LUDUS & PRAGMA

95. Mulai Berlari!



95. Mulai Berlari!

0Diana meninggalkan sang putri tepat di depan rumah Adam Liandra Kin. Bukan tanpa alasan yang jelas, namun Davira-lah yang memintanya. Kini gadis itu berdiri seorang diri. Selepas membunyikan bel rumah sebagai seorang tamu yang sopan, gadis itu hanya perlu menunggu saat ini. Menunggu seseorang membukakan pintu untuk dirinya dan menyambut baik kedatangannya yang terkesan tiba-tiba.     
0

Davira menelisik penampilannya sendiri. Memang tak ada yang bisa dibanggakan sekarang. Gaun hitam polos yang jatuh tepat di atas betisnya dengan keras berwarna kontras, putih cerah tanpa ada noda yang menghias, sepasang sepatu berwarna senada dengan gaunnya dan tas kecil yang manis menghias pundak gadis itu. Terkesan sangat gelap dan tak berwarna. Tak ada keceriaan yang menghias di atas dirinya saat ini. Suasana berkabung masih melekat di dalam dirinya. Seakan tak ingin lekas mengakhiri kepedihan dan kegusaran di dalam hati, Davira Faranisa datang kemari.     

Niat dan tujuannya sangat sederhana, mengambil apapun yang ada di dalam kotak. Kunci kecil sudah ada ia miliki. Hanya tinggal masuk ke dalam dan berpura-pura menjadi seorang tamu baik, selepas itu Davira akan mengetahui apapun yang ada di dalam kotak itu. Jikalau Raffa benar-benar ingin menunjukkan kebusukan sang kakak, maka Davira berharap hanya ada sedikit bukti yang akan memberikannya sedikit pula rasa sakit.     

Seseorang menekan kunci gerbang. Suaranya nyaring, sedikit mekak di telinga. Gadis itu terus menatap. Berharap bahwa sang kekasih-lah yang membukakan pintu gerbang untuknya. Namun, naas. Raffardhan Mahariputra Kin sudah berdiri di depannya sembari terus memberi tatapan pada Davira. Sejenak remaja itu menelisik. Apapun yang ada di atas penampilan sang kakak yang ia cintai dalam hati itu terkesan asing dan aneh. Sekali lagi, lekat suasana duka penuh kesedihan.     

"K--kakak datang?" tanyanya sedikit gagap. Raffa sejenak memiringkan tubuhnya agar memberi celah untuk Davira bisa masuk ke dalam halaman rumah. Tak ingin banyak bertanya, namun tatapan itu seakan menjelaskan semuanya. Raffa diam dalam tanda tanya sekarang ini. Seakan ingin banyak melempar pertanyaan namun ia tak berani. Sebab penampilan Davira bak seorang yang baru saja menghadiri pemakaman. Bukan mamanya 'kan? Tanya Raffa dalam hati.     

"Aku habis menghadiri pemakaman seseorang." Davira tiba-tiba berucap. Menjawab satu pertanyaan besar yang disembunyikan oleh Raffa di balik tatapannya.     

Remaja itu mengangguk ringan. "Siapa?"     

"Adam ada?" Davira menyela. Mengabaikan pertanyaan dari remaja yang memberi manik matanya untuk menatap dirinya.     

"Ada di dalam." Raffa menyahut. Menjawab dengan kalimat seadanya tanpa mau banyak berbasa-basi. Dari gayanya berbicara, Davira bak terlihat seperti seseorang yang sedang rapuh namun memaksa untuk menyangga dirinya agar tetap berdiri kokoh. Senyuman yang sesekali muncul untuk mengiringi langkahnya masuk ke dalam rumah juga terkesan dan terlihat begitu palsu. Gadis itu sedang hancur.     

"Siapa yang dimakamkan hari ini, Kak." Raffa mengulang. Rasa penasaran ada di dalam dirinya sekarang ini. Jikalau benar sang mama kandung, mungkin Raffa sudah mendengar semuanya dan sekarang ini Raffa tak akan berada di dalam rumah dengan pakaian seadanya. Kaos berlengan panjang sedikit kedodoran dengan celana pendek selutut dan sepasang sandal jepit ala-ala seorang yang amat sangat mencintai keadaan rumahnya kalau libur datang menyapa begini.     

