LUDUS & PRAGMA

71. Dari Orang Baik Untuk Orang Baik Lainnya.



71. Dari Orang Baik Untuk Orang Baik Lainnya.

0Alunan musik jazz menggema di ruangan. Memecah sepi dan hening yang tak diijinkan datang untuk menyelimuti seluruh penghuni ruangan. Dua gelas espreso dingin menemani keduanya. Davira yang memesan, Tuan Raka yang mengikuti saja. Gadis itu mengajaknya kemari. Jam makan siang datang dengan suasana riuh kantor yang mulai terasa. Bangunan kedai ini tak jauh dari kantor. Hanya tinggal berjalan beberapa meter saja, mereka sudah sampai di tempat tujuannya. Ini adalah kali pertamanya Tuan Raka menyambangi tempat ini, meskipun ia sudah bertahun-tahun lamanya bekerja di gedung kantor milik papa Davira. Ia adalah orang yang kaku dan kuno. Tua sudah usianya tak pantas berada di tempat anak muda seperti ini. Menu yang disediakan pun tak bersahabat dengan sistem dinamika di dalam tubuhnya. Minuman espreso dingin yang disajikan di dalam gelas berukuran besar, steak daging dengan saus sambal pedas dan kuah yang mendidih serta beberapa potong sayuran rebus yang tak ada rasanya sama sekali. Tempat ini bukan tempat untuk Irna Indonesia kuno seperti dirinya. Akan tetapi, ia tak bisa menolak ajakan dari putri teman lama sekaligus mantan bosnya yang dulu. Davira terlihat begitu tulus memohon padanya.     
0

"Kau tak akan meminumnya, Tuan Raka?" Davira menyahut. Selepas memasukkan satu kentang goreng masuk ke dalam mulutnya.     

Tuan Raka tersebut manis. Sedikit canggung jikalau ia mengatakan bahwa Davira adalah gadis muda pertama yang memperlakukan dirinya seperti ini. Bukan kurang ajar dan melampaui batasannya, Davira melakukan dengan begitu hangat dan bersahabat. Layaknya sedang pergi berkencan dengan kekasih barunya. Jika putri Tuan Raka melihat ayahnya datang ke tempat seperti ini bersama gadis muda, pasti ia akan menertawakan pria itu dengan lantang dan terbahak-bahak.     

"Kau canggung denganku?" Davira kembali menebak. Mencoba tetap akrab meskipun ia tahu jawaban pasti dari pertanyaannya itu. Pria itu adalah pria tua yang profesional dalam menjalankan tugasnya. Selama jas itu masih melekat di atas tubuhnya, maka Tuan Raka tak akan bisa berbicara bebas padanya.     

"Anggap aku putrimu atau teman dari putrimu. Itu akan lebih baik." Davira mengimbuhkan. Tersenyum manis sembari mengetuk sisi meja.     

Tuan Raka menganggukkan kepalanya samar. Tersenyum aneh untuk gadis yang ada di depannya. Denis benar, Davira memang terlihat dingin dan sombong di luarnya. Ia seperti gadis congkak nan angkuh yang tak peduli dengan lingkungan luarnya. Namun, praduga itu adalah sebuah kesalahan! Davira lebih hangat dari gundukan wol dan sutera.     

"Baru pertama kali seseorang memperlakukan diriku seperti ini di tempat kerja. Bahkan semua karyawan yang sesuai denganmu pun," ucap Tuan Raka berbicara tak formal pada Davira. Gadis itu tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Inilah yang Davira minta. Santai saja, toh juga mereka tak sedang berada di dalam bangunan kantor bukan? Jadi tak ada salahnya untuk bersikap layaknya seorang paman dan keponakan.     

"Hidupmu pasti membosankan, Tuan." Gadis itu terkekeh ringan. Kembali menyantap daging panas yang ada di depannya. Tuan Raka menyahut. Tak bersuara ia hanya menganggukkan kepalanya tegas.     

Benar, hidupnya akan terasa monoton dan itu-itu saja kalau Denis tak membantunya kala itu. Mencarikan pekerjaan dan membuat keluarganya hidup nyaman hingga sekarang ini.     

"Papamu benar, Nona Davira. Kamu adalah gadis yang baik." Tuan Raka mulai menyela. Menarik segelas espreso dingin di depannya. Sejenak pria itu mengaduk-aduk minuman yang ada di depannya. Mulai menggenggam dan meminumnya dengan satu tegukan kasar.     

