LUDUS & PRAGMA

94. Dialog Bersama Ibunda



94. Dialog Bersama Ibunda

0Mobil melaju sedang membelah padatnya jalanan kota, meninggalkan tempat penuh duka bersama orang-orang yang sedang berkabung. Davira memilih pulang sore ini bersama sang mama, menjadi penumpang bisu adalah pilihnya sekarang ini untuk menempuh perjalanan. Diana ikut diam dalam beberapa menit berselang. Memberikan seluruh fokusnya untuk jalanan longgar yang ada di depannya sekarang ini. Tak dusta jikalau Diana mengatakan bahwa dirinya juga ikut kalut dan masuk ke dalam suasana duka sang mantan suami. Mira bagaikan lentera kehidupan dan angin segar untuk keluarganya. Meskipun wanita yang jauh lebih muda darinya itu sudah merebut dan menghancurkan semua yang menjadi miliknya sekarang ini, namun tetap saja lambat laun dirinya menyayangi wanita itu. Diana sudah menganggap kedua putri Mira sebagai anak kandungnya sendiri, ingin mengasuh dan membesarkan, namun dirinya paham benar bahwa sang putri tak akan mengijinkan itu terjadi.     
0

Diana kini melirik sang putri yang masih kokoh dalam posisi awalnya. Gadis itu tak banyak berulah dan bertingkah hari ini, sejak bangunnya tadi pagi dan mengenakan pakaian serba hitam yang tak pernah dibayangkan oleh dirinya sekalipun anak gadis semata wayangnya itu menghemat suara juga ekspesi wajahnya. Davira hanya menjawab semua yang perlu dijawab olehnya. Tersenyum dan tertawa pun bukan hal lumrah yang dilakukan olehnya saat ini. Wanita yang menjabat sebagai single parent selama berpuluh tahun itu paham benar, jikalau mau dielakkan seperti apa juga, Davira tetap merasa ada duka di dalam hatinya saat ini. Meskipun kabutnya tak tebal, namun Diana yakin bahwa putri gadisnya pasti memiliki sisi iba dan belas kasih.     

"Mau mama taktir makan daging siang ini?' Diana menyela keheningan, sembari melirik sang putri dirinya kini mengembangkan senyum manis. Tangannya terulur. Mengusap puncak kepala sang putri yang masih kokoh dalam diamnya saat ini.     

"Mau?' ulangnya menegaskan.     

Davira menggeleng. Senyum aneh nan kaku ada di atas wajahnya sekarang ini. Sesekali mengembuskan napasnya kasar kemudian kembali menatap jalanan yang ada di depannya. Aneh, gadis itu merasa aneh saat ini. Perasaannya seakan masih tertinggal di tempat itu. Tatapannya kosong bahkan senyumnya sebatas lengkungan bibir palsu tak tulus hadir dari dalam hatinya sekarang ini. Wajah Alia masih melekat jelas di dalam ingatannya saat ini. Air mata gadis itu masih ada ketika papa Alia memanggil namanya dengan lembut. Melerai pelukan itu dan menciptakan jarak canggung di antara keduanya. Alia pergi selepas sang papa menjelaskan situasi yang sedang menunggunya tadi, mau tak mau rela tak rela hatinya gadis itu harus benar-benar segera melepas sang mama tercinta untuk pergi dari dunia.     

"Kamu masih memikirkan keluarga papa?" Diana menebak. Bukan tanpa alasan, dirinya bertanya itu sebab tatap mata sang putri berbicara demikian.     

"Bagaimana dengan Ana?" Davira menyela. Kalimatnya singkat namun cukup untuk membuat Diana sejenak menoleh dan menatap sang putri penuh pengarapan. Senyum kembali mengembang di atas bibir merah milik Diana kali ini.     

"Dia akan baik-baik saja." Wanita itu mengusap kepala sang putri.     

"Alia pernah bilang bahwa keluarganya adalah orang jahat. Mama tau apa maksudnya itu?" tanya Davir penuh keseriusan.     

Diana terdiam sejenak. Matanya tak bisa terus fokus untuk menatap perubahan raut wajah sang putri sekarang ini. Sebab jalanan adalah prioritasnya untuk ia berikan seluruh fokusnya.     

