LUDUS & PRAGMA

59. Risau



59. Risau

0"Kak Davira boleh masuk?" Davira mengetuk pintu perlahan. Disela ketukannya ia berbicara lirih. Sangat lirih. Takut-takut kalau Raffa terganggu dengan suara lembutnya itu.     
0

"Hm." Satu suara menimpali dari dalam ruangan. Singkat memang, namun cukup untuk menjadi dasar penarikan kesimpulan bahwa Davira Faranisa diterima baik dan diperbolehkan untuk datang membesuk. Gadis bermata bulat itu tersenyum tipis. Mendorong perlahan pintu kayu di depannya. Melangkah masuk dengan sangat hati-hati. Sekilas tatapannya menyusuri segala sudut ruangan yang didominasi cat abu-abu dengan beberapa lukisan bergaya retro yang tentunya adalah selera seorang remaja laki-laki beranjak dewasa.     

Netranya kini mengarah tepat di tengah ranjang yang berukuran sedang, cukup luas jikalau hanya ditempati oleh satu orang saja namun akan terasa sempit kalau dua orang tidur di atasnya. Perawakan tubuh Raffa kini terekam jelas oleh lensa pekat milik Davira. Remaja yang berposisi setengah tidur dengan satu buku di dalam genggaman tangannya itu tak terkesan terkejut apalagi merasa aneh dengan kedatangannya pagi ini. Seakan pemilik nama lengkap Raffardhan Mahariputra Kin itu sudah bisa menebak kehadirannya sebelum ini.     

Bukan, Raffa bukan seorang peramal. Dirinya hanya tau ketika suara Davira mulai mendominasi di dalam rumahnya setengah jam lebih yang lalu. Tak ingin turun dan menyapa? Tidak. Sebab ia sudah menebak bahwa Davira akan naik ke atas dan menjenguk dirinya.     

"Kak Davira ngapain ke sini?" sahutnya tiba-tiba. Gadis yang diberi pertanyaan sekilas menatap sebelum akhirnya kembali memfokuskan tatapannya pada sebingkai foto yang terletak disudut meja berkaca persegi.     

"Kalian sangat mirip," katanya mengalihkan. Raffa tersenyum singkat sebelum akhirnya mengulang pertanyaan yang sama untuk Davira. Membuat gadis itu menoleh. Kali ini berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang empuk milik Raffa. Menarik selimut agar sempurna menutupi separuh tubuh remaja yang setahun lebih muda darinya itu.     

"Kakak pengen jenguk kamu," balas Davira sembari tersenyum manis pada Raffa. Remaja itu memalingkan wajah tampannya. Tersenyum picik sembari melipat tangannya rapi.     

"Jangan bohong," sahutnya lirih. Davira menyipitkan matanya. Raffa mulai perselisihan lagi rupanya—begitu kiranya pikir Davira.     

"Kakak gak tau aku sakit 'kan?" Remaja itu mengimbuhkan. Kembali menatap Davira yang masih dalam posisi serta ekspresi wajah sama tak berubah sedikitpun. Davira diam. Benar, ia tak tahu. Sungguh tak tahu apapun tentang keadaan calon adik iparnya itu. Bagaimana perasaan Arka, bagaimana remaja puber itu berpikir, dan bagaimana tingkah dan sikapnya yang sebenarnya? Davira tak tahu semua itu.     

Pertemuannya dengan Raffa selalu saja diselimuti dengan perselihan ringan sebab Adam Liandra Kin. Davira tak pernah bisa mempunyai waktu yang indah dan menyenangkan bersama Raffardhan Mahariputra Kin. Itu sebabnya, meskipun Davira sudah mengenal Raffa dia tahun lamanya, namun gadis itu tak pernah bisa mengenal dengan baik sosok Raffardhan.     

"kangen sama mama?" Raffa melanjutkan. "Telepon aja. Gak perlu pagi buta begini dateng ke rumah." Remaja itu seakan ingin memulai untuk mengintrogasi Davira. Raut wajahnya berubah picik. Matanya menyipit sembari bibir pucatnya sedikit menampilkan senyum yang menyebalkan.     

"Kak Davira ingin memastikan sesuatu?" susulnya tersenyum miring.     

