LUDUS & PRAGMA

58. Tusukan Kalimat



58. Tusukan Kalimat

0Gadis berparas ayu itu masih kokoh dalam posisinya menatap semangkuk bubur ayam hangat di depannya. Beberapa menit lalu, sesaat setelah sesosok wanita paruh baya berambut ikal sepunggung datang dan membukakan pintu lebar untuknya sembari tersenyum sumringah di sela sapaannya pada Davira, gadis itu dipersilakan masuk bukan sebagai tamu. Melainkan sebagai calon anak menantu yang cantik rupanya. Davira ditawarkan semua yang ada di dalam kulkas. Mulai dari daging, telur, sayur, dan buah-buahan. Namun, gadis berusia remaja itu memilih bubur ayam yang masih hangat dengan kepulan asap yang menggugah seleranya.     
0

Bukan tanpa alasan Davira datang pagi buta begini untuk menemui wanita paruh baya yang kiranya berusia 40 tahunan itu. Dalam pembelaan yang dilayangkan gadis itu kala nyonya rumah datang menyapa dirinya adalah untuk memastikan perkataan Adam kemarin malam. Selepas Davira menanyakan pada remaja jangkung itu perihal nada panggilan dengan kalimat menyebalkan yang diulang-ulang untuk memberi tahu pada Davira bahwa Adam sedang dalam panggilan telepon lain. Dalam pembelaan remaja berotot pepak itu, ia mengatakan bahwa kemenangan yang kabarnya akan diberikan untuk Davira ia bawa terlebih dahulu pada ibu tercintanya. Memberi salam, mengabarkan kemenangan, dan sedikit berbasa-basi pada sang ibunda tercinta—begitu pembelaan yang Adam katakan semalam melalui panggilan singkatnya untuk Davira.     

"Mau susu atau teh hangat, nak?" Mama Adam menyela lamunan Davira. Membuat gadis itu menoleh sembari sejenak menaikkan kedua aslinya.     

"Buburnya enak, Tan." Davira ikut menyela. Kemudian sejenak berpikir untuk memberi jawaban minuman apa yang pantas untuk menemani semangkuk bubur ayam ini.     

"Teh hangat," lanjut Davira tegas. Tersenyum sebelum akhirnya melanjutkan aktivitas makanya. Wanita yang berdiri di depan meja panjang sudut ruangan mengangguk ringan. Dikembangkannya senyum manis untuk permintaan gadis cantik yang datang bertamu beberapa puluh menit yang lalu.     

Satu suap, dua suap, dan tiga suap ia habiskan masuk ke dalam tenggorokannya. Gadis itu kini meletakkan sendok yang ia pegang. Menoleh dan menatap wanita berpakaian ala-ala ibu rumah tangga pada umumnya. Ada satu gelas besar berisi teh hangat dengan kepulan asap yang mengudara, sesuai dengan pesanan Davira sebelumnya.     

Tina –begitulah sapaan singkat wanita berparas ayu yang kini duduk tepat di depan Davira selepas meletakkan segelas teh hangat manis yang sengaja ia buatkan untuk Davira Faranisa—kembali tersenyum hangat. Memberi tatapan teduh penuh makna pada gadis cantik yang selalu terlihat anggun dan sopan kala sedang berhadapan dengannya itu. Bukan Davira yang beruntung, melainkan Adam Liandra Kin sang putra. Begitulah kiranya yang dipikirkan oleh Tina. Davira memang dari keluarga yang tak harmonis. Hanya tinggal bersama sang mama tercinta, tanpa pernah mendapat kasih sayang dan didikan dari seorang ayahanda. Terdengar cukup memilukan memang, namun sebab kisah yang didengarnya dari sang putra Tina yakin bahwa Davira adalah gadis baik yang berjiwa kuat.     

"Tante, Davira mau tanya." Gadis itu kembali membuka percakapan. Yang di panggil dengan sebutan Tante hanya berguman ringan sembari terus memberi fokusnya untuk Davira Faranisa.     

"Soal Adam ... Davir tidak tahu harus memulai dari mana." Gadis itu bimbang. Tak tahu harus memulai dari mana untuk sebuah pertanyaan yang bisa saja membuatnya terkesan over pada anak pertamanya itu. Tak mungkin jikalau Davira berkata bahwa Adam sudah berselingkuh darinya. Menjalin hubungan rahasia dengan seorang gadis yang dalam keyakinan Davira, gadis itu adalah Davina Fradella Putri.     

