LUDUS & PRAGMA

104. Kebohongan Yang Baik



104. Kebohongan Yang Baik

0"Adam sering datang ke rumah sakit untuk menjenguk Mira, mungkin tak tentu waktu kedatangannya. Kadang kami bertemu, kadang Adam hanya bertemu dengan Alia."     
0

Suara itu lirih masuk ke dalam lubang telinga Davira. Membuatnya terdiam sembari terus menyimak perubahan ekspresi sang papa kandung. Pria itu sedang tak berbohong sekarang ini, semua yang dikatakan olehnya adalah sebuah kejujuran yang terdengar mantap keluar dari celah bibir tipis nan pucatnya itu. Davira tak mampu banyak berkata sekarang ini, ia hanya bisa diam mendengarkan bak seorang saksi bisu yang tak kuasa untuk membuat alibi apapun.     

Jikalau benar sang kekasih sempat menyambangi Mira di rumah sakit semasa hidupnya, bukankah mengatakan bahwa Adam belum pernah melihat wajah ibu sang kekasih adalah sebuah kebohongan semata? Lantas, mengapa Adam harus berdusta sekarang ini?     

Denis Handi Putro, pria paruh baya dengan penampilan kacau dan wajah lemah nan letih itu menatap sang putri dengan penuh kerinduan. Ia ingin memeluk Davira dalam keadaan seperti ini, melepas segala beban pikiran serta luka yang ada di dalam hati dan menguapkan semua rasa khawatir yang menyelimuti di dalam diri. Ia ingin melebur bersama sang putri. Menangis dalam satu duka yang tak berbeda selepas seseorang pergi meninggalkan dirinya. Sekarang Denis paham benar bagaimana rasanya ditinggalkan oleh orang yang paling berharga di dalam hidup kita. Bukan hanya sedih dan sesak, rasanya sangat memuakkan.     

"Apa yang katakan saat dia datang?" Davira kini mulai membuka mulutnya. Menatap kedua lensa identik dengan miliknya itu.     

Denis tersenyum ringan. Mulai mengulurkan tangannya untuk mengusap pundak sang putri. Dalam diam ia ingin menangis, terisak dan meminta pengampunan pada Davira Faranisa atas apa yang dilakukan olehnya di masa lalu. Meskipun dirinya adalah orang tua, namun baginya ia tak pantas disebut sebagai orang tua yang baik. Dirinya meninggalkan sang putri bersama Diana. Memilih untuk menempuh hidup baru dengan kekasih gelap yang sedang mengandung anaknya kala itu. Ia abaikan tangisan sang putri kala itu. Tetap melangkah pergi kala Davira meneriakkan namanya dengan lantang dan pilu.     

Denis berbohong jikalau ia tak mengingat tangisan sang putri kala itu. Semuanya masih terekam jelas di dalam kepalanya. Tak akan pernah hilang dan lekang oleh usia yang semakin tua saja.     

"Dia bilang bahwa kamu yang menyuruhnya untuk datang. Kamu tidak bisa ikut karena sibuk dengan belajar dan les privat yang sedang berlangsung, jadi dia datang sendirian." Denis berucap. Menarik kembali tangannya untuk menjauh dari Davira yang masih memilih menjadi seorang pendengar baik kali ini.     

"Awalnya papa percaya itu. Namun setiap Adam datang dia selalu mengatakan hal yang sama. Jadi, papa mulai mengerti bahwa ia berbohong." Pria itu menutup kalimatnya dengan senyum tipis. Memudar begitu sang putri kembali memalingkan wajah cantiknya. Tak lagi menatap sang papa sebab dirinya malu, sangat malu. Bagainana bisa ia tak mengetahui semua ini? Bagaimana bisa Adam kembali menipunya lagi?     

"Terimakasih karena sudah menceritakannya. Juga, Davira ikut berduka cita atas kematian Tante Mira." Gadis itu bangkit dari posisinya. Sejenak melirik sang ayah yang diam mematung dalam posisi duduk sama tak berubah. Pria itu mengangguk. Seakan paham apa yang dimaksudkan sang putri dengan mengambil posisi berdiri tegap seperti sekarang ini.     