Davira membulatkan kedua matanya. Menatap fokus remaja di depannya itu. Seolah tahu segalanya tentang Davira dan pemikiran-pemikiran bodoh gadis itu juga mengetahui tentang Adam dan segala hal mencurigakan yang terjadi belakangan ini, Raffa menanyakannya dengan nada tegas. Tak ada keraguan yang terselip di dalamnya sekarang ini. Davira mungkin bisa saja bertanya pada Raffa tentang apa yang ingin ia ketahui. Namun, jika begitu artinya Davira sudah kalah dan menyerah. Mengambil jalan pintas yang mungkin saja akan membuat dirinya kehilangan semua yang ia miliki sekarang ini.     

"Kak Davira ingin memastikan sesuatu?" ulangnya jelas. Davira menelan salivanya. Menyiapkan sebuah alasan yang bisa ia gunakan untuk meredam suasana menyebalkan sekarang ini. Sialnya, ia tak mendapatkan alasan itu.     

"Raffa." Davira mendekatkan wajahnya. Menatap sejenak remaja berparas identik dengan kekasih hatinya itu. Tersenyum tipis sembari mengusap perlahan puncak kepala lawan mainnya. Gadis itu melirik rambut pekat yang sedikit kusut dan berantakan. Mencoba menata dan merapikan sembari berucap lirih.     

"Kamu sedang sakit ... jadi banyakin istirahat." Davira kembali menarik posisinya. Menepuk permukaan selimut tebal yang membungkus tubuh kerempeng nan tinggi itu. "Jangan mikirin orang lain. Pikirin dirimu sendiri, oke?"     

Gadis berambut panjang yang sengaja dibiarkan tergerai rapi di belakang punggungnya lagi-lagi tersenyum. Kali ini dengan sedikit perubahan di ekspresi wajahnya. Sedikit menyebalkan sebab ia sedang menyembunyikan kekesalannya pada remaja satu ini.     

"Kalau sudah baikan, baru boleh memikirkan orang lain." Davira menambahkan, kali ini dengan senyum manis yang tulus datang dari dalam hatinya. Ia bangkit, tak lagi duduk di tepi ranjang menghadap ke arah remaja jangkung berparas pucat khas orang sedang dilanda sakit ringan.     

"Kakak pulang dulu," ucapnya menutup kalimat. Memutar tubuh dan langkah untuk segera keluar dari dalam kamar Raffa selagi ia masih bisa menahan semua rasa aneh yang ada di dalam hatinya sekarang ini.     

"Jangan percaya pada siapapun!" sentaknya kala Davira ingin berpaling meninggalkannya. Gadis itu terhenti. Terpaksa tubuh tingginya kembali berputar. Menghadap seseorang yang baru saja meninggikan nada bicaranya itu.     

"Bahkan mama sekalipun," sambungnya dengan nada melunak.     

"Bahkan aku juga Kak Adam sekalipun." Raffa menambahkan. Memalingkan wajahnya kala tatapan Davira berubah menjadi sayu.     

"Apa maksud kamu?" Davira menimpali. Mengernyitkan dahinya kala kalimat aneh itu terdengar begitu rancu dan ambigu. Baiklah, jikalau tidak mempercayai Adam dan Raffa itu adalah hal yang wajar, namun jika tidak boleh mempercayai Tina itu adalah hal yang tidak wajar.     

Raffa terdiam sesaat. Memalingkan wajahnya tak mau lagi bertatap dengan Davira "Kakak boleh pergi sekarang. Aku gak mau diganggu," katanya menutup obrolan. Davira yang awalnya terdiam seribu bahasa kini hanya bisa mengangguk. Ia tak tahu harus menjawab apa dengan nada dan ekspresi wajah bagaimana.     

Kedatangannya ke rumah mewah yang didominasi cat bewarna putih dan cokelat muda itu adalah untuk memastikan sesuatu. Ya, memastikan sesuatu. Sesuai dengan tebakan remaja berponi naik itu. Ia lega kala wanita paruh baya berhidung mancung dengan mata identik dengan kedua putra tampannya itu mengatakan bahwa ialah orang yang menjadi alasan nada panggilan terdengar begitu menyebalkan untuk Davira. Namun, seperti habis keluar lubang ular masuk ke dalam lubang buaya. Saat satu kecemasan yang mengganggu tidurnya kemarin malam sudah usai, bukannya kembali membawa senyum dan berbagai macam bentuk kebahagian untuk menyambut kedatangan kekasihnya nanti sore, ia malah diberi kecemasan baru. Sebuah kecemasan dengan sedikit teka-teki yang semakin membuatnya tak ingin bertahan. Membuatnya muak dan ingin lari sejauh mungkin. Akan tetapi, Davira tak bisa. Sebab apa? Sebab ia begitu takut. Takut akan kehilangan Adam dan takut kalau ia kembali sendiri lagi.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.