LUDUS & PRAGMA

85. Arti Dari Sebuah Luka



85. Arti Dari Sebuah Luka

0Pelukan hangat kini ia rasakan kala langkahnya terhenti dan tubuh ramping nan tingginya ditarik paksa oleh sang kekasih. Tak ada yang melihat mereka sekarang ini, jadi apapun yang dilakukan oleh Adam, Davira menginginkan itu. Gadis itu hanya diam. Meskipun dalam kepalanya kini bergelut banyak pertanyaan yang menghantui dirinya. Perihal kotak, apa isinya dan perihal sang kekasih mengapa tiba-tiba datang dan memberi pelukan padanya begini?     
0

Erat Davira rasakan, sedikit sesak sebab ia tak mampu banyak bergerak sekarang ini. Adam membatasi gerak tubuhnya. Lingkar tangan yang membelit tubuh gadis itu tak ubahnya bak ular sawah yang sedang melilit mangsanya hingga napas terakhir dirasa embusannya. Munafik jikalau ia mengatakan bahwa Davira membenci pelukan itu! Ia merindukannya. Merindukan betapa nyaman dirasa kala ia dekat dengan sang kekasih, Davira paham benar kalau ia tak pernah lagi merasakan hal seperti itu. Entah Adam yang terasa lain dan asing, atau memang dirinya yang menjadi lain dan membatasi dirinya sendiri? Entahlah. Menikmati detak jantung sang kekasih yang sedang ritmenya bersama embusan napas Adam Liandra Kin yang kuat menyapu helai demi helai rambut panjang miliknya adalah hal ingin dirasakan oleh Davira siang ini.     

"Aku merindukan kamu." Adam mulai berucap. Mempererat pelukannya seakan tak ingin sang kekasih lepas dari dalam pelukannya.     

Davira tersenyum ringan. Membalas lingkar tangan Adam yang membelit pinggangnya.     

"Aku juga," sahut Davira perlahan melepas pelukan itu. Nyaman sudah selesai, kini saatnya saling tatap dengan penuh makna dan arti yang baik terjadi di antara mereka berdua.     

Adam tersenyum. Dalam hati ia merasakan sebuah gejolak yang besar. Tatapan sang kekasih benar-benar tulus dan murni. Senyum yang melengkung di atas bibir merah muda miliknya juga terkesan sangat nyaman dan damai. Adam mencinta gadis itu. Demi apapun ia mencintainya, namun fakta tak bisa menolak bahwa ia juga menyukai Davina Fradella Putri.     

"Apa yang mau kamu berikan buat aku?" Gadis itu tersenyum. Tak pernah memudar ekspresi bahagia yang ia tunjukan untuk sang kekasih.     

Adam merogoh kantong celana panjang yang dikenakannya sekarang ini. Sejenak tangannya mengepal untuk menyembunyikan sesuatu yang baru saja ia keluarkan dari dalam kantong.     

"Tara!" Adam antusias kala menunjukkan kalung indah dengan ukir nama yang menjadi pusat perhatiannya sekarang ini. Identik dengan apa yang menjadi milik Davina.     

"Aku memesankan ini untuk kamu. Pakailah," ucap Adam memberi interuksi. Davira diam. Senyum perlahan hilang kala ia menyadari sesuatu, benarkah Adam mencintainya? Jika benar, mengapa ia memberikan benda indentik dengan milik mantan selingkuhannya? Adam sedang bergurau sekarang ini.     

"K--kenapa? Kamu gak suka?" Remaja itu kembali menyela. Ditatapnya sang kekasih dengan penuh harapan. Wajah gadisnya berubah sayu, tak mau menyambut datangnya hadiah istimewa yang dipesankan khusus untuk Davira Faranisa.     

"Kenapa harus kalung ukir?" tanyanya melirih. Adam sejenak diam. Melirik kalung yang ada di dalam genggamannya. Sesaat semua terasa hampa kala pertanyaan itu turun langsung dari mulut sang kekasih. Nada bicara Davira terdengar lain kali ini, seperti seakan-akan sedang menyimpan kecewa dengannya.     

"Aku tanya kenapa harus kalung ukir? Segitunya kamu menyukai kalung ukir dikenakan oleh gadis yang kamu sukai?" Davira kembali berkata. Tak salah jika ia bertanya seperti itu bukan? Gadis mana yang mau dibandingkan dan disamakan dengan seorang jalang kotor seperti Davina itu?     

