LUDUS & PRAGMA

82. Kebahagian dari Sahabat Untuk Sahabat



82. Kebahagian dari Sahabat Untuk Sahabat

0Keputusan gadis itu untuk terus melangkahkan kaki ke depan menerjang apapun yang ada di depannya kian tegas. Malam ditutup dengan segudang keraguan yang ada di dalam diri. Memejamkan mata terasa sulit untuk Davira kemarin. Raganya memang ada di atas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar yang menggelap kala ia memutuskan mematikan lampu utama dan menyalakan cahaya kuning yang indah warnanya.     
0

Ia paham benar bahwa apapun keputusan dan langkah yang diambil, tak akan semua bisa berdampak baik. Akan ada konsekuensi dari setiap langkah keputusan yang dipilih oleh Davira. Entah mana yang akan lebih mendominasi, namun tak ada salahnya jikalau kita berharap bahwa semua akan terus baik-baik saja.     

Jika tak bisa lama, setidaknya Davira ingin bertahan sampai ia menemukan sejuah kepastian yang melegakan.     

"Kenapa matiin ponsel lo kemarin malam?" Suara Arka menyela langkahnya. Mengiringi sepasang kaki mungilnya untuk berjalan menyusuri lorong sekolah.     

Davira menoleh. Sejenak menyumbangkan senyum mahal yang jarang ia bagikan pada orang-orang di sekitarnya belakangan ini. Sebab sekuat apapun gadis itu menyimpan rasa sakit dan tidak nyaman yang ia rasa, tetap saja Davira adalah gadis yang lemah dan rapuh. Tersenyum dalam keadaan hati yang tak baik, sangat susah untuk dilakukannya.     

"Lo ada masalah kemarin malam?" Arka kembali menegur. Kali ini dengan membungkukkan badannya agar bisa menatap dengan benar perubahan ekspresi wajah gadis yang ada di sisinya itu.     

"Hidup gue sekalu dapat masalah, apa bedanya kali ini?" Davira berkelit. Menyeringai di bagian akhir kalimatnya.     

"Benar juga. Terus kenapa matiin ponselnya?" Remaja jangkung itu kembali mengulang. Mempertegas suara seakan ingin memberi penekanan bahwa pertanyaan yang dilontarkan olehnya wajib dijawab dengan jujur sekarang.     

"Satu alasan ... karena gue pengen sendirian," jawabnya ringan. Davira kembali menatap jauh di depan sana. Dimana kelas yang menjadi tujuannya sekarang ini berada.     

"Tapi Kayla ke luar dari rumah lo kemarin malam." Remaja itu menyahut. Membuat si sahabat menoleh cepat sembari mengernyitkan dahinya samar. Ia tak percaya kalau semua saling berhubungan seperti ini. Terlalu membosankan memang, lingkup kehidupannya hanya sebatas Adam sang kekasih, Arka si sahabat baik, Rena si sahabat baru, dan gadis sialan Davina juga Kayla Jovanka. Tak ada yang lain, tak ada yang menarik sebab permasalahan hanya berada di dalam lingkar orang-orang yang sama.     

"Hei! Kenapa jadi tegang kayak gitu!" Arka sigap merangkul sang sahabat. Meletakkan lengan berotot miliknya untuk merengkuh tengkuk leher lawan bicaranya itu.     

Davira menghela napasnya kasar. "Lo berbicara sama dia setelah itu?" tanyanya berbasa-basi.     

"Harusnya, tapi dia pergi setelah satu kalimat tanya terucap dari mulut gue."     

Arka menghentikan kalimatnya. Sejenak ia menatap Davira yang meletakkan banyak harapan untuk Arka berkata jujur pagi ini. Banyak yang salah dan berselisih di sini. Tak seperti dulu yang berjanji untuk saling terbuka, semuanya kini terasa lain dan asing. Entah rahasia macam apa yang disimpan sahabatnya sekarang ini. Dalam dia, Davira yakin bahwa tak semua kalimat yang diucapkan oleh Arka itu benar adanya. Pasti ada setitik kedustaan untuk menutupi sesuatu yang belum saatnya Davira tahu.     

"Gue tanya kenapa dia bisa keluar dari rumah lo?" Arka memutar tatapannya. Menatap sang sahabat yang masih bungkam bak seorang artis papan atas yang dicecar dengan ribuan pertanyaan gila terkait permasalahan yang sedang dihadapinya.     

