kekasih, akan tetapi hanya ini pilihan yang tersisa yang bisa ia putuskan. Davira tak ingin bodoh lagi. Ia ingin menjadi pintar dengan mengubah semua yang terjadi padanya.     

"Soal Davina." Kalimat singkatnya terjeda kala netra itu menatap perubahan raut wajah dari sang kekasih. Kedua alis hitam legam milik Adam menyentak bersamaan. Dalam diam ia paham benar, was-was mungkin sedang menyelimuti remaja jangkung itu.     

"Kenapa tiba-tiba dengan Davina?" tanya Adam melirih.     

Ia tersenyum manis. "Davina tau kalau aku mengetahui perselingkuhannya dengan kamu dulu?"     

Adam diam. Kini perlahan bangkit dari posisinya bersandar di atas kursi. Tangannya tak lagi merangkul sang kekasih. Kini duduk dengan posisi serong untuk bisa menatap dengan benar paras cantik Davira Faranisa.     

"Aku mengakhirinya begitu saja," ucap Adam memberi pengertian.     

"Aku tak menjelaskan apapun. Aku pergi setelah senja waktu itu. Kamu yang menyuruhnya, 'kan? Kamu lihat semuanya sendiri. Aku membuatnya menangis dan memutuskan—"     

"Aku mengerti." Davira memotong. Tersenyum ringan pada Adam.     

"Sekarang?" tanya Davira kembali membuka suaranya.     

Adam ber-oh ringan sembari membulatkan matanya tak percaya. Davira menanyakan itu dengan senyum manis yang mengembang di atas paras cantiknya. Benarkah Davira tak mencurigainya lagi sekarang? Ataukah ia sedang tak waras sebab terlalu banyak belajar dan menghapal kalimat serta angka-angka gila di dalam buku semalaman suntuk?     

"Maksud aku, kalau sekarang? Davina masih menghubungi kamu?"     

"Mungkin baginya semua terasa aneh sebab terjadi tiba-tiba saja begitu. Kamu memutuskan dia dan dia tak mendapat penjelasan apapun. Aku juga akan terus mencari jawaban dengan menghubungi kamu pastinya." Davira kembali menjelaskan arti dari pertanyaan singkatnya kala Adam hanya diam tak bersuara apapun. Remaja itu tak paham benar, sungguh ia tak bisa mengerti mengapa Davira terasa sedikit lain kali ini. Ia tak seperti biasanya. Terasa sedikit tenang dan hangat.     

"Senja itu adalah akhir kira berbicara dengan intim. Kita hanya berhubungan sebatas rekan satu tim. Tak ada yang lebih. Davina sesekali menghubungi untuk menanyakan projek acara pergantian tim minggu depan," tutur Adam menjelaskan.     

Davira manggut-manggut. Paham? Tidak! Sungguh ia tak ingin memahami apapun sekarang ini. Adam berdusta! Bahkan dari dusta yang ia ucapkan semua akan terasa seperti sebuah fakta jikalau Davira tak mencari tahu lagi.     

Ia terlalu pandai dalam menyusun dusta. Entah belajar dari siapa namun Adam pantas untuk mendapatkan penghargaan pendusta terbaik tahun ini.     

Davira muak! Sungguh. Mendengar semua kalimat dari sang kekasih ia amat sangat muak! Dirinya tak bisa lagi mempercayai siapapun sekarang. Tidak dengan Adam juga Davina. Dua manusia itu tak pantas disebut sebagai manusia.     

"Kenapa bertanya itu tiba-tiba? Ada yang salah? Ada yang berbicara aneh padamu?" Adam kembali menyahut. Mencecar sang kekasih dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin segera ia ketahui jawabannya.     

Davira menggelengkan kepalanya ringan. "Hanya ingin tanya aja. Selebihnya terimakasih karena sudah mau jujur denganku."     

Sial! Ia membenci mulutnya sendiri.     

"Ngomong-ngomong, Kapten Kin ...." Gadis itu kembali bersuara. Menarik pandangan Adam yang baru saja ingin pergi dari hadapannya.     

"Aku ingin mengatakan sesuatu," ucapnya dengan lembut. Davira kini mulai memainkan ujung jari jemari miliknya. Berusaha untuk terlihat bak seseorang yang sedang cemas sekarang ini. Jika sukses, Adam akan meraih tangannya sekarang juga.     

"Apa?" tanyanya meraih pergelangan tangan sang kekasih. Mengusapnya lembut sembari memberi tatapan manis padanya.     

"Soal Raffa," lanjutnya berkata. Adam diam menunggu gadis yang kini menatapnya dengan penuh keseriusan.     

"Kita pernah pergi malam minggu bersama. Raffa menyukaiku."     

Kalimatnya terhenti kala Adam mulai mengembangkan senyum manis di atas paras tampannya. "Lalu?" tanya Remaja itu menyela.     

Davira menaikkan satu sisi alisnya. Tidak, bukan benar-benar heran. Ia hanya sedang menjadi seorang pemeran drama sekarang ini. Menjadi sosok gadis lugu yang sedang memberi pengakuan mengejutkan pada sang kekasih adalah deskripsi karakternya sekarang ini.     

"Maaf karena baru memberi tahu itu. Aku hanya tak ingin kamu salah paham dan hubunganmu dengan Raffa memburuk."     

Adam tertawa kecil. "Aku sudah tahu itu, Dear," ucapnya manja mencubit pipi milik sang kekasih.     

Manis memang, namun terasa begitu memuakkan untuk Davira!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.