LUDUS & PRAGMA

69. Percayakan Semuanya Pada Hatimu



69. Percayakan Semuanya Pada Hatimu

0Kantor pengacara umum, Jakarta. Sebuah gedung bangunan yang akan selalu ramai sebab kasus yang ada setiap harinya tak kunjung selesai. Wira wiri para penghuni bangunan kantor selalu saja lekat oleh suasana khitmad dengan tampilan yang itu-itu saja.manusia yang ada di sini selalu memakai pakaian rapi dengan setelan jas berwarna senada. Monoton memang, namun inilah kantor yang berisi para pengacara hebat untuk memperjuangkan hak asasi para masyarakat umum yang tertindas. Di ujung sana, Davira akan menemukan tujuannya. Inti dari bangunan gedung bertingkat yang dibangun di sisi padatnya kota ini adalah sebuah ruangan dengan sekat kaca besar nan tebal yang dibuat kedap suara. Di sana para pengacara berkumpul. Sesekali mereka akan sibuk ketika seseorang datang untuk berkonsultasi, sesekali juga mereka bersantai kalau tak ada kasus yang datang menghampiri. Jam makan siang memang belum datang, namun Davira mampir kemari bukan untuk itu. Menyambangi sahabatnya di tempat kerja bukan untuk sekadar ber-haha-hihi ringan mengakrabkan suasana, namun Davira ingin berkonsultasi pasal perusahannya. Sejauh ini hanya Arka yang ia percayai, meskipun Davira tahu bahwa pengacara satu itu hanya akan melucu dengan segala kalimat konsultasi yang keluar dari celah bibir miliknya nanti.     
0

"Tumben lo datang." Lirih sebuah suara menyela langkah kakinya. Kini gadis berambut pendek yang baru saja ingin berbelok di ujung lorong itu terhenti. Menatap siapa gerangan yang baru saja membuat langkah tegasnya terhenti begitu saja. Akan sia-sia jika itu bukan pembicara yang penting!     

"Rena?" pekik gadis itu menyahut. Paras yang tak asing lagi. Tatapan teduh dengan senyum manis dan lambaian tangan ringan diberikan untuk Davira sekarang ini. Ia tak ingin banyak berkata-kata untuk menyambut kedatangan Rena, atau mungkin dirinya lah yang baru saja sampai di sini. Ia hanya tersenyum menatapnya lekat-lekat.     

"Tumben lo ke sini." Rena mengambil mengulang. Mengambil satu langkah yang sama untuk mulai mengiringi gerak sepasang kaki jenjang milik Davira Faranisa.     

"Tumben? Lo sendiri?" tanya Davira menyela. Baiklah, ia terlihat sedikit kikuk.     

"Gue selalu datang di akhir pekan. Tapi belakangan ini tugas kantor gak terlalu banyak, jadi gue sering mampir ke sini di jam makan siang." Rena menjelaskan pada gadis sebaya yang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. Penjelasan itu memang singkat. Namun sukses membuat Davira mengerti dengan benar, Rena adalah kekasih Arka sekarang. Wajar saja ia datang menyambangi kekasih hatinya.     

"Mau ngopi dulu?" tawar Davira sembari tersenyum ringan. Rena mengangguk. Ide yang bagus, toh juga ia sedang ingin membicarakan sesuatu sekarang ini.     

*** LudusPragmaVol3 ***     

Kafetaria yang dibangun tepat di sisi bangunan kantor pengacara tempat Arka Aditya bekerja menjadi tujuan akhir Davira dan Rena untuk menunggu jam makan siang. Dua gelas moccacino dingin dengan beberapa balok es yang memenuhi volumenya menjadi peneman setia di antara keduanya, Davira tak berbicara. Rena hanya diam menunggu waktu yang tepat memulai kalimatnya. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dan diskusikan pada Davira sekarang. Tentang hubungannya dengan Arka Aditya.     

"Kenapa lihat gue terus dari tadi. Ada yang salah sama make up gue?" Davira menyela. Ditatapnya lawan bicaranya itu dengan teduh. Rena hanya tersenyum tipis sembari menggeleng-gelengkan kepalanya ringan.     

"Ada masalah lo sama Arka?" Davira mengimbuhkan. Semoga saja tidak. Mereka baru saja memulai hubungan. Seharusnya masalah seperti itu tak datang di awal-awal hubungan sepasang kekasih.     