"Dia jawab apa?"     

"Dia pergi gitu aja. Karena sikapnya aneh, jadi gue mengurungkan niat untuk mampir ke rumah lo kemarin malam." Arka mengimbuhkan. Tersenyum aneh kemudian kembali memalingkan wajahnya untuk menatap jauh ke depan.     

Davira melepas rangkulan sang sahabat perlahan. Tak ingin banyak yang melihat dan menumbuhkan berita bohong nantinya. Meskipun semua tau bahwa mereka hanya bersahabat saja, namun tetap saja tak ada yang bisa menjamin sampai mana mulut seseorang akan pergi.     

"Arka boleh gue tanya sesuatu?" Davira menginterupsi. Menarik tatapan remaja setara usia dengannya itu.     

Tatapan mata Davina, Arka mengenal baik. Gadis itu sedang menyimpan banyak tanda tanya di dalam kepalanya. Perihal apa? Arka akan segera mengetahuinya selepas ini.     

"Kenapa lo mendatangi Kayla dan meminta bantuan padanya? Bukankah lebih baik lo mengatakan itu sendiri sama gue?"     

Remaja jangkung itu menghentikan langkah kaki miliknya. Diikuti dengan Davira yang mengikuti aktivitas serupa. Keduanya terdiam sejenak. Saling melempar tatapan seakan rasa aneh mulai menyelimuti dalam hati mereka masing-masing.     

Baik Davira maupun Arka, semuanya sama-sama paham bahwa keadaan tak lagi sama. Davira juga Arka sudah tumbuh menjadi remaja sekarang ini. Bukan lagi 'bocah' yang bisa merengek kalau hatinya sedang gundah. Bukan lagi anak kecil yang pandai merajuk kalau keinginan tak segera dikabulkan. Mereka adalah manusia yang sudah bisa memutuskan segalanya sendiri. Memulai membuat pilihan terbaik untuk berjalan maju menemui masa depan. Ego akan berkembang, seiring dengan jiwa yang semakin matang.     

"Kalau gue mengatakan sendiri, lo akan memeriksa?" Arka berkelit. Ditatapnya Davira dengan penuh pengharapan.     

"Hm. Gue pasti memeriksa." Gadis itu menjawab. Sebuah kalimat yang sukses menghentikan segala gerak mata remaja jangkung yang ada di depannya. Arka menatapnya dengan teduh, sedangkan Davira memalingkan wajah selepas jawaban itu terlontar keluar dari celah bibir merah delima miliknya. Arka tak percaya bahwa gadis itu akan menjawab demikian.     

Semua kalimat itu ... benarkah Davira Faranisa mulai benar-benar ingin berpaling dari Adam?     

"Tak ada salahnya memeriksa. Apalagi lo yang bilang begitu. Gimana pun jauhnya hubungan kita sekarang, kita adalah sahabat kecil. Lo gak akan menjerumuskannya gue hanya karena perasaan sialan itu 'kan?" paparnya melirik dada bidang milik Arka Aditya. Membuat remaja yang tadinya diam kini tegas merekahkan senyum di atas paras tampannya.     

Arka meraih tubuh Davira. Kembali menariknya untuk berjalan beriringan dengannya. Meskipun terkadang mereka tampak asing dan lain dengan cara pemikiran yang tak sama, namun tetap saja Davira adalah sahabat untuk Arka, begitu juga sebaliknya. Berubah bukan pasal keinginan dalam diri terkadang, namun perubahan ada untuk membuat kita menjadi lain adalah konsekuensi dari situasi yang sedang kita hadapi sebelumnya.     

"Davina!" Davira menyela kebahagiaan milik Arka. Menoleh pada gadis yang baru saja ingin keluar dari dalam kelasnya.     

Tatapan Arka tercuri pada gadis yang ada di depannya sekarang ini, begitu juga Davira yang sengaja menghentikan langkah kaki milik Davina Fradella Putri.     

"Kalung lo hilang? Kenapa gak pakai itu lagi?" tanya Davira tak ingin berbasa-basi.     

Arka melirik leher gadis yang ada di depannya. Sejenak memandang tatapan lain yang diberikan Davira untuk lawan bicaranya kali ini. Gadis itu tersenyum ringan, sedikit licik dan menyebalkan.     

"Sejak kapan lo jadi peduli dengan kalung gue?"     

Davira berjalan mendekat. "Gue mau membelinya."     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.