Davira terdiam sejenak. Menghentikan langkahnya untuk menatap remaja jangkung yang ada di sisinya sekarang ini. Keduanya saling diam. Tatap dalam sebuah pertanyaan besar yang menghadang. Raffa setia menunggu jawaban dari Davira, seperti setianya yang besar ada untuk menunggu gadis itu datang padanya selama dua tahun terakhir.     

"Mama tiri aku," sahut Davira melirih. Menundukkan pandangannya kala ia tak percaya bahwa dirinya mengucap kata 'mama' untuk mendeskripsikan Mira.     

Raffa diam. Ia memang mencintai Davira, namun dirinya tak tahu kalau gadis itu masih berhubungan baik dengan keluarga tirinya. Raffa mengira bahwa hubungan itu sudah lama berakhir. Hidup Davira hanya sebatas Mama kandungannya, sang kakak, dan sahabat-sahabatnya di sekolah.     

"Kenapa diam?" tanya Davira kemudian. Gadis itu kembali menaikkan pandangannya. Menatap sepasang lensa teduh yang terus menyorot ke arahnya.     

"Aku turut berduka cita," susul Raffa dengan nada lembut.     

Davira tersenyum singkat. Mengangguk-anggukkan kepalanya untuk memberi respon. Kini tatapannya mengudara. Menatap sebuah jendela besar dengan tirai yang tertutup rapat. Gadis itu hapal, bahwa di sanalah kamar Adam Liandra Kin berada.     

"Apa yang kakak rasakan? Sedih?" Raffa kembali bertanya. Menyita perhatian gadis yang baru saja ingin berucap sesuatu padanya.     

Davira kembali menatap seorang remaja yang diam menunggu respon lanjutan dari dirinya.     

"Begitulah."     

"Kakak bahkan tidak menangis, hubungan kakak pasti gak terlalu baik sama mereka."     

Davira menatap tegas. Sejenak ia membulatkan matanya kala kalimat itu terdengar jelas dikatakan oleh Raffardhan tanpa ada rasa bersalah juga keraguan. Ada satu sifat yang membedakan antara Raffa dan Adam Liandra Kin, bahwa mereka berdua berlainan. Jikalau Adam adalah si pembicara baik yang mampu menempatkan diri dan mampu memilih topik pembicaraan sesuai dengan suasana yang ada, Raffa lain. Remaja itu sangat jujur! Terkadang ia tak bisa membedakan antara mana sebuah kejujuran dan mana sebuah kalimat yang tak beradab. Seperti sekarang ini. Kejujurannya memang benar, namun salah tak pada tempatnya.     

"Maksud aku keluarga tiri kakak."     

"Kamu tahu, kisah Cinderella dengan saudara tirinya, bawang putih dan bawang merah, terkadang ada benarnya. Saudara tiri dan keluarga tiri tak senyaman keluarga kandung kita." Gadis itu memungkaskan kalimatnya dengan senyum manis.     

Kini aku meraih bahu remaja yang ada di depannya. Cara menatap Davira untuk Raffa berubah, seperti sesuatu mulai ada dan memenuhi di dalam otak gadis itu.     

"Boleh kakak bertanya sesuatu?"     

Raffa menganggukkan kepalanya. Mengerang ringan, namun tak bersuara sepatah katapun.     

"Tawaran tentang jika aku ragu ... maka aku boleh datang padamu, apakah itu masih berlaku sekarang ini?" tanyanya menatap penuh harapan. Remaja di depannya bungkam sejenak. Ditatapnya Davira dengan penuh keanehan yang ada. Gadis itu sedang memohon padanya. Mengibarkan bendera tanda ia mulai menyerah untuk melakukannya sendirian.     

"Tentu. Tak ada batasan waktu untuk itu."     

Davira tersenyum manis. Perlahan ia menurunkan tangannya. Merogoh masuk ke dalam tas kecil yang menggantung rapi di sisi pundaknya kemudian kembali menatap Raffa selepas menemukan benda yang ia cari.     

Raffa menyipitkan matanya. Kunci itu ... apa maksudnya?     

"Aku memutuskan untuk mempercayai kamu. Jadi aku datang untuk mengambil apa yang harusnya ada di tangan aku," ucapnya sembari mengulurkan kunci yang ada di atas telapak tangannya.     

"Kakak mau minta bantuan?" tanya Raffa menebak.     

Gadis itu mengangguk. Selain penuh misteri, Raffa adalah remaja pintar yang cerdik.     

"Maaf karena merepotkan," pungkas gadis itu menutup kalimatnya.     

.... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.