LUDUS & PRAGMA

103. Hati Yang Hangat



103. Hati Yang Hangat

0Ada satu hal yang mulai mengganjal dalam hati gadis yang begitu anggun dengan gaun pendek yang jatuh tepat di atas kedua lututnya itu. Sang kekasih menjemputnya datang selepas senja benar menutup hari. Mendatangkan malam yang sepi dengan langit biru tua yang indah bertabur bintang. Dewi malam tak membulat dengan sempurna. Hanya separuh saja keindahan cahaya kuning yang ia tunjukan pada sepasang mata yang memandang ke atas. Langit memang cerah, namun hatinya tak secerah apa riasan wajah yang ia poleskan tepat di atas paras cantiknya sekarang ini.     
0

Adam membawanya banyak buah tangan untuk keluarga tirinya. Tak hanya sekeranjang buah, namun ada tiga besar berjajar rapi di jok belakang mobil. Ia membelikan mainan untuk Ana juga baju bagus untuk menghibur Alia. Davira terkejut dengan apa yang dilihatnya selepas masuk ke dalam mobil sesuai dengan perintah sang kekasih sebelum ini, sungguh Adam terkesan sangat berlebihan.     

"Kenapa terus melirik ke belakang?" Adam menyela ditengah fokusnya menatap jalanan yang ada di depannya sekarang ini. Menarik tatapan sang kekasih untuk menoleh tepat padanya.     

Davira terdiam sejenak. Ditatapnya wajah Adam yang tak fokus dalam memandang. Sesekali remaja itu menoleh padanya, lalu kembali pergi menatap jalanan sedikit longgar di depannya sekarang ini. Jakarta tak sepadat biasanya, namun ramai tak pernah absen dari kata lalu lintas di jantung negara Indonesia ini. Gadis itu kini tersenyum ringan. Menggelengkan kepalanya tanda tak ada yang perlu dikhawatirkan oleh remaja itu.     

"Karena aku membawa terlalu banyak?" Adam menyahut. Benar, dirinya sudah mengenal sang kekasih terlalu lama. Jadi tanpa berucap pun Adam paham benar bahwa sang kekasih sedang tak enak hatinya.     

"Itu sebabnya, kenapa mau membuang uang hanya untuk membeli semua itu?" Davira menyahut. Nada bicaranya aneh sedikit gusar. Tatapannya nanar keluar jendela. Sesekali ia menghela napasnya berat tanda gundah dirasakan oleh gadis itu sekarang ini.     

"Itu untuk keluarga kamu. Aku gak akan rugi sepeser uang pun," tukasnya mencubit pipi sang kekasih.     

Davira melirih. Merengek manja kala Adam kasar mencubit pipi merah merona miliknya.     

"Tapi tetap saja, itu semua berlebihan." Davira mengelak. Menggerutu samar selepas Adam menyelesaikan kalimat pembelaan yang ia katakan.     

"Lagi aku hanya berkunjung sekali ini. Jadi aku harus melakukan yang terbaik," sela remaja itu dengan senyum yang manis.     

Davira menutup rapat-rapat bibirnya sekarang. Tak lagi mampu berucap apapun untuk mengimbangi kalimat pembelaan yang diucapkan oleh sang kekasih padanya. Davira paham benar, jikalau Adam berniat baik sekarang ini. Menjadikan dirinya baik di mata seluruh keluarga besar sang kekasih, meskipun itu hanya sebatas keluarga tiri.     

Gadis bersurai pekat itu kini mengembuskan napasnya ringan. Perlahan namun pasti dirinya mengembangkan senyum manis nan tipis di atas paras cantiknya. Mengangguk ringan untuk menutup percakapan mereka kali ini. Davira tak ingin berdebat dengan sang kekasih, sebab ia menghargai apapun usaha manusia untuk melakukan dan menghasilan hasil yang baik.     

