LUDUS & PRAGMA

53. Kepercayaan



53. Kepercayaan

0"Semua orang gak akan bisa melakukan itu, Davira."     
0

Gadis itu diam. Masih dengan tatapan sayu tak mengerti maksud kalimat singkat yang baru saja terlontar keluar dari celah bibir milik Rena.     

"Tapi keadaan yang bisa melakukan itu." Ia menutup kalimat. Tersenyum ringan pada Davira sembari menepuk ringan pundak gadis yang masih kokoh dalam diamnya. Kini Davira mengerti apa yang ingin disampaikan Rena padanya, bahwa semua yang akan terjadi di masa depan tak ada yang bisa memprediksinya. Hari ini mungkin Davira menyatakan bahwa perasaannya pada Adam akan tetap kokoh. Tak akan pernah goyah apalagi runtuh dan hancur lebur. Davira dengan tegas mengatakan bahwa ia ingin mempercayai kekasihnya sekarang, namun kembali lagi pada semesta yang suka melucu dengan lelucon sialannya. Tak ada yang tahu, besok akan terjadi apa antara dirinya dan Adam bukan?     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Bel berdering setengah jam berlalu. Menyentak seluruh penghuni kelas untuk menyudahi aktivitas belajar mereka hari ini. Langkah kaki gadis berambut panjang dengan ujung ikal itu semakin tegas membelah bayu yang berembus. Seakan tak ingin kembali dan mengingat momen yang terjadi padanya dan Rena beberapa jam lalu. Gadis itu hampir saja goyah. Ingin mendatangi Adam dan bertanya untuk memastikan. Namun, niatnya hilang begitu saja. Selagi Davira mampu memendam, maka ia akan memendamnya.     

"Kenapa gadis cantik jalan sendiri begini?" Sukses sebuah suara bariton menyela langkahnya. Membuat gadis itu menoleh dan memberi tatapan pada remaja yang baru saja datang mengekori langkahnya.     

"Kamu ngapain di sini?" tanya Davira menghentikan langkahnya. Melirik jam tangannya untuk memastikan bahwa ini bukan waktu Adam selesai berlatih. Masih ada satu putaran jarum jam sebelum senja menutup hari. Jadi kedatangan Adam di dekat halte bus benar-benar membuat Davira terkejut.     

Adam meraih jari jemari sang kekasih. Menggenggamnya erat kemudian kembali menarik langkah Davira untuk berjalan bersamanya menyusuri sore hingga tepat sampai ke dalam bangunan halte bus yang mulai terekam jelas oleh sepasang lensa milik Adam.     

"Nemenin pacar aku pulang." Remaja itu menjawab pada akhirnya. Sejenak melirik Davira yang tersenyum ringan.     

"Gimana sama latihan kamu?" Davira kembali menyela.     

"Masih ingat dulu aku pernah kabur hanya untuk mengikuti kamu jalan ke halte bus? Itu pertama kalinya kamu bersikap lunak sama aku. Memberikan minuman dan—"     

"Jangan bilang kamu sedang melakukan hal yang sama?" Davira memotong kalimatnya. Sedikit menggunakan nada protes untuk aksi tiba-tiba sang kekasih.     

Adam menganggukkan kepala. "Kalau aku ijin ke tim untuk menghantar kamu pulang, pasti mereka akan marah. Jadi aku hanya bisa ijin ke toilet untuk nganter kamu ke halte bus," ungkapnya menjelaskan dengan jujur. Tak memberi sedikitpun dusta di dalam kalimatnya.     

Gadis yang mendengar itu hanya tersenyum geli. Sejenak mendongakkan pandangannya untuk bisa menatap paras tampan sang kekasih. Davira menyukai Adam jikalau sudah memakai seragam basket seperti ini. Terlihat begitu keren dan memukau.     

"Tumben mau anterin aku."     

Adam menoleh. "Kamu gak suka?"     

"Tentu aku suka. Sangat suka!" ucap Davira antusias. Memindah tangannya untuk merangkul lengan berotot milik Adam. Mengintimkan lagi jarak di antara keduanya agar tak bersela juga tak berjeda seperti sebelumnya.     

Kin." Davira memanggil Adam lirih. Masih dalam fokusnya yang dipanggil hanya mengerang ringan sembari mengangguk ringan.     

"Soal Larisa—"     

"Dia hamil?" Adam menyela tiba-tiba. Davira menoleh cepat kala kata hamil terdengar di telinganya. Tak menyangka bahwa Adam sudah mengetahui pasal itu.     

