LUDUS & PRAGMA

56. Malam Menyakitkan



56. Malam Menyakitkan

0°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     
0

Teruntuk orang yang paling dicintai.     

Bisakah aku memberi pertanyaan "Bagaimana jika aku mulai meragukanmu?" Jika bisa, pantaskah?     

-Davira Faranisa-     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Senja menyerahkan tugasnya pada malam. Langit biru tua sudah apik melukiskan bulatnya bulan dan bersinarnya bintang. Sebuah tempat dengan gaya outdoor modern berhias gemerlapnya sinar kuning lampu taman dan alunan musik barat yang merdu didengar oleh telinga menjadi pilihan Davira untuk bertemu dengan teman sekelasnya—Davina— dengan alasan hanya sekadar berbicara melepas sepi dan mengambil beberapa tugas yang dipinjam oleh Davina minggu lalu. Tak butuh waktu lama bagi Davira untuk menunggu kedatangan teman dekatnya itu. Toh juga, Davina memang bukan tipe orang yang akan mengulur waktu kedatangan dengan pembelaan bahwa jalanan sedang padat-padatnya dijam begini.     

"Lo udah pesan?" ucap Davina sembari menarik kursi kayu untuknya duduk.     

Davira hanya menganggukkan-anggukkan kepalanya sembari tersenyum simpul. Davina ikut tersenyum. Kemudian melambaikan tangannya ringan untuk memberi isyarat pada pelayan kafe agar datang padanya.     

"Btw, ini tugas punya lo. Makasih banget, Dav. Gue jadi bisa ngerjain bener kali ini," celetuknya sembari menyodorkan buku kecil dengan sampul bening beridentitas pemilik atas nama Davira.     

"Milk shake satu sama kentang goreng mayo-nya satu," sela Davina ketika seorang pelayan datang dan berhenti tepat di sisinya sembari menyodorkan secarik kertas dan pena hitam di depannya.     

"Ditunggu ya kak."     

Davina mengangguk. Tatapannya kembali fokus pada gadis berparas ayu yang jauh lebih ayu darinya. Ia tersenyum sembari melipat tangannya rapi di atas meja. Siapa sangka gadis kecil berkuncir kuda yang amat pendiam kala duduk di bangku sekolah dasar itu sekarang tumbuh menjadi gadis berparas cantik dengan senyum yang begitu menawan. Gadis yang sama yang Davina kenal sejak pertama kali datang sebagai murid baru di Sekolah Menengah Atas Amerta Bintari. Hingga Davina terkadang lupa bahwa Davira adalah temannya itu adalah gadis berhati dingin yang tak pernah mau tertarik dengan laki-laki.     

"Adam gimana?" Davina membuka percakapan. Davira hanya terdiam. Menaikkan satu sisi bahunya sembari menggeleng ringan. Dari sekian banyak obrolan yang bisa mereka perbincangkan kali ini, mengapa harus bertanya pasal Adam?     

"Gak ada kabar gitu?" lanjut gadis berambut sedikit ikal yang terurai jatuh tepat di atas pinggang rapinya itu.     

"Davina," sahut Davira kemudian. Sejenak terdiam sembari berpikir matang. Soal gelang, haruskah ia bertanya?     

"Soal gelang ...." lagi-lagi Davira terdiam. Menjeda kalimat kala perawakan tubuh asing datang menyela mendekat ke arahnya.     

"Ini kak pesannya, selamat menikmati." Keduanya menoleh bersamaan. Kala dua pelayan datang untuk menghantarkan pesanan mereka secara bersamaan. Davira maupun Davina hanya tersenyum sembari mengangguk jelas. Membiarkan dua perempuan yang kiranya lebih tua dari mereka pergi begitu saja.     

"Gelang?" Davina mengulangi. Gadis di depannya mengangguk ragu. Bibirnya sedikit terbuka seakan-akan menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan hal bodoh yang sedang ada dalam kelapanya.     

"Gue mau satu. Yang biru muda," sahut Davira sembari tersenyum. Bodoh. Gila. Tak tahu diri. Mungkin itu yang akan Davira katakan pada dirinya sendiri kalau-kalau ia jadi menyalahkan Davina atas benda sialan yang melingkar di pergelangan tangan gadis sebaya dengannya itu.     

"Mau? Lo kan udah dapat gelang dari gue. Gak jadi pakai yang itu?" Davina kini menimpali. Samar keningnya berkerut.     

"Bukan buat gue. Tapi buat Adam." Davira menjawab. Kalimat itu sukses membuat Davira terdiam sembari memberi tatapan aneh padanya.     