"Boleh gue tanya sesuatu?" Rena akhirnya menyahut. Hanya mendapat anggukan kepala dari gadis yang ada di sisinya.     

"Tentu. Katakan saja."     

Pembicara sejenak terhenti. Rena masih diam untuk menyusun kalimat yang tepat disampaikan pada Davira. Gadis itu menunggu, sedikit lama namun ia akan meluangkan sabarnya. Rena mungkin membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dunianya. Bersama Arka ia akan menempuh banyak hal baru yang tak pernah diduga-duga oleh gadis itu. Arka Aditya adalah cinta pertama Rena. Meskipun ia tahu, Rena bukanlah cinta pertama untuk Arka. Cinta pertama pengacara muda itu ada di depan Rena sekarang. Parasnya lebih cantik dan kariernya lebih cemerlang. Banyak hal yang menjadi dasar dirinya untuk meletakkan kecemasan dan kecemburuan pada Davira tentunya.     

"Lo beneran gak suka sama Arka?" tanyanya melirih..nada bicara itu terkesan begitu hati-hati. Tak ingin menyakiti hati Davira.     

"Kalau gue suka sama dia, lima tahun yang lalu mantan gue adalah Arka Aditya bukan Adam Liandra Kin." Davira menyahut. Tertawa kecil sembari menatap Rena dengan tatapan teduh. Gadis itu benar-benar polos. Ketakutan yang ada di dalam hatinya sungguh tak berdasar.     

"Kenapa? Lo takut Arka akan seperti Adam?"     

Rena menghela napasnya kasar. "Gue minta maaf, Davira."     

"Rena," panggilnya menyahut. Kembali memotong kalimat gadis yang ada di depannya. Rena mendongakkan kepalanya. Memandang Davira dengan penuh pengharapan.     

"Arka berbeda dengan Adam. Itu sebabnya dia masih menjadi sahabat gue sampai sekarang. Keraguan lo itu hanya akan membuatnya kecewa. Lo harus yakin sebab Arka akan begitu juga nantinya."     

Gadis bersurai pekat itu mulai mengangguk. Tentu, Davira pasti mengenal baik seorang Arka Aditya. Mereka bersahabat sejak usia yang masih belia. Kiranya berpuluh-puluh tahun lamanya ia bersama dan saling mengenal satu sama lain.     

"Lo sendiri? Lo akan melajang sampai tua?" Rena mengubah topik pembicaraan mereka. Kini Davira lah yang menjadi objek pembicaraannya.     

"Gue pasti mendapat seseorang yang baik nanti. Hanya tinggal menunggu waktu saja," ucapnya tersenyum manis.     

"Bagaimana dengan Adam. Dia sudah cukup baik untuk saat ini."     

Davira menarik satu sisi bibirnya. Sejenak ia menatap gadis yang ada di depannya. Rena tak sepenuhnya salah. Ada kebaikan seorang Adam Liandra Kin yang terendus oleh Davira. Pria muda itu benar-benar berambisi untuk berubah menjadi lebih baik.     

"Gue bahkan belum bisa memutuskan itu."     

"Lo sendiri yang mengajari gue untuk mulai yakin dengan diri sendiri, tapi lo masih seperti ini." Rena menimpali. Menarik segelas moccacino yang ada di depannya. Kasar permukaan sendok itu mengaduk apapun yang ada di dalam gelas.     

"Itu masalah yang berbeda." Davira menggerutu. Dalam harap ia ingin Rena mengerti apa yang dirasakan oleh dirinya saat ini. Adam memang mantan kekasihnya, banyak hal yang ia lalui bersama pria muda itu. Bukan hanya pasal rasa, namun Adam sudah pernah menjamah semua bagian tubuhnya. Kenangan itu lah yang melekat kuat di dalam ingatan Davira.     

"Jujur aja lo masih berharap sama Adam bukan?" To the point! Kalimat tanya itu mendiamkan Davira.     

"Kalau enggak kenapa lo sekarang memberi kesempatan dia untuk kembali? Baiklah, katakan saja itu tak sengaja. Tapi lo sebenarnya bisa mengontrol itu. Lo bisa menolak Adam, bukan malah mengijinkannya masuk terlalu dalam." Rena menerangkan. Sukses ia membungkam mulut gadis yang ada di depannya.     

Davira tertawa ringan. Benar juga, betapa munafiknya dia itu.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.