"Tau dari ma—"     

"Arka." Lagi-lagi Adam menyela. Davira kini sedikit memutar tatapan matanya. Memalingkan wajah menatap lurus ke depan.     

"Kenapa gak bilang kalau Arka cerita soal Larisa?" tutur Davira dengan nada lembut. Mencoba untuk mengorek informasi sedalam-dalamnya. Ia hanya ingin tahu, seberapa banyak dan seberapa dalamkah sang kekasih tahu mengenai masalah sedang dihadapinya sekarang ini?     

"Kenapa gak cerita soal Larisa?" Adam kembali bertanya untuk memutar balikkan kalimat. Davira hanya diam sejenak. Menghela napasnya ringan kemudian tersenyum kecut. Jujur saja, ia belum bisa benar menyesuaikan diri dengan keadaan barunya. Mendapati Larisa sudah kembali dari negara perantauan dalam keadaan yang tak bisa dibilang baik-baik saja sukses membuat hati Davira benar-benar kacau dan kalut. Belum lagi, masalah berita miring yang menimpa hubungannya dengan sang kekasih.     

"Karena aku gak mau kamu kepikiran. Beberapa hari lagi kamu ada tanding basket." Davira beralasan. Selain itu, Davira juga masih belum ingin berbagi cerita dengan Adam perihal Larisa. Dalam pendiriannya, masalah Davira adalah adalah miliknya. Meskipun terkadang masalah Adam juga menjadi masalah Davira.     

"I'm sorry," pekik Davira menambahkan. Sukses membuat Adam menoleh dan menghentikan langkahnya sejenak. Memutar tubuh untuk menatap sang kekasih yang hanya setinggi dadanya saja.     

"Lain kali, cerita apa pun itu. Mendengar kabar tentang kamu dari orang lain itu sangat menyakitkan dan mengecewakan. Karena aku adalah pacar kamu." Adam memberi pengertian. Ditatapnya Davira dengan penuh pengharapan. Berharap bahwa gadis di depannya itu mau mengerti dan memahami apa yang dirasakannya sekarang ini.     

Adam membenci Arka. Akan tetapi, remaja itu lebih membenci fakta bahwa peristiwa yang sedang terjadi pada sang kekasih ia dengar melalui mulut remaja sialan itu.     

"Kamu sendiri ... kamu gak pernah cerita masalah kamu belakang ini." Davira menyahut.     

Remaja jangkung yang ada di depannya tersenyum ringan. Mengusap puncak kepala gadis yang ada di depannya saat ini. "Karena aku sedang tak berada dalam masalah apapun, Davira. Semuanya baik-baik saja."     

Davira bungkam. Benarkah itu? Entah mengapa ia berharap Adam menyingung pasal kabar buruk yang didengar olehnya belakangan ini. Perihal perselingkuhan yang dilakukan olehnya.     

"Karena apa? Karena kamu ada di sampingku. Itu sudah cukup," ucap Adam menutup kalimatnya. Hanya mendapat senyum manis dari Davira kali ini. Gadis itu tak mau banyak berkomentar sekarang.     

Sebab apa?     

Kalian tahu meskipun terkadang pasangan adalah tempat, orang, juga sesuatu hal yang paling nyaman diposisikan sebagai alasan kita untuk bercerita, menangis, juga tertawa, namun dalam satu waktu dialah yang menjadi alasan kita untuk menyembunyikan segala cerita, tangis, tetapi bukan tawa. Alasannya cukup sederhana yaitu hanyalah terkadang masalah kita adalah milik kita. Sebab keputusan kitalah masalah itu ada. Dalam alasan lain yang tak pernah orang sadari adalah karena kita sudah tak mempercayai pasangan kita. Entah untuk hal terkecil tentang kita ataupun hal paling besar yang mampu mengubah hidup kita. Dalam pembelaan seseorang yang tidak mempercayai pasangannya adalah satu kalimat yang sangat sederhana 'sebab aku tak mau membebani dirimu'. Lucunya aku berada dalam dua posisi, yaitu aku yang tak mempercayai pasanganku atau aku yang menganggap masalahku adalah milikku sendiri. Sebab, aku mulai ragu. Entah karena apa. Hanya semesta yang bisa bernegosiasi dengan hatiku. Sebab aku pun, enggan melakukannya lagi."     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.