LUDUS & PRAGMA

61. Senja Tak Bahagia



61. Senja Tak Bahagia

0Senja datang. Bersama dengan perasaan senang yang melanda kala kabar kepulangan sang kekasih didengar oleh kedua telinga Davira. Meskipun dalam perasaan yang amat dalam ia masih ada di dalam keadaan kalut sebab kabar mengejutkan yang didapati olehnya, namun ia tak ingin membahas itu sekarang ini. Perselingkuhan sang kekasih belum benar adanya. Davira belum melihat dengan mata kepalanya sendiri. