LUDUS & PRAGMA

79. Tawaran Di Penghujung Hari



79. Tawaran Di Penghujung Hari

0Langit menggelap. Menyisakan rembulan yang belum sempurna dalam melingkar. Bertabur bintang yang berkelap-kelip di atas sana. Cakrawala indah jikalau ditatap dalam suasana hati yang sedang baik. Bersama semilir hawa bayu, lelah menguap tanda waktu istirahat benar datang. Tak ada tugas sekolah, juga tak ada sesuatu hal penting yang bisa dikerjakan oleh Davira malam ini. Ia hanya terus menatap langit dari balkon kamarnya. Sesekali tersenyum kala tak sengaja lensanya menangkap kedipan bintang putih di atas sana. Jarang sekali langit kota Jakarta indah seperti ini. Semua bintang dan satu rembulan indah akan tenggelam oleh langit mendung yang mengosongkan semuanya.     
0

Seakan sedang ingin memihak dirinya, semesta menghibur Davira dengan baik. Sepi, tak ada mamanya sebab si wanita masih sibuk di dalam ruang kerja. Tak ada sang kekasih yang mengusik, sebab Davira mematikan ponselnya. Arka juga tak datang, dalam tebakan Davira pastilah remaja itu berada di dalam rumah Rena. Berbincang ringan dengan beberapa jeda dan sela yang mengiringi.     

Ia memutar tubuhnya. Menghela napas kemudian kembali menangkap indahnya tabur bintang di atas sana. Hatinya memang belum benar baik-baik saja. Rasa percaya yang dulunya besar kini mulai terkikis. Benar kata orang, satu titik tinta bisa mengubah suci dan murninya warna susu. Davira merasakan hal itu. Menjadi lain adalah caranya memberi respon terkait dengan perselingkuhan sang kekasih.     

Jujur saja, Davira adalah pemikir yang baik. Entah Adam benar-benar melakukan kesalahan atau memang remaja itu sudah merencanakan semuanya sejak dulu. Menjadikan hubungan dirinya dengan Davira sebatas alasan untuk menjadikan dirinya bebas bersama siapapun tanpa ada ikatan yang pasti di depan umum. Davira ingat akan satu hal, bahwa sebelum menjadi Kapten Kin untuknya, Adam adalah remaja brengsek yang suka bermain di atas perasaan gadis-gadis cantik idamannya.     

Namun kala itu Adam beralasan. Sikapnya yang kurang ajar dengan tingkat ke-brengsekan yang tinggi adalah caranya untuk mengetahui mengapa sang ayahanda pergi bersama gadis lain dan meninggalkan sang mama dalam kesepian. Adam hanya ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi sang ayah, namun entah benar atau tidak.     

Ketukan pintu kini menyela lamunan gadis itu. Menarik perhatian Davira yang kini menoleh dan memutar pandangannya. Mengarah tepat ke ambang pintu yang perlahan dibuka. Suara sang mama kini mengiringi. Lamat-lamat tersenyum pada sang putri yang berjalan mendekat padanya. Ingin menyambut? Tidak! Davira kini menaruh banyak rasa penasaran ada di dalam dirinya perihal tubuh siapa yang berdiri di balik punggung sang mama sekarang ini.     

"Kamu belum tidur 'kan?" tanya mamanya dengan nada lembut. Davira mengangguk ringan. Mengerang tanda untuk mengiyakan kalimat tanya dari sang mama tercinta.     

"Syukurlah," sahut Diana mengimbuhkan. Kini tubuh wanita itu perlahan memutar. Memberi celah untuk seseorang bisa masuk ke dalam kamar putri sekarang ini.     

Davira kini membelalakkan matanya tak percaya. Bukan Adam, Arka, Davina, ataupun Rena. Bukan juga Raffardhan Mahariputra Kin yang berdiri di depan kamarnya sekarang ini, melainkan Kayla Jovanka.     

"L--lo!" Davira menunjuk. Tepat mengarah pada gadis yang tersenyum ringan sembari melambaikan tangannya antusias. Davira menghela napasnya kasar, bocah sialan ini!     

"Dia nyariin kamu sejak tadi. Jadi mama langsung antar untuk naik ke lantai atas." Diana menjelaskan dengan singkat. Mengusap punggung anak gadis yang terlihat untuk Diana mengingat Kayla tak pernah datang kemari sebelum ini.     