"Kamu mau pergi?" tanya Denis berbasa-basi. Jikalau boleh berkata jujur, Denis ingin menahan putrinya semalam saja. Tinggal bersamanya dalam sebuah suasana damai sedikit duka serta mengakrabkan suasana dengan Alia dan Ana.     

"Tolong panggilkan Adam, Davira ada urusan setelah ini."     

Batu dan beku! Keras tak lunak adalah pendirian Davira malam ini. Sebaik apapun papanya bertingkah kepada dirinya sekarang, tetap saja. Ia adalah orang jahat yang mengkhianati Davira di masa lampau. Memaafkan dengan mudah ... itu bukan Davira Faranisa yang sebenarnya.     

"Papa akan panggilkan."     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Davira menunggu di dalam mobil hingga Adam datang menyambangi posisinya. Remaja itu tersenyum ringan selepas menarik pintu mobil untuk masuk dan duduk di kursi kemudi. Suasana gelap sebab Davira sengaja tak menyalakan lampu kuning sebagai sumber penerangan utama di dalam mobil.     

Remaja itu menoleh. Mengusap puncak kepala sang kekasih yang kini menyandarkan tubuhnya ke belakang. Helaan napas kasar sesekali didengar oleh Adam menyela keheningan yang ada. Ia tertarik dengan arti tatapan Davira yang sedikit sayu sekarang ini. Salahkah ia pergi meninggalkan Davira dan papanya untuk bertemu dengan Alia juga Ana?     

"Ada masalah saat aku pergi?" Adam melirih. Nada bicaranya sangat hati-hati sekarang. Takut-takut kalau sang kekasih membentak atau bertambah kalut hatinya. Sebab apa? Entahlah. Adam akan segera mengetahui sekarang.     

"Kenapa kamu berbohong?" Davira menjawab. Nadanya tegas dengan volume sedang tidak membentak atau berteriak. Tak ada air mata untuk kebohongan ini, sebab meskipun itu sebuah kebohongan namun ia melakukannya pasti sebab sebuah alasan yang baik.     

Adam diam membisu. Menerka arti perubahan raut wajah sang kekasih dengan benar. Pesan singkat yang ia kirimkan pada Davina tadi siang ... Davira mengetahuinya? Sialan!     

"Soal berkunjung ke rumah sakit dan menemui Alia juga mamanya." Davira mempersingkat. Matanya berkeliling hingga tepat jatuh di atas paras tampan remaja yang kini menyalakan lampu mobil.     

"Papa menceritakan semuanya?" Adam menyahut.     

Gadi di sisinya kini mengangguk ringan. Kembali memalingkan wajahnya dan mengembuskan napasnya kasar kala ia tak kunjung mendapat jawaban pasti dari sang kekasih. Dari semua sifat buruk Adam, hanya satu yang paling Davira benci. Yaitu pembohong!     

"Aku melakukannya karena aku merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan." Adam ikut menyandarkan tubuhnya ke belakang. Menatap gerbang besar rumah keluarga tirinya dengan sayu. Membosankan, suasana seperti ini bagi Adam sangat membosankan.     

"Apa yang aku lakukan dengan Davina, pasti sebuah kesalahan yang sangat besar. Jadi aku ingin menebusnya dengan berperilaku baik atas nama kamu."     

Davira menoleh. Mengerutkan dahinya samar kala kalimat itu lolos dari celah bibir sang kekasih. "Kalau kamu tau itu salah, kenapa kamu berselingkuh?"     

"Kita adalah manusia, Davira. Kesalahan adalah bagian dari alasan mengapa kita diciptakan," papar remaja itu melirih. Apapun yang diucapkan oleh Adam, ia paham benar bahwa itu tak akan pernah membenarkan posisinya.     

"Kamu bisa bilang gitu?" tanya gadis itu memincingkan matanya tak percaya.     

"Aku sudah mengakhirinya bukan? Jadi jangan membahasnya lagi."     

"Kamu yang membuat kita membahasnya, Adam. Apakah sangat susah untuk berkata jujur padaku?" Gadis itu menyahut. Kali ini sedikit meninggikan volume bicaranya untuk memberi penegasan pada Adam bahwa remaja itu benar-benar melakukan kesalahan sekarang.     

"Kalau aku bilang, kamu akan mengijinkan?" tanya Adam terdiam kemudian.     

Davira menatapnya sayu. "Jika niat kamu baik, aku akan mengijinkan."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.