LUDUS & PRAGMA

54. Terluka Sebabmu



54. Terluka Sebabmu

0°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     
0

Tak ada yang tahu semesta akan memberi kejutan apa padamu. Kau hanya cukup bertepuk tangan sembari tersenyum bahagia jika kejutan itu menyenangkan. Namun jika itu sebuah kejutan yang menyedihkan, menangis lah juga kau boleh marah sembari mengutuk semesta.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Kayla membacakan kalimat panjang yang ia baca beberapa hari lalu. Davira yang mendengarkan hanya diam sembari tersenyum seringai. Sorot matanya sesekali melihat keluar jendela kafe untuk melihat awan mendung yang datang bersama rintik hujan yang baru saja mengalahkan teriknya sinar Sang Surya.     

Selepas berpisah dengan Adam, Davira tak benar pulang. Gadis itu datang untuk memenuhi panggilan Kayla Jovanka. Dalam sebuah pesan singkat, gadis sialan satu ini memintanya untuk datang dan bercengkrama ringan dengannya. Tak membicarakan hal yang berat, hanya sekadar basa-basi untuk menghilangkan jenuh yang dirasa oleh keduanya.     

Bak tersambar petir di siang bolong, Davira memenuhi panggilan dari Kayla Jovanka. Tak memberi tahu sang kekasih juga si sahabat baiknya Arka Aditya dan Rena Rahmawati.     

"Minum keburu dingin. Gue sengaja beliin cokelat panas. Katanya itu bisa menenangkan perasaan." Kayla menyela. Selepas sukses menutup novel yang baru saja dibacakan untuk Davira, gadis bermata kucing itu kini memberikan seluruh fokus lensanya untuk menyambut kebaikan hati dan kelonggaran sabar yang diberikan Davira untuknya sore ini.     

"Katakan apa mau lo?" Davira menjawab dengan nada sinis. Ia tak mau berbasa-basi sekarang ini. Hanya ingin datang dan mendengar apa kiranya yang membuat Kayla memanggil dan mengirimi dirinya spam pesan.     

"Gue bilang kalau gue cuma mau berbicara ringan sama lo gak ada sangkut pautnya sama Adam dan selingkuh —"     

"Soal gelang itu," papar Davira menyela. Kini sukses membuat Kayla tegas menyipitkan matanya.     

"Lo mau datang dan ketemu gue cuma karena ingin membicarakan soal gelang?" Kayla berucap kala Davira menatapnya penuh kemalasan.     

"Lo tau?"     

Kayla mengangguk. "Hampir semuanya."     

Davira diam sejenak. Menghela napasnya kala kalimat pengakuan dari Kayla seakan memberi harapan untuk dirinya saat ini.     

"Kalau lo tau, kenapa memberi teka-teki seperti ini. Katakan saja yang sebenarnya. Itu akan membuat lo untung 'kan?" Davira kembali berucap. Menatap malas gadis yang baru saja membuang tatapannya jauh ke luar jendela kafe. Samar lensa pekat milik Davira menangkap senyum seringai milik Kayla. Bukannya puas, senyum itu seakan menunjukkan bahwa ia benar-benar muak sekarang ini.     

"Gue bilang hampir semuanya. Bukan semuanya," tutur Kayla dengan nada malas. Menarik segelas es susu yang dipesannya beberapa waktu lalu.     

"Hampir?"     

"Lo pasti mau datang ke gue karena mau tanya tentang gelang yang dipakai Davina 'kan? Coba kita tebak, lo sedang 'memastikan' ?" ucap Kayla memberi penekanan pada bagian akhir kalimatnya.     

Davira menghela nafasnya. "Gue cuma mau tanya."     

Gadis di depannya menyeringai samar. Ikut membuang pandangannya jauh ke luar jendela.     

"Bukan itu 'kan?" tanya Davira tiba-tiba. Keduanya kini saling menatap. Saling diam kemudian. Hening terasa sebelum akhirnya suara derasnya hujan menyela di antara keheningan itu.     

"Hm. Itu gelangnya," jawab Kayla lirih.     

Selanjutnya? Tentu Davira merasakan sesak di dadanya. Seperti ribuan panah mencoba masuk dan menembus jantungnya. Hatinya seakan dikoyak dengan hebat. Entah bagaimana ia harus mendeskripsikan perasaannya saat ini. Kalimat terakhir yang ia dengar di sela-sela derasnya suara hujan itu terdengar begitu menakutkan. Lebih menakutkan dari sambaran guntur yang memekik di telinganya saat ini.     

"Gelang kek gitu banyak, Ra. Lo gak boleh nuduh Adam hanya karena itu," sambung gadis di depannya.     

