LUDUS & PRAGMA

57. Malam Penghakiman



57. Malam Penghakiman

"Lo bisa berhenti buat telfon gue?" Suara nyaring terdengar sesaat setelah Davira melempar batu terakhir jatuh ke dalam sungai. Gadis berambut sedikit ikal sebahu itu menoleh sembari tersenyum kecut.     

"Soal Adam," ucap Davira lirih. Gadis di sisinya berjalan mendekat. Menyandarkan tubuh rampingnya di sisi jembatan. Menoleh pada Davira kemudian.     

Selepas pergi begitu saja meninggalkan Davina, ia tak lekas kembali ke rumah. Panggilan demi panggilan yang dilakukan melalui ponselnya untuk gadis bermata kucing itu ia lakukan demi mengusir rasa gundah yang ada di dalam dirinya saat ini. Hati Davira hancur. Meskipun tak mendapat fakta yang sebenarnya, namun opini yang didapat oleh gadis itu malam ini seakan mengiring segala kepercayaan untuk fakta bahwa Davina berselingkuh dengan kekasihnya.     

Jujur saja, meskipun fisiknya terlihat baik-baik saja akan tetapi hati dan perasaannya hancur. Harapannya sirna dan bahagianya sengaja dipatahkan begitu saja. Semesta berpaling darinya. Kebahagian dan segala doa baik Davira tak ubahnya bak memberi gula untuk mengubah rasa asin di laut lepas. Percuma dan sia-sia saja.     

"Entah kenapa gue mulai ragu." Davira melanjutkan. Mendunduk sesaat sebelum akhirnya menghela kasar nafasnya. Tak kuasa dirinya menatap paras Kayla Jovanka. Gadis yang seharusnya tak berada di sekarang. Jika ada Arka, Davira ingin menangis dalam pelukan remaja itu sekarang ini. Bukan berdiri dan bertemu dengan Kayla Jovanka.     

"Udah gue bilang periksa dari orang terdekatnya." Gadis di sisinya menyahut ringan. Memasukkan kedua telapak tangannya di saku depan hoodie cokelat muda yang ia kenakan sekarang. Tak ada senyum yang merekah di atas bibir merah delima milik Kayla. Meskipun ia sangat membenci Davira sebab kehadirannya mengubah segala harapan baik bersama Adam dulu, namun tetap saja. Gadis cantik itu adalah korban yang sesungguhnya.     

Kabar baik yang diterima Kayla dari semua yang terjadi adalah semesta melindungi perasaannya dengan menjauhkan dirinya dari Adam. Meskipun dulu sempat sakit dan hancur. Merasa tak rela juga marah, namun Kayla bersyukur. Sebab apa yang dirasakan Davira malam ini pasti lebih sakit dari yang dirasakan olehnya dulu.     

"Kay, kenapa lo suka Adam dulu?" Davira memutar tubuhnya. Ikut bersandar pada pagar besi yang tingginya hanya setinggi pinggang mereka berdua.     

"Gue? Suka Adam?"     

"Dulu." Davira menyahut sembari berdecak.     

"Karena Adam suka gue duluan. Katanya gue yang paling cantik satu sekolah." Kayla terkekeh. Melirik Davira yang juga ikut terkekeh kecil karenanya.     

"Sampai akhirnya dia taruhan sama temennya. Yang bisa membawa gadis cantik seperti seorang Davira Faranisa ak—"     

"Akan jadi pemenangnya." Davira menyela. Menyambung kalimat Kayla seakan sudah menerka yang menjadi isi kepala gadis berambut panjang itu.     

"Apa yang lo rasakan kala Adam meninggalkan lo?" lanjut Davira bertanya acak.     

"Dan Adam jatuh hati sama lo beneran. Dasar brengsek!" tuturnya mengabaikan kalimat tanya dari Davira. Kayla kini tertawa lepas. Seakan segala hal yang mengajal padanya tentang Adam lepas setelah umpatan keluar dari celah bibir tipisnya.     

"Dan sekarang dia—" Davira menghentikan kalimatnya. Menoleh pada Kayla yang seakan menunggunya untuk melanjutkan kalimatnya itu.     

"Kenapa lo gak temuin Adam sama Davina? Di depan mereka, lo tanya tentang ini. Beres 'kan?"     

Gadis bermata bulat dengan dagu lancip itu menoleh cepat. Menatap sayu gadis setara tinggi dengannya itu kemudian menggeleng ringan.     