"Kemarin malam Adam telepon tante," ucap wanita itu tiba-tiba. Davira diam sejenak. Sial! Hatinya benar-benar dibuat bimbang sekarang ini.     

"Terus buru-buru nutup katanya ada telepon lain." Wanita paruh baya itu melanjutkan. Mengulurkan tangannya dan menarik pergelangan tangan gadis yang jauh lebih muda usianya dari Tina. Menggenggam jari jemari Davira dengan erat. Wajah Tina memang terkesan dingin dengan caranya menatap yang tajam mirip seperti sang kekasih, namun senyum, kalimat, dan sentuhan yang diberikan untuk Davira terkesan benar-benar hangat dan nyaman.     

"Dia bilang kamu bakalan seneng kalau tau dia menang lagi." Wanita itu berbicara sangat lembut. Mengimbuhkan kalimat yang baru saja sukses membuat gadis di depannya bungam sembari memberi tatapan sayu. Davira masih kokoh dalam pendiriannya. Tetap diam bungkam sembari ingin terus mendengarkan cerita dari Tina perihal apa yang dilakukan oleh putranya kemarin malam. Davira ingin lega! Setidaknya ia tak ingin mencurgai kekasihnya juga teman dekatnya sendiri hanya sebab satu panggilan sialan yang mengganggu tidurnya semalaman. Dari sorot mata berlensa identik dengannya itu, Davira paham betul kalau wanita seusia dengan ibu kandunya itu tak mungkin sedang mengarang cerita. Membuat sebuah alur sedemikian rupa untuk menutupi keburukan anak tertuanya.     

"Gimana kamu senang bukan mendengar itu?" Tina melanjutkan. Kali ini tersenyum kuda sembari mengangkat kedua alis cokelat tuanya bersamaan.     

"Hm, Davira sangat senang," jawab Davira singkat. Ikut tersenyum lebar sembari sesekali mengedipkan matanya. Air mata tak boleh turun sekarang ini. Meskipun untuk menyambut kebahagian dan sedikit kelegaan yang ada di dalam hatinya selepas mendengar kalimat dari Tina. Entah hanya sekadar kebetulan semata, atau semesta memang benar tak tega menyakiti hati Davira lagi.     

Gadis itu kini melepas perlahan genggaman tangan Tina, kembali melahap bubur ayam yang sudah habis setengahnya. Menyelanya dengan segelas teh hangat yang terasa begitu manis. Sangat manis.     

Entah mengapa, kalimat penjelasan yang tak terlalu panjang itu membuat hati seorang Davira Faranisa begitu lega juga merasa begitu bersalah. Kemarin malam, kebodohannya itu hampir saja membuat hubungan pertemanannya hancur kalau-kalau ia tak menahan diri. Juga, tentang kisah indahnya bersama Adam kalau-kalau juga ia tak memeriksa dengan benar.     

Dari semua keganjilan yang Davira rasakan belakangan ini, gadis bermata bulat bak lingkaran bulan di langit malam hari itu sadar bahwa semua hanya tentang menyisihkan waktu untuk saling berbicara satu sama salin. Saling mengerti untuk berdamai pada waktu dan berkompromi dengan tunggu. Menyela segala ego dan menghapus semua bentuk keraguan. Mencoba mempercayai pasangan bukan sebuah kejahatan bukan? Dengan membangun sebuah kepercayaan diantara tunggu dan waktu, semua keraguan akan hilang. begitu yang ingin Davira percayai saat ini.     

Ia tak ingin kehilangan semua yang ia miliki saat ini. Semuanya. Termasuk Adam dan segala rasa untuknya.     

"ngomong-ngomong tante, tumben masak bubur ayam?" Davira menyendok suapan terakhir. Mendorong mangkuk kaca bening ke tengah meja dan menarik segelas teh hangat yang mulai berkurang isinya.     

"Buat Raffa."     

Davira menoleh cepat. Sekilas tatapnya beralih ke lantai atas. Terpusat pada pintu cokelat tua yang tertutup rapat.     

"Dia demam," lanjut wanita paruh baya itu. Davira membulatkan matanya. Seakan sebuah alur yang sudah direncakan apik oleh semesta. Dia datang untuk memastikan juga untuk menjenguk calon adik iparnya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.