Davira tersenyum ringan. "Adam bakalan suka."     

Setelah mendengar kalimat penjelasan singkat dari Davira, Davina hanya mengangguk. Tersenyum kecut kala tahu bahwa Adamlah yang akan menjadi pemilik gelang jikalau Davina benar membelikan untuk Davira.     

"Ngomong-ngomong, lo gak mau kayak gue?" Davira kembali melanjutkan. Mengubah topik pembicaraan agar suasana tetap hangat dan hening tak datang membentang.     

"Cantik? Gue udah cantik." Davina terkekeh. Bersama dengan tawa kecilnya Davina menggelengkan kepalanya.     

"Punya cowo yang bisa jadi teman, sahabat, dan teman seperjuangan." Davira menjelaskan. Gadis di depannya terdiam. Menatap Davira dengan penuh keseriusan. Ini bukan Davira, begitulah pikir Davina saat ini. Sahabatnya bukan tipe orang yang akan mencampuri urusan pribadinya begini.     

"Sendiri itu enak." Tegas Davina menjawab. Davira hanya mengangguk. Menyeruput cokelat hangat yang ia pesan malam ini. Ditemani beberapa potong keripik kentang dengan saos merah kesukaannya.     

"Davina, gue mau ngomong sesuatu." Kembali Davira membuka obrolan. Davina yang tadinya mau menyeruput milk shake miliknya terdiam sejenak. Mengerang ringan sembari menatap sahabat masa kecilnya itu.     

"Adam—"     

"Tunggu ...." Davina mengangkat satu jari telunjuknya. Mengisyaratkan pada gadis bermata bulat di depannya itu untuk menghentikan sejenak kalimatnya.     

"Ada telfon." Davina melanjutkan. Beranjak dari kursinya tanpa mau menunjukkan siapa orang yang sedang mengganggu waktu bersantai dengan sahabat kecilnya itu.     

Namun, siapapun itu ... tergambar jelas di raut wajah Davina bahwa ia sedang bahagia. Di setiap kalimatnya, bibir ranumnya tak henti-hentinya tersenyum lebar. Sesekali tangannya mengepal tanda tak mampu menahan kebahagiannya. Tubuhnya beberapa kali berputar kala suara yang begitu samar untuk Davina memberinya satu kalimat yang mungkin saja sebuah kabar bahagia untuk gadis berkemeja putih polos itu.     

Siapapun itu, yang jelas Davina terlihat begitu bahagia sekarang ini.     

"Adam." Bibir Davira tiba-tiba berucap lirih. Segera tangannya meraih ponsel hitam dan menekan beberapa huruf yang menyusun nama kekasih kesayangannya itu.     

Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi ...     

Davina mematikan panggilannya. Kembali jari jemari lentiknya menekan nomor kontak yang sama. Kalimat dengan nada yang sama kembali terdengar disela panggilan. Mata bulat gadis berambut sebahu itu sekilas melirik temannya yang masih sibuk dengan orang di seberang ponselnya. Sesekali terkekeh sembari mengigit jari jemari berkuku runcing miliknya.     

Davira kembali menekan nomor kontak yang sama. Menunggu beberapa saat dan kalimat bernada yang sebelumnya ia dengar sudah tidak ada. Panggilannya terhubung. Dengan cepat wajahnya mendongak menatap sahabat masa kecilnya yang baru saja menutup panggilannya. Berjalan santai sembari tersenyum pada Davira. Gadis bermata bulat itu mematikan panggilannya saat suara berat menyahut. Menyebut namanya singkat beberapa kali saat tidak ada jawaban dari Davira.     

"Ternyata benar," lirih Davira. Meletakkan ponselnya tanpa merubah fokusnya pada Davina. Gadis itu tersenyum. Menatap Davira yang hanya terdiam menatapnya sayu. Sepasang mata bulat itu perlahan berkaca-kaca. Davina sedikit merendah. Mencoba menatap Davira dengan benar.     

"Ra? Lo kenapa?"     

Davira terdiam. Menarik nafasnya dalam-dalam. Kembali mendongak untuk menatap gadis sebayanya dengannya itu. Menggeleng sembari tersenyum kecut.     

"Gue lupa," jawabnya singkat.     

"Huh?" Davina menyela.     

"Gue tadi disuruh beli telur buat mama. Gue harus balik sebelum kenak omel. Sorry."     

Tanpa menunggu jawaban dari lawan biacaranya, Davira bergegas. Mengemas barang-barangnya kemudian berlalu meninggalkan Davina di tempatnya. Dengan penuh tanda tanya untuk gadis berambut pekat itu tentunya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.