LUDUS & PRAGMA

86. Pertandingan Tanpa Arena



86. Pertandingan Tanpa Arena

0Raffa. Remaja yang kokoh dalam diamnya. Menyendok satu persatu bakso bulat untuk masuk ke dalam mulutnya dan mengisi perutnya yang sedang keroncongan siang ini. Remaja itu duduk sendirian. Tak memojok namun memilih tempat yang sedikit lebih tenang dari jangkauan sebagian orang-orang asing yang ada di dalam kantin. Bukan pemandangan yang aneh lagi untuk siapapun yang menatapnya, Raffa selalu suka menyendiri. Bukannya tak ada teman yang ingin mendekat padanya, namun remaja itu memang sengaja menyaring siapa-siapa saja yang boleh masuk ke dalam hidupnya sekarang ini.     
0

Raffa paham bahwa tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa dipercayai olehnya, bahkan kakak tercinta sekalipun. Jujur saja Raffa tak menyangka, Adam akan mengkhianati cinta suci nan tulus yang diberikan oleh gadis itu untuknya. Rasa penyesalan mungkin ada dan menyelimuti di dalam dirinya saat ini. Seakan sang kakak telah menyia-nyiakan hal baik yang ingin didapatkan oleh dirinya sebelum ini. Fakta bahwa Raffa mencintai Davira adalah alasan mengapa remaja itu menyesal sekarang. Jikalau saja ia lebih gigih dalam memperjuangkan rasanya, mungkin saja Davira sedang bersamanya. Entah untuk membalas sang kekasih atau memang benar jatuh menjadi miliknya.     

Remaja itu kini melirik. Bakso yang ada di dalam mangkuk sudah habis. Tinggal gumpalan mie putih yang menjadi penghias di dasar mangkuk. Raffa membenci harus mengatakan ini, namun ia tak suka dengan mie putih yang ada menemani butiran bakso yang ia pesan. Raffa selalu menyisihkan itu ketika makan siang di dalam kantin. Seseorang pernah bertanya, mengapa ia tak membeli baksonya saja? Tentu harga akan lebih murah atau kalau dengan harga sama, ia akan mendapat bonus bakso pengganti mie yang tak ia pesan.     

Dalam ketegasan yang ia katakan, Raffa berucap bahwa ketika ia hanya memesan bakso akan terasa aneh dan kosong.     

--dan remaja itu membenci keanehan dan kekosongan.     

"Sudah selesai makannya?" Seseorang menyela dirinya. Sukses menarik pandangan remaja yang baru saja ingin menyeruput habis es teh manis di depannya.     

Raffa mengernyitkan dahinya kala tahu siapa yang datang dan duduk di sisinya dengan sengaja. Meskipun ia tahu Raffa begitu membencinya, namun ia selalu saja datang membujuk. Ingin akrab dan ingin berhubungan baik dengan remaja itu, begitulah alasannya.     

"Mau aku pesankan lagi? Tanpa mie," katanya membujuk. Melirik mangkuk bakso yang ada di depan Raffa. Remaja itu menyeringai. Mendorong gelas berisi seperempat teh manis dengan beberapa balok es batu kecil di dalamnya.     

"Bayar aja, aku mau pergi." Raffa menyahut. Menutup kalimat secara sepihak.     

Davina menarik pergelangan tangannya. Membuat remaja yang tadinya berdiri dan ingin melangkah pergi itu kembali terduduk dengan kasar. Sejajar posisi dengannya.     

Gadis itu menatap dengan tatapan ringan. Tak ingin banyak menaruh kebencian pada Raffa meskipun ia ingin sekali melakukannya.     

Keduanya saling tatap sejenak. Sama-sama diam bungkam untuk mencoba menyikapi situasi yang sedang terjadi saat ini.     

"Ada apa dengan Adam?" tanya Davina tiba-tiba. Raffa mengernyitkan dahinya. Samar dan perlahan matanya menyipit. Mencoba menelisik arti tatapan aneh bersama kalimat tak bersahabat yang dilontarkan padanya secara tiba-tiba.     

"Aku akan membayar semua makan kamu dan membelikan porsi bakso yang banyak, asal jawab dengan jujur, ada apa dengan Adam?!" Gadis itu mengulang. Mempertahankan ekspresi wajah yang tak bisa dikatakan bersahabat.     

"Apa maksud kakak?"     