"Gue bilang itu bukan karena mau bikin lo tenang. Tapi, bocah banget kalau lo nuduh Adam selingkuh cuma karena gelang murahan," ucapnya menutup kalimat. Gadis di depannya tersenyum. Bukan senyum seringai tanda kepuasaan setelah berhasil menjatuhkan, namun sebuah senyum yang mengisyaratkan betapa menyedihkannya keadaan Davira sekarang ini.     

"Kalau lo mau 'memastikan', mulai dari orang terdekatnya." Kayla kali ini benar-benar beranjak. Menepuk pundak gadis sebaya dengannya lalu berlalu meninggalkan Davira yang masih terduduk kaku di tempatnya.     

Bagi Davira, yang menyakitkan bukanlah tentang Adam yang memberi temannya itu gelang murah yang ia beli di pinggir jalan. Namun, rasanya yang ada dalam dirinya lah yang begitu menyiksanya hingga rasanya sulit untuk mengatakan bahwa itu benar-benar menyakitkan.     

Dalam diam, pikirannya tak karuan kemana perginya. Raganya masih di sana, hatinya masih berada pada tempatnya, dadanya sesak terasa. Hujan senja ini, di saat kepergian Adam menjemput kemenangan ia diberi kejutan oleh semesta. Bahwa yang paling ia percayai mungkin berpotensi besar untuk menghancurkan kepercayaan itu.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

--Flashback on--     

Bel sekolah kini nyaring berbunyi. Terik mentari sedang ganasnya seakan ingin membakar bumi dan seluruh isinya. Siang ini, tidak ada Adam yang bisa ia ajak mengantri di kantin. Untuk itu, Davira memutuskan untuk pergi ke perpustakaan saja. Sembari menghibur dirinya juga me-refresh-kan otaknya setelah dipaksa bekerja keras untuk menghitung angka dan menentukan rumus kimia mana yang tepat untuk menyelesaikan semua soal yang sialnya dilimpahkan semua padanya.     

"Gue lihat lo ngobrol sama Arka." Seseorang menyela Davira. Membuat gadis itu menoleh dan mengerang ringan sebelum akhirnya menghentikan aktivitasnya menelisik jajaran novel yang ada di dalam rak.     

"Gue membicarakan sahabat SMP yang lagi sakit." Davira beralasan. Gadis di sampingnya hanya mengangguk ringan.     

"Ra?"     

Davira menoleh kala suara gadis di sisinya memanggil namanya lembut. Sekilas sorot keduanya bertemu sebelum akhirnya fokus Davira terhenti pada benda kecil yang melingkar apik di pergelangan tangan gadis berambut panjang itu.     

"Sejak kapan lo jadi suka pakek gelang begituan?" Davira bertanya tanpa mau mengubah sorot matanya. Gadis di sisinya ikut menunduk. Melihat apa yang sedang mencuri perhatian teman sekelasnya itu.     

"Sejak jam tangan gue rusak. Aneh rasanya kalau tangan gue kosongan gak pakek apa-apa," jawabnya menjelaskan.     

Davira mendongak menatapnya tanpa berucap apapun.     

"Sejak kemarin," sambungnya di akhir penjelasan. Davira menyipitkan matanya. Gadis itu teringat tentang Kayla-mantan teman dekat Adam yang mengiranya merebut Adam dan segala rasa yang dimiliki Adam untuk Kayla. Kayla pernah mengatakan sesuatu tentang Adam. Tentang gelang merah muda yang dibeli remaja jangkung itu setelah melepas penat di akhir senja. Gelang itu sekarang ada di depan matanya. Mungkin tak sama, tapi mereka berdua begitu identik.     

"Lo beli sendiri?" Davira kembali bertanya.     

Gadis di depannya menggeleng. "Oleh-olehnya sepupu gue dari Bogor."     

"Kenapa? Lo mau juga?"     

Davira mendongak. Menatap Davina dengan penuh kecurigaan. Entah mengapa, hanya pasal gelang yang harganya tak seberapa mampu membuat kepercayaan yang Davira jual pada Adam dengan harga mahal mulai goyah sekarang.     

"Davira?!" sentak Davina kala gadis di depannya tiba-tiba terdiam sembari menatapnya dengan tatapan aneh.     

"Huh? Oh enggak. Cuma aneh aja liat lo pakek gelang begituan." Davira kembali beralasan sembari tersenyum canggung.     

Adam. Benarkah itu pemberian Adam seperti yang dikatakan Kayla?     

Davira menarik nafasnya dalam-dalam. Tidak, ia tidak boleh percaya begitu saja. Gelang seperti itu bukan gelang ber-merk yang hanya ada satu di dunia. Banyak, sangat banyak. Benar 'kan?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.