Adam hanya ingin menunjukkan baktinya sebagai seorang calon keluarga tiri untuk mereka. Menjadi baik di depan sang ayahanda juga seluruh keluarga yang disambanginya nanti, adalah tujuan remaja jangkung itu datang menjemput dirinya beberapa menit yang lalu. Adam tak ingin egois dengan hanya memikirkan fakta bahwa ia mencintai Davira saja, tak mencintai keluarganya.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

-Kediaman duka keluarga Denis-     

-Jakarta, 18. 45 WIB-     

Semua sejenak diam kala sepasang kekasih muda datang dengan barang bawaan mereka. Seakan sedang ingin mengadakan lamaran sederhana, Adam memboyong semua yang ada di dalam mobilnya. Memberikan pada si pengurus rumah yang sengaja disewa selepas kematian Mira dikabarkan pada dunia. Gadis itu tersenyum aneh, menatap satu persatu orang yang ada di dalam ruang tamu ini. Adam mengikuti. Menyusuri setiap bagian rumah mewah yang terlihat sangat asing untuk dirinya, Adam pertama kali datang kemari. Jadi wajar saja jika tatapannya kosong nan kikuk. Ekspresi wajah remaja itu pun sedikit aneh, canggung dirasa kala suasana ramai dengan orang-orang asing yang menyambut kedatangan mereka.     

Davira dipersilakan duduk di atas sofa tepi ruangan. Menjauh dari keramaian sebab dirinya bagian dari anggota keluarga bukan sebagai seorang tamu yang ingin datang mendoakan almarhumah Mira.     

Gadis itu melangkah jauh, menyisir sudut ruang untuk mencari jalan terbaik tanpa melewati atau mengganggu siapapun sekarang ini, diikuti oleh langkah sang kekasih mereka kini menjauh dari keramaian orang asing.     

Laki-laki yang masih terlihat kusut dan payah dalam berpenampilan itu menawarkan segala yang ada di dalam rumahnya untuk sang putri dan Adam yang duduk di sisinya. Hanya meminta dua gelas air putih sebab mereka akan segera kembali selepas Adam memuaskan niatnya di sini.     

"Om, Alia di mana?" tanya Adam menyela. Menghentikan aktivitas laki-laki yang baru saja berniat untuk memutar badannya ringan. Melangkah pergi dan meninggalkan Adam juga sang putri untuk mengambil jamuan yang ia janjikan.     

"Di kamarnya tamu, sudut sana." Pria berambut abu-abu itu menunjuk jauh ke depan. Tepat di ujung lorong dengan pintu kayu yang tertutup rapat.     

"Dia belum bisa tidur di kamarnya, sebab katanya Alia pasti akan meningkat mamanya" Ia mengimbuhkan. Menatap sayu Adam yang hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Ia tak bisa banyak berkomentar sebab dirinya tak tau persis bagaimana rasanya ditinggalkan oleh orang yang paling dicintainya.     

"Boleh aku menjenguk? Aku membawakan kado yang mungkin aja bisa menghibur Alia dan Ana."     

"Tentu. Jangan membuat keributan." Pria itu mengijinkan. Tersenyum ramah pada Adam kemudian memberikan remaja itu berjalan menjauh. Meninggalkan sang kekasih yang masih kokoh dalam duduknya. Tak mengajak? Tidak. Adam tahu, kalau itu hanya akan memancing perdebatan kecil di antara dirinya dan sang kekasih. Mendapat ijin dari Davira untuk bisa datang kemari saja sudah membuat Adam cukup bahagia.     

"Papa akan mengambilkan minum untuk—"     

"Duduklah." Davira menyela. Menarik ujung baju yang dikenakan oleh pria di depannya. Membuat si pria harus terpaksa kembali menghentikan langkahnya. Memutar tubuh kurus tak berdaging miliknya itu untuk menatap sang putri.     

"Maksud Davira, duduk karena sepertinya papa belum istirahat." Gadis itu melirih. Melepas perlahan genggaman tangannya dari baju sang pria. Menundukkan pandang untuk bisa mengalihkan fokus dari papanya sekarang ini.     

"Papa terlihat lelah dan payah," tukasnya mengimbuhkan. Davira kini hanya bisa berbicara asal. Mengatakan ini itu tak tentu arahnya bahkan dirinya sendiri pun tak tahu, mengapa ia mengatakan kalimat demikian?     

Pria itu tersenyum ringan. Menuruti permintaan sang putri dan duduk rapi dengan jarak sedang di sisinya. Ia menatap paras Davira, sangat cantik. Mirip dengan Diana kala ia masih muda.     

"Adam laki-laki yang baik bukan?" Papanya menyahut. Ringan nada bicara ia ucapkan untuk sang putri.     

"Semua laki-laki sama saja. Tak ada yang benar-benar baik."     

"Dia sering datang ke rumah sakit untuk menjenguk papa dan Mira." Pria itu melanjutkan kalimatnya. Singkat namun sukses membuat Davira menoleh dan memberi tatapan aneh. Terkejut dan tak percaya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.