"Keluarga Mira tak pernah menyukai papa kamu, karena mereka tau bahwa papa kamu adalah laki-laki yang sudah beristri dengan satu putri cantik yang menggemaskan. Pernikahan itu terjadi sebab Mira mengandung anak hasil hubungan gelap dengan papa kamu saat itu. Apalagi melihat kebangkrutan papa kamu dalam selang waktu yang tak lama seakan membuat api kebencian lebih besar lagi," jelasnya pada sang putri.     

Davira memilih diam dan mendengarkan. Biasanya dirinya akan muak ketika mendengar apapun yang berhubungan dengan keluarga tirinya, namun saat ini semua terasa lain. Kematian Mira seakan membuat semuanya semakin berbeda saat ini, Davira yang awalnya membenci kini mulai terbiasa tanpa rasa tertentu. Mungkinkah ini yang dinamakan dewasa?     

"Alia dan adiknya akan bahagia selepas ini nanti, Ma?" Gadis itu kembali menyela. Bertanya dengan nada lirih nan lembut.     

Sekali lagi, Diana menoleh padanya sekarang ini. Mengembangkan senyum manis sembari meraih tangan satu putri. Ia mengusap punggung tangan Davira, perlahan mulai merapatkan jari jemarinya dengan sang putri untuk membuat suasana hangat tercipta.     

"Kamu mengkhawatirkan mereka?" Diana menyahut.     

"Aku hanya bertanya," timpalnya dengan nada lirih.     

"Mama harap kamu benar-benar mengkhawatirkan mereka sekarang ini," susul Diana dengan senyum manis. Perlahan melepas genggaman tangannya untuk benar kembali fokus menyetir sekarang ini. Davira hanya bisa menghela napasnya dalam diam. Tak ingin berucap apapun sebab baginya, semua masih terasa aneh.     

"Kamu berniat untuk merawat mereka?" tutur Diana bertanya. Bukan basa-basi yang menjadi tujuannya sekarang ini, namun sebuah keseriusan yang menjadi alasannya bertanya seperti itu.     

"Jika kamu berkenan, mama akan mulai membicarakan hal ini sama papa kamu dan mulai mendaftar—"     

"Jangan sembrono, Ma. Davira membenci orang asin masuk ke dalam keluarga kita." Gadis itu memotong kalimat sang mama. Memalingkan wajah dan membuang tatapannya ke luar jendela mobil. Davira memang sudah berbaik hati sekarang ini, menjadi lugu dan polos dengan menghadiri pemakanan, memeluk Alia, bahkan menanyakan kabar dua gadis yang sedang berduka itu sudah ia lakukan dengan baik. Akan tetapi mengasuh dan menjadikannya sebagai bagian dari kelurga adalah hal yang berbeda.     

"Mama tau kamu gak akan setuju," ucap Diana tersenyum ringan. Memutar stir mobilnya untuk berbelok di pertigaan jalan. Davira hapal jalanan ini, sebab ketika dirinya menyambangi rumah sang kekasih, ia selalu melawati belokan yang ada di depan sana.     

"Kalau mama tau, kenapa harus bertanya." Ia menggerutu kesal. Fokus menatap jalanan yang ada di depannya, samar-samar jari jemari Davira kini merogoh masuk ke dalam tas kecil yang ada di atas pangkuannya, seakan sedang mencari sesuatu di dalam sana.     

"Mama bisa antarkan Davira ke rumah Adam?" Gadis itu kembali membuka suaranya. Membuat sang mama menoleh sembari tegas menaikkan kedua alisnya. Dalam keadaan seperti ini, Davira masih saja memikirkan kekasihnya.     

"Kenapa harus ke rumah Adam sekarang? Kamu bahkan belum makan siang—"     

"Davira bisa makan siang di rumah Adam nanti, toh juga sekalian lewat jalan ini 'kan, Ma." Gadis itu beralasan. Sukses membuat mamanya terkekeh ringan.     

"Baiklah, mama antar." Diana menyela.     

Gadis yang duduk di atas kursi penumpang itu mengangguk ringan. Kini jari jemarinya kuat menggenggam sesuatu yang baru saja ia ambil dari dalam tas kecil berwarna putih yang ia letakkan di atas pangkuannya. Sejenak melirik sang mama kemudian tersenyum aneh.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.