"Masuk, Nak. Tante akan buatkan minum." Diana kembali berucap. Mempersilakan Kayla untuk melangkah masuk ke dalam ambang pintu. Mengabaikan anak gadisnya yang masih terdiam sebab tak percaya jikalau musuhnya berkunjung ke rumahnya malam ini. Untuk apa? Entahlah! Masa bodoh! Davira ingin mengusir Kayla sekarang juga.     

"Mama—"     

"Mama buatkan minum." Sial! Diana tak akan paham jikalau Davira mengatakan bahwa ia membenci Kayla lebih dari apapun. Diana juga tak akan setuju jikalau ia mengatakan bahwa Davira ingin mengusir tamu yang baru saja datang masuk ke dalam kamarnya secara tidak sopan, sebab yang diajarkan oleh Diana bukan seperti itu.     

Pintu kembali rapat ditutup. Meninggalkan dua gadis yang tak saling pandang satu sama lain. Davira memalingkan wajahnya, sedangkan Kayla mulai menelisik apapun yang ada di dalam kamar gadis setara usia dan sama tinggi dengannya itu. Matanya tertuju pada satu bingkai dengan foto berwajah tak asing untuknya, Adam Liandra Kin.     

Kayla mendekat. Tepat di samping meja rias gadis itu, ia duduk. Mengambil satu tempat nyaman yang sukses membuatnya merasa berada di kamarnya sendiri. Jari jemari indah miliknya kini mengangkat bingkai berisi foto seorang remaja yang sedang tersenyum lebar bersama sang pemilik ruang kamar. Di dalam foto terlihat begitu mesra dan intim di antara keduanya.     

"Letakkan." Davira memerintah. Menyahut benda yang ada di dalam genggaman Kayla lalu melemparnya di atas ranjang.     

"Keluar." Gadis itu menambahkan. Kalimat singkat yang tak perlu mendapat imbuhan apapun untuk menjelaskan makna dan maksudnya, namun tak cukup untuk membuat gadis bermata kucing itu bangkit dan berpindah dari tempatnya sekarang ini.     

"Gue bilang keluar," susul Davira dengan nada melirih. Berkacak pinggang di depan gadis sialan yang hanya tersenyum ringan untuk kalimat perintah darinya.     

Kayla perlahan mendongakkan pandangannya. Menatap Davira yang kini jelas menaruh kekesalan pada dirinya. Baru saja Davira ingin memuji kebaikan semesta padanya, namun ia menarik semua kalimat indah iru. Sebab semesta mengirimkan iblis untuk menemani malam baiknya.     

"Lo gak mau tanya kenapa gue datang tapi langsung mengusir gue?" kekeh Kayla tertawa kecil. Kini tubuhnya bangkit. Menyamakan tinggi dengan gadis yang ada di depannya.     

Tatap mata itu setara. Sama-sama tajam penuh makna. Seakan tak ingin kalah satu sama lain sebab ego besar yang menguasai, kedua gadis itu sama-sama diam membiarkan hening datang menyapa dalam sepersekian detik berjeda.     

"Lo berharap gue berterimakasih atas informasi yang lo berikan tadi sore?" kelit Davira mulai tertawa licik.     

Ia menghela napasnya berat. Masih dengan tatapan sama, tajam dan menusuk. "Terimakasih, sialan."     

Gadis bermata kucing yang ada di depannya menggeleng. "Bukan itu tujuan gue, sialan. Gue tahu lo adalah gadis yang gak tau terimakasih. Tapi tak masalah, karena tujuan gue bukan untuk mendapat kalimat itu dari mulut sialan lo itu." Kayla mengumpat. Menunjuk gadis yang memalingkan wajah darinya. Benar-benar kesal Davira malam ini, jikalau tak ada mamanya di lantai bawah, Davira pasti sudah mendorong tubuh Kayla dari balkon rumahnya.     

"Gue punya tawaran bagus. Lo mau denger?" tanyanya berkelit.     

Davira menyipitkan kedua matanya. Mencoba menelisik apa kiranya yang sedang bergelut di dalam pikiran gadis sialan bermata kucing ini.     

"Mau jadi partner gue untuk menghancurkan mereka? Adam dan Davina."     

.... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.