Tenggorokannya sekarang basah. Cita rasa espreso dingin mulai masuk ke dalam tubuhnya. Ia tak tahu, kalau ada minuman dengan rasa seperti ini jikalau diberi sentuhan dinginnya es batu. Biasanya Raka hanya meminum espreso dengan keadaan hangat mengepulkan asapnya di udara.     

"Dia gadis yang sudah tak asing untukku lagi sekarang, Nona Davira."     

Gadis yang disebutkan namanya itu mendongak. Ditatapnya pria tua yang ada di depannya sekarang ini. "Siapa?"     

"Gadis yang datang tadi. Kami sedikit berbicara satu sama lain." Tuan Raka menyela. Menghentikan aktivitas Davira yang kini menatapnya penuh pengharapan. Makna kalimat yang diucap oleh Tuan Raka sukses membuat Davira terfokus padanya.     

"Apa yang dia katakan?"     

"Dia sedikit bercerita apa yang terjadi di masa lalu. Ada namamu di sana, Nona Davira." Pria itu mempersingkat. Ia tak akan banyak berbicara, sebab Raka bisa menebak bahwa Davira pasti mengetahui apa-apa yang kiranya dikatakan Davina padanya.     

"Dia juga mengatakan bahwa dia merebut kekasihku?" Davira kembali menyendok daging yang ada di depannya. Melirik pria yang kini mengerang ringan sembari menganggukkan kepalanya tegas. Ia tak kunjung kembali menyeruput espreso yang ada di di depannya sekarang ini. Pembicaraannya dengan Davira benar-benar menguras semua fokus yang ia miliki.     

"Dia bahkan mengatakan bahwa dia adalah gadis yang brengsek, lebih dari Adam Lian-- Liandra? Siapa namanya?" Tuan Raka menyela kalimatnya sendiri. Menatap gadis cantik yang kini tertawa ringan untuk dirinya.     

"Adam Liandra Kin."     

"Ah itu! Adam Liandra Kin." Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Nama itu susah sekali untuk masuk ke dalam ingatan tuanya sekarang ini.     

"Kenapa tak memaafkan saja, Nona?" Tuan Raka mengimbuhkan. Menatap Davira dengan netra teduh miliknya. Suasana berubah. Seakan bayu baru saja berembus untuk menyejukkan hati yang sedang gerah. Davira lama tak mendengar kalimat itu. Memaafkan orang-orang dari masa lalunya bukan hal yang mudah untuk dirinya tentunya.     

"Aku melihat ketulusan di dalam hatinya lewat sorot mata itu. Setidaknya dia berani datang dan mengakui semuanya. Meminta maaf dengan kalimat yang tulus."     

Davira menghela napasnya. Benar juga, namun ia bukan Tuhan.     

"Kita memang bukan Tuhan. Namun, kita adalah hamba-Nya. Kita memang bukan Tuhan yang bisa memaafkan kesalahan besar orang di masa lalu, namun kita adalah hamba-Nya yang sudah mempelajari itu dengan baik." Tuan Raka menarik pergelangan tangan gadis muda yang ada di depannya. Menatapnya lekat-lekat penuh keteduhan. Davira mirip dengan putrinya. Polos dan suci.     

"Jangan gunakan kalimat kita bukan Tuhan yang bisa memaafkan dengan mudah sebagai alasan untuk menutup pintu maaf yang ada di dalam hati. Benar, kita memang bukan Tuhan, tapi kita hamba yang diajarkan untuk saling memaafkan oleh Tuhan." Pria itu tersenyum manis. Melepaskan genggaman tangan itu selepas menyelesaikan kalimatnya. Gadis yang ia lempari pernyataan hanya diam. Bungkam memilih tak bersuara sepatah katapun.     

"Tapi bagaimana jika aku memaafkan dan mempercayai kembali, kesalahan itu akan terulang lagi?" tanya Davira melirih. Benar, itulah ketakutan terbesarnya.     

"Orang tua akan memberi hadiah pada putra dan putrinya yang sudah berbuat baik dengan membelikan benda kediamannya. Orang asing akan memberi imbalan setimpal atas perbuatan baik yang diterima olehnya dari orang lain juga. Kamu pikir siapa yang mengajari konsep itu? Semuanya diajarkan oleh Tuhan. Tuhan akan memberikan imbalan atas hati baikmu, Nona Davira."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.