LUDUS & PRAGMA

28. Keluarga Yang Hangat



28. Keluarga Yang Hangat

0Pagi pertama di negara tercinta. Bersama sang mama juga dua adik kecil yang amat manis untuk dipandang, Davira menghabikan semangkuk sup hangat yang amat ia rindukan rasanya. Cita rasa masakan sang ibunda memang tiada duanya. Semahal apapun makanan yang ia cicipi di London kala itu, tak akan pernah bisa memuaskan lidahnya. Hanya kantongnya yang terkuras, namun puasnya tak benar terisi dengan baik. Hari ini Davira mengisi penuh puas itu. Bahkan hingga sampai meluap-luap. Rasanya bahagia. Lega juga tak ingin semuanya berakhir begitu saja. Hal kecil seperti inilah yang Davira amat sangat rindukan dulunya. Memulai hidup di negara tetangga tak hanya pasal menyesuaikan diri dengan teman baru, namun juga kondisi yang baru. Kadang terasa begitu asing untuknya. Davira melakukan semua sendirian di sana. Bahkan tak aneh jikalau ia menyarap dan menutup hari dengan makan seorang diri di atas meja besar dengan hidangan komplit yang mewah nan megah. Daging, kepiting, ikan laut, hingga buah-buahan semua ada di hidangkan untuknya. Akan tetapi tak bisa benar mengobati rasa laparnya.     
0

Kali ini, hanya dengan semangkuk sup panas dan lauk pauk yang khas membuat Davira benar-benar puas. Kenyang dirasa, dengan perasaan bahagia yang menyelimuti paginya.     

"Mau ke mana hari ini?" tanya Diana menyela aktivitas sang putri. Davira menolehkan pandangannya. Tepat di ambang pintu dapur, sang mama datang dengan membawa satu nampan berisi buah sebagai hidangan pencuci mulut pagi ini. Buah pisang yang kuning merata dipadukan apel merah tua yang sudah dipotong dengan ukuran sama berbentuk segitiga. Davira menyukai hidangan ini!     

"Davira akan menghantar Alia dan pergi ke kantor yang ada di Indonesia. Aku ingin sejenak melihat-lihat sebelum bergabung."     

"Apanya yang bergabung? Kamu akan memimpinnya." Diana menggerutu. Bibirnya berkerut samar sebab ia tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh sang putri kali ini. Baginya, Davira adalah gadis yang sudah mandiri sekarang ini. Memimpin perusahaan bukanlah hal yang sulit. Sebab ia dididik langsung oleh ahlinya di negara yang baik pula basic-nya. Jadi, tak perlulah harus merendahkan diri seperti itu.     

"Itu maksud Davira." Ia tertawa kecil. Menyambut kedatangan Diana dengan tatapan teduh. Senyum terus saja mengembang di atas paras Davira pagi ini. Alarm yang menyambutnya bukan lagi siulan burung Pipit yang merdu khas layaknya pagi di alam pedesaan. Bukan juga gemercik suara air yang mengiringi, alarm yang membangunkan dirinya tadi pagi adalah suara merdu sang papa. Gadis mana yang tak bahagia kalau dibangunkan oleh ibunda tercinta?     

"Davira juga akan berkunjung ke rumah Arka, dia pasti menunggu sejak kemarin." Davira mengimbuhkan. Tepat mengarahkan lensa matanya pada potongan apel yang kini mulai menggugah seleranya. Manis! Ia menyukai rasa manis dengan tekstur lembut buah apel merah.     

"Kalau gitu titipkan ini untuk Tante Desi," tukas Diana menyodorkan sebuah amplop kecil untuk sang putri.     

"Bukan apa-apa. Hanya sedikit uang balas budi." Ia kembali mengimbuhkan. Seakan paham dengan apa yang ada di dalam pikiran Davira sekarang ini.     

"Kakak akan menghantarkan aku naik apa? Bus bukan lagi transportasi yang nyaman." Alia menggerutu. Menyela pembicaraan sang mama juga kakak tirinya.     

Gadis yang dipanggil kini menoleh. Samar senyum itu mengembang. Memberi respon pertama dari apa yang diucapkan oleh Alia.     

"Kalian bisa pakai mobil mama. Mama akan naik taksi hari ini," ucap Diana memberi kelonggaran.     