"Kenapa kamu bilang kayak gitu? Aku memesankan ini mahal dan khusus untuk kamu. Gak ada yang sama dengan—" Adam menghentikan kalimatnya. Jeda ia lakukan kala menyadari satu hal. Bodoh! Dirinya lupa bahwa Davina juga pernah mendapatkan ini darinya.     

Gadis itu mengambil satu langkah mundur untuk menjauh. Tatapan matanya turun. Tak lagi menatap Adam yang diam sembari mencoba untuk kembali merengkuh tubuh Davira. Ia tersenyum kecut dan terkesan amat sangat dipaksakan.     

"Mahal? Aku pernah meminta benda mahal dari kamu? Aku pernah menuntut kamu untuk membelikan aku barang yang mahal dan berkelas? Aku bisa membelinya sendiri, Adam." Gadis itu mulai menggurui. Tak ingin menyombong, hanya ingin menegaskan betapa sakit dan kecewanya Davira sekarang ini.     

Adam menggelengkan kepalanya. "B--bukan gitu. Aku hanya—"     

"Aku hanya meminta kamu untuk berubah. Menjadi Adam yang hanya mencintaiku. Menjadi Adam yang hanya menyebut namaku dalam doa kamu. Aku ingin Adam yang datang berlari padaku dengan perasaan yang tulus. Aku hanya ingin seorang Adam yang tak pernah mengkhianati kepercayaanku lagi. Aku tahu ini sangat serakah, tapi aku ingin kamu tetap berdiri di pihakku. Aku memaafkan kamu dan melupakan perselingkuhan sialan itu, karena aku percaya kamu akan berubah, Adam. Apa aku salah?"     

"Maaf tapi aku gak bisa terima itu." Davira memungkaskan kalimatnya. Perlahan ia menyeka air mata yang turun dari kelopak matanya. Tak tegas, namun air mata itu cukup membuat hati Adam tersayat. Tanpa sengaja ia menyakiti dan melukai hati gadisnya, lagi!     

Davira memutar langkahnya. Tak mau lagi menatap sang kekasih sebab kalimat apapun yang akan terucap di antara mereka hanya akan menyakiti satu sama lain. Jadi, ia memilih untuk pergi.     

"Davira!" Adam mencegah. Menarik tangan gadis itu dan kembali membawanya untuk jatuh ke dalam pelukan hangat Adam. Gadis itu meronta-ronta. Ingin lepas dan membuang semua air matanya sendirian. Dirinya mengira bahwa ia sudah sembuh. Melupakan semua kesalahan Adam hanya dalam beberapa hari berlalu adalah kehebatan yang diagung-agungkan olehnya selama ini, mengabaikan fakta bahwa Adam telah mengkhianati kepercayaan yang ia berikan dan kembali berpura-pura bahwa semuanya telah kembali baik-baik saja.     

Davira salah! Waktu belum benar bisa menyembuhkan sakit yang dirasa olehnya, waktu hanya membuatnya sejenak lupa bahwa ada luka yang menganga di dalam hatinya.     

"Aku salah, aku minta maaf." Adam mengusap puncak kepala gadis yang ada di dalam dekapannya. Davira melunak. Tak lagi meremas lengan berotot milik sang kekasih, kini perlahan tangannya turun. Lemas terkulai bak seseorang yang tak mempunyai tenaga sedikitpun.     

"Aku salah, Davira. Aku meminta maaf." Remaja itu mengulang. Kini dengan nada lirih dan helaan napas tanda gusar ia sedang rasakan.     

"Aku minta maaf Davira, maafkan aku." Adam terus mengulang. Melepas kalung berukir nama sang kekasih yang kini jatuh tepat di atas tanah.     

Davira terisak lirih. Rasa itu datang lagi! Ia membenci perasaan sakit seperti ini. Pikirannya juga ikut membara entah kemana perginya. Lamat-lamat hal negatif kembali masuk ke dalam bayangannya.     

Davira bohong! Bohong tentang fakta bahwa ia melupakan semua hal yang berhubungan dengan Adam dan Davina. Semua pengkhianatan itu masih melekat jelas di dalam ingatannya.     

"Aku akan membuangnya, aku akan menggantikan benda sialan itu dengan sesuatu yang lebih baik." Adam kembali berucap. Semakin erat memeluk gadisnya yang terisak di dalam sebuah tangis pilu membiru.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.