"Dia mutusin aku!" Davina menyentak. Jikalau saja suasana kantin tak ramai, mungkin suaranya akan menggelar hebat bak petir yang menyambar. Jengkel dan dongkol sebab remaja jangkung yang berjanji akan terus berada di sisinya tiba-tiba saja mengakhiri hubungan hanya sebab Davina bertanya pasal Davira kemarin sore.     

Tak masuk akal! Itulah yang ada di dalam pemikiran Davina Fradella Putri sekarang ini. Jikalau memang benar Adam ingin mengakhiri hubungannya, setidaknya Adam harus memberi jawaban dan alasan yang membuatnya paham dan mengerti. Bukan meninggalkan pergi selepas mengakhiri hubungan secara sepihak begini.     

"Kenapa kakak tanya sama aku?" Raffa menyeringai. Menatap tajam dengan bulatan mata yang sempurna. Keduanya seakan sedang bertarung tatap sekarang ini. Sejenak diam tanpa ada suara yang menyela dalam beberapa detik berjalan.     

Davina mencoba untuk menerka arti tatap mata yang tajam bak ujung belati yang siap menikam dirinya. Raffa marah? Sialan! Seharusnya dirinya lah yang marah dan memberi tatapan semacam itu.     

"Kak Adam benar-benar memutuskan hubungan kotor kalian?" tanyanya memastikan. Davina ber-wah ringan. Ujung matanya memerah. Genangan air mata ada di dalam kelopak matanya saat ini. Bukan ingin menangis sebab sedih dirasa, namun air mata itu adalah representasi betapa marah dan emosinya ia sekarang ini. Davina tak tahu, mengapa sekarang keadaan berbalik menyerang dirinya secara tiba-tiba begini?     

"Jangan pura-pura gak tahu ... itu pasti ulah kamu 'kan?" Gadis itu menekan kalimatnya. Berbicara lirih seakan tak ingin ada yang tahu perihal topik pembicaraan mereka kali ini.     

Raffa lagi-lagi tersenyum ringan. Memalingkan wajahnya tak ingin menatap Davina dalam sepersekian detik berjalan. Remaja itu kini menghela napasnya kasar. Perlahan namun pasti, netranya kembali menusuk lensa indah milik Davina Fradella Putri. Kesalahan yang dilakukan oleh gadis itu adalah datang pada Raffardhan Mahariputra Kin untuk mempertanyakan perihal hubungannya dengan Adam Liandra Kin.     

"Kakak sudah kalah," tuturnya tertawa evil.     

Davina menghembuskan napasnya kasar. Gila! Persetanan gila remaja di depannya itu.     

"Itu benar ulah kamu?"     

"Kenapa harus melakukannya?" Raffa menyahut. Meremehkan gadis yang benar-benar berusaha untuk menahan emosi dalam dirinya sekarang ini. Ia tak ingin ada keributan. Tak ingin banyak mata yang memandang, juga tak ingin mendapatkan puluhan perhatian sekarang ini.     

"Hanya kamu yang tahu tentang perselingkuhan kita!" Tegas itu kembali membuka suaranya. Wajahnya menegang. Tatapannya kuat bersama hidung mancungnya yang mulai mengkerut. Syaraf yang ada dilehernya menegang. Menciptakan jalur yang membuat siapapun yang menatapnya akan paham bahwa Davina sedan marah saat ini.     

"Kakak yakin?"     

"Apa maksud kamu?" sahut gadis itu menyela.     

"Bagaimana dengan orang terdekat kakak? Bagaimana jika Kak Adam memutuskan hubungan itu hanya sebab bosan misalnya?" Raffa mulai memancing. Mendekatkan posisinya duduk pada gadis yang kini bungkam.     

"Coba pikirkan satu hal ini."     

Remaja itu mendekat wajahnya. Menatap intim gadis yang mulai menyipitkan matanya sekarang ini. Menunggu kalimat apa yang kiranya akan keluar dari celah bibir tipis nan sialan itu.     

"Kakak Adam bisa berselingkuh dan mengkhianati kepercayaan hanya untuk gadis sialan seperti kakak. Meninggalkan harapan baik, dan membohongi kekasih yang selalu setia dengannya. Kakak pikir, Kak Adam gak bisa melakukan itu sama kakak?" tanyanya.     

Davina menarik wajahnya. Menoleh cepat sembari tegas membulatkan matanya. "Tutup mulut kamu atau aku akan menamparnya sekarang!"     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.