"Kenapa? Lo takut kalau lo salah terus harga diri yang lo junjung tinggi itu jatuh? Cih, dasar ego." Kayla menarik sisi bibir merah mudanya. Enggan menatap Davira yang mungkin saja sedang mengumpatinya lirih.     

"Yang paling menakutkan adalah kalau itu semua bener. Itu artinya gue akan kehilangan Adam." Davira menyela. Kalimat singkat itu sukses membuat Kayla menoleh. Sinis memberi tatapan pada gadis bodoh yang sedang dibutakan oleh cintanya pada sang kekasih. Dua tahun berlalu, Kayla benar-benar melihat sisi lain dari seorang Davira Faranisa. Bukan gadis sombong yang suka mengumpat. Memberi kalimat pedas dan bersikap tak acuh pada lingkungannya. Davira yang sekarang adalah gadis lemah dan bodoh. Terlihat payah jikalau sudah menyangkut pasal Adam Liandra Kin.     

"Lo itu ya ..." Kayla memutar tubuhnya. Menghadap Davira yang masih kokoh pada posisi nyamannya.     

"Gue takut kehilangan Adam." Davira berucap lirih.     

"Serah lo deh, Ra." Kayla menyahut. Jengkel? Sedikit. Tak ada gunanya memang berbicara pada gadis yang sedang dimabuk cinta seperti ini. Cukup mendengarkan dan memahami saja apa yang sedang dirasakan olehnya.     

"Btw, siapa yang bilang Adam selingkuh sama Davina?!" Davira sedikit menyentak. Menatap gadis yang baru saja membulatkan kedua matanya.     

Bodoh! Dari semua kalimat yang terlontar dari bibirnya, sekarang Davira ingin memberi pembelaan untuk memperbaiki perasaannya malam ini? Itu tidak akan pernah berhasil. Sebab pembelaan apapun, tak akan pernah mengubah fakta yang sudah terjadi.     

"Cukup!" Kayla ikut menyentak.     

"Cukup lo pura-pura kek gini. Sekarang waktunya lo cari tau, Ra." Kayla berkata dengan nada tegas. Entah sejak kapan dirinya jadi peduli seperti ini. Namun melihat Davira begini itu sangat menyedihkan untuknya.     

Davira merubah posisinya lagi. Menghela nafas kasar sembari menatap tajam lawan bicaranya     

.     

"Kalau gue gak mau?     

"     

Kayla ikut menatap Davira tajam. "Lo bakalan jadi gadis terbodoh," sahutnya sembari menepuk pundak kiri Davira. Ia tak tahu harus berbicara apa lagi. Untuk itu pergi dari hadapan Davira adalah pilihan yang terbaik.     

Sebuah kalimat yang Davira dengar terakhir kali dari gadis berambut pendek itu. Sebuah kalimat yang dikutip dari sebuah novel roman picisan yang katanya ditujukan untuk kebodohan Davira sekarang ini.     

Dan kalimat itu berbunyi begini ...     

"Yang paling mencintai bukanlah dia yang paling banyak diam dan berkorban. Yang paling mencintai adalah dia yang berani menerima kesalahan dan berusaha memperbaikinya bersama. Sebab, yang paling banyak diam dan berkorban adalah dia yang paling bodoh dalam hubungan."     

Lalu, kalimat panjang itu disambung dengan sebuah pernyataan mengejutkan ....     

"Mencintai bukan pasal siapa yang mau memaafkan dan siapa yang harus dimanfaatkan. Mencintai adalah sebuah perasaan untuk siapa yang paling sakit setelah hati sengaja dipatahkan, percaya sengaja dikecewakan, dan raga sengaja dihancurkan. Siapa yang merasakan rasa paling sakit sebab itu, dialah yang paling mencintai."     

Dalam penutup cerita semua orang menginginkan sebuah akhir cerita yang bahagia bukan? Sebuah akhir dimana tokoh utama akan saling mencintai. Menyelesaikan masalah bersama dan hidup dalam satu rasa. Dalam cerita apapun, akhir yang bahagia adalah kalimat yang paling di nanti.     

Tapi tak semua kisah mendapat restu dari semesta. Tak semua cerita mendapat hadiah dari sang pencipta. Ada beberapa yang berakhir dengan sebuah tragedi ... yang sangat mengerikan. Davira hanya tak ingin kisahnya masuk ke dalam kategori tersebut.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.