LUDUS & PRAGMA

55. Awal Kehancuran.



55. Awal Kehancuran.

0-Hari keberangkatan untuk Adam Liandra Kin-     
0

Davira menatap Adam penuh kehangatan. Sesekali tangannya lembut mengusap bahu remaja yang jauh lebih tinggi darinya itu. Hari ini, Adam akan berperang untuk menjemput kemenangan dan pulang membawa kabar gembira untuknya.     

"Hati-hati pokoknya." Davira berucap lirih. Adam hanya mengangguk sembari tersenyum manis. Membalas sentuhan lembut Davira sembari mengacak perlahan rambut pekat gadisnya itu.     

"Kamu mau oleh-oleh apa?" tanya Adam bertanya dengan nada lembut. Saling tatapan dalam diam sejenak membentang di antara keduanya. Adam menunggu sang kekasih untuk memberi jawaban pasti. Apapun yang diinginkan Davira untuk pulangnya nanti selepas lelah berperang, akan Adam turuti. Asalkan permintaan itu wajar.     

Davira menggeleng. " Yang penting jangan nakal. Jangan banyak tingkah. Jangan seling-" Gadis itu menghentikan kalimatnya. Terdiam sejenak lalu melanjutkan setelah mendapat kalimat perumpamaan yang lebih halus dari pada kata selingkuh. "Jangan melirik ke arah cewek Bandung!" kekeh Davira kemudian.     

Adam ikut tertawa. "Aku cuma pergi satu hari. Besok sore pulang," jelasnya sembari mencubit pipi tirus Davira.     

"Gimana sama Larisa?"     

Davira kini sedikit mendongak kala bibir Adam mengucapkan satu nama yang sudah tak asing lagi untuknya. Gadis bertubuh semampai itu tersenyum sembari menggeleng ringan. Ia ingat setelah kembali dari rumah sakit kemarin, sesampainya di rumah ia langsung menghubungi Adam. Davira belum benar meminta maaf pasal perginya secara tiba-tiba tanpa memikirkan perasaan kekasih hatinya itu.     

"Habis kamu tanding aku ceritain," kata Davira pelan. Adam hanya mengangguk. Setuju dengan rencana baik yang sudah disusun oleh Davira selepas dirinya kembali nanti. Tak banyak yang diinginkan Davira untuk hari ini, bahkan kemenangan untuk Adam dan timnya pun Davira tak memperdulikannya. Yang ingin dirinya lakukan dan dengar selepas Adam pulang nanti, hanya sebuah kejujuran.     

Ya! Davira memutuskan untuk menanyakan segala kejanggalan yang ada pada dirinya saat ini. Beberapa hari ia merenung. Mencoba menyembunyikan kegelisahan yang sukses menganggu malamnya. Menguras pikiran dan perasaan perihal apa yang dikatakan oleh Kayla juga perihal benda sialan yang melingkar di pergelangan tangan Davina.     

Ia hanya ingin Adam berkata jujur, apapun itu yang terpenting adalah sebuah kejujuran untuk melegakan hatinya.     

"Aku ke lapangan dulu. Kamu mau ikut?" sela Adam kala gadis yang ada di depannya hanya diam. Tak banyak berkata cukup mengusap lembut kedua lengan berotot milik Adam Liandra Kin, seakan sedang memberi penyemangat sekaligus juga salam perpisahan.     

Davira terdiam. Mengatupkan bibir merah mudanya lalu menggeleng ragu. "Aku harus ke kelas. Ada pelajaran kimia habis ini. Kalau telat aku bisa ma—"     

"Kita mati bareng kalau gitu," celetuk Adam kembali mengacak-acak rambut Davira.     

"Semangat Kapten Kin." Davira menutup kalimatnya. Yang diberi semangat hanya mengangguk sembari tersenyum simpul kemudian berlalu meninggalkan Davira di sana.     

Gadis itu tak goyah dari posisi berdirinya. Kali ini tubuh semampai miliknya ia sandarkan di dinding dekat pintu kayu ruang basket. Davira sedang menunggu seseorang untuk keluar dan menyapanya.     

"Oh my gosh~" Remaja berbaju identik dengan Adam yang baru saja meninggalkan Davira sedikit terkejut dengan keberadaan gadis berponi tengah yang jatuh tepat di atas sepasang alis cokelat tua melengkungnya.     

"Lo kebangetan banget sih, Ra!" Arka sedikit membentak kala Davira hanya diam sembari terkekeh kecil.     

"Adam udah pergi?" tanya remaja itu ketika Davira hanya diam tanpa berucap sepatah katapun.     