"Mama akan membeli mobil baru?" Seorang gadis kecil yang duduk dengan celemek kecil di bawah dagunya itu menyela. Suaranya lirih. Kadangkala pengucapan itu tak jelas masuk ke dalam telinga setiap pendengarnya. Wajar, sebab Ana masih berusia lima tahun sekarang ini.     

"Tentu! Kak Davira yang akan membelikan itu!" Alia menyahut. Sedikit menyentak dengan nada antusias yang menggebu-gebu. Gadis kecil berambut sedikit keriting itu tertawa lepas. Diikuti dengan tawa yang muncul dari celah bibir Diana.     

Apa ini? Davira meninggalkan semua kebahagiaan ini lima tahun lamanya. Bagaimana bisa ia memilih rumah mewah yang dingin dengan fasilitas memuakkan ketimbang menetap di rumah bergaya minimalis namun hangat akan kasih sayang begini? Bukankah ia itu gadis yang bodoh? Ya, Davira adalah gadis bodoh yang tak tahu malu.     

••• LudusPragmaVol3 •••     

Mobil merah pekat itu melaju membelah padatnya jalanan kota. Gadis yang kini memegang kemudi tak henti-hentinya menatap apapun yang ada di sekitarnya sekarang ini. Jalanan Kota Jakarta sedikit berubah. Lebih rapi dengan tata kota yang lebih modern lagi. Jika luar negeri adalah buku referensi untuk itu, maka ia bisa mengatakan bahwa walikota benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia tak fokus. Sesekali memindah tatapan untuk menatap jalanan yang ada di depannya kemudian melirik gadis muda yang baru saja mengeluarkan buku dan meletakkan benda itu di atas pangkuannya. Alia sedang membaca. Mencoba untuk menghapal kalimat demi kalimat yang menjadi inti teori dari bacaan di dalam buku tebalnya itu.     

"Mau ujian?" tanya Davira menyela. Sukses menarik perhatian Alia yang kini merapatkan bibirnya. Bibirnya tak lagi komat-kamit bak dukun yang sedang membaca mantra. Gadis itu diam sembari tersenyum manis untuk sang kakak.     

"Tentang pacar kamu ...." Davira mengubah topik pembicaraan. Kembali ia memalingkan wajahnya untuk menatap jalanan yang ada di depannya.     

"Namanya Dani. Anak kelas sebelah. Tim basket," ucap Alia mempersingkat. Ia hanya mengatakan bagian intinya. Tentu saja, Davira akan paham dan mudah dalam menebak. Kata baik, perhatian, penuh kasih sayang, dan mencintai apa adanya tentu akan menjadi kata-kata hiperbola untuk mendeskripsikan bagaimana Dani itu.     

"Tim ba--basket?" tanya Davira melirih. Kini ekspresi wajahnya berubah. Lima tahun tentu tak akan membuat rekam jejak Adam Liandra Kin yang banyak menorehkan prestasi hilang begitu saja dari sekolah. Tentu, Dani pasti mengenal sang mantan kekasih. Tradisi tim baru, setidaknya harus mengenal nama kapten-kapten yang terdahulu.     

"Mirip dengan Kak Adam 'kan?" tanya Alia menyela. Lirih dengan sedikit kehati-hatian agar itu tak menyingung perasaan sang kakak.     

Davira tersenyum ringan. Menganggukkan kepalanya tak mau menoleh untuk menatap Alia.     

"Kakak sudah menemuinya?" Gadis muda berkuncir kuda itu kembali berbicara. Tentu, bukan hal yang mudah untuk Davira melakukan itu. Menemui Adam sekarang ini adalah sebuah ketidakmungkinan yang tak akan pernah terjadi.     

"Belum. Kakak belum berani menemuinya."     

"Kenapa? Kak Adam yang berbuat salah. Seharusnya kakak datang dan—"     

"Memberi maaf?" Davira menyela. Sembari membelokkan stir mobil yang ada di dalam genggamannya.     

Alia menggelengkan kepalanya. "Menyombong untuk membuktikan bahwa kakak bisa bahagia dan berhasil sukses bangkit dari luka di masa lali," tuturnya dengan bijak.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.