"Terus ngapain lo masih di sini?" Ia mengimbuhkan.     

"Nunggu lo keluar." Davira menyahut. Tangannya perlahan terlipat rapi di depan perut datarnya. Kedua lensa pekatnya sekarang fokus menatap remaja yang kiranya setinggi dengan Adam itu.     

"Buat lo," lanjutnya menyodorkan kotak kecil berwarna kuning pucat.     

"Ini a-"     

"Vitamin C. Buat lo." Davira kembali menyahut. Remaja di depannya hanya diam sembari melipat keningnya samar. Tak mengerti dengan Davira yang tiba-tiba bersikap begini padanya.     

"Jadi gini ...." Davira menghentikan sejenak kalimatnya.     

"Gue butuh bantuan lo," lanjutnya kemudian. Sukses membuat Arka memincingkan matanya tegas. Remaja itu terdiam sejenak. Mengangkat satu sisi alis hitamnya. Bantuan? Dalam keadaan seperti sekarang ini?     

"Soal Adam."     

Kedua kini saling menatap dalam diam. Hening membentang kemudian. Entah harus ia terima atau tidak permintaan tolong itu. Bagi Arka hati Davira adalah sebuah besi, bukan baja. Sekuat apapun besi itu, kala ditempa dan dipanaskan dengan suhu tinggi, pasti akan berubah bentuk juga. Entah itu hancur lebur atau menjadi sesuatu yang baru. Itu bergantung pada si pandai besi.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Davira berjalan ringan. Menatap lurus ke depan lorong sekolah yang akan menghantar dirinya masuk ke dalam laboratorium kimia. Suasana lorong sepi, tak seramai kalau istirahat datang menyapa dengan bel panjang yang menjadi ciri khasnya.     

"Adam udah berangkat?" Seseorang menyela dirinya. Menghentikan langkah kaki milik Davira yang baru saja ingin berbelok di sisi lorong.     

Gadis itu tersenyum ringan. Berjalan mengarah pada Davira yang baru saja melemparkan senyum manis sebagai balasan. "Hm. Baru aja."     

"Nanti malam mau pergi ke kafe bareng gue. Kita lama gak nongkrong bareng 'kan?" Davira mengimbuhkan. Kembali berjalan beriringan dengan langkah kaki gadis cantik setara tinggi dengannya itu.     

"Boleh juga. Gue lupa kapan terakhir kita nongkrong bareng." Ia menimpali. Masih dengan senyum ramah yang menawan kalau dilihat dengan benar.     

Davira menundukkan arah pandangannya. Menatap pergelangan tangan Davina yang tak lagi memakai gelang yang dilihatnya beberapa waktu lalu. Gadis itu menyingkirkannya. Seakan tak ingin banyak orang yang mengetahui bahwa gelang itu bukan benar dari saudara jauhnya.     

Tunggu! Mengapa Davira bisa berpikiran sejahat itu? Ia bahkan belum memastikan dengan benar. Seharusnya, ia tak menuduh dan bersikap egois seperti itu bukan? Perkataan Kayla tak mampu menjadi bukti kuat untuk mengatakan bahwa Adam berselingkuh dengan Davina.     

"Gelang lo ... ke mana?" Davira bertanya. Kembali menatap gadis yang menoleh ke arahnya.     

Ia terdiam. Sejenak mengunci rapat bibirnya sebab pertanyaan dari Davira tergolong aneh dan tiba-tiba. Selama bertahun-tahun pertemanannya dengan Davira, gadis itu tak pernah mau memperhatikan apa yang dipakai dan apa yang sedang ada di atas fisik Davina Fradella Putri. Namun sekarang, ia tertarik hanya karena gelang murahan yang dalam tebakan Davina, Davira pasti bisa membeli berpuluh-puluh gelang semacam ini dengan uang sakunya.     

"Ada di kantong gue," ucapnya dengan nada ringan.     

"Kenapa gak lo pakai?"     

Davina kini menghela napasnya ringan. "Karena jam tangan gue udah bener." Ia mengangkat tangannya. Menunjukkan lingkar jam kecil yang ada di atas pergelangan tangannya.     

"Jadi gue gak perlu pakai lagi." Davina mengimbuhkan. Beralasan untuk segera menutup kalimat obrolan mereka berdua saat ini.     

"Kalau gitu buat aja. Gue suka sama gelangnya," tutur Davira memohon. Menatap gadis yang kini menghentikan langkahnya dan mengubah ekspresi wajahnya kaku.     

"Please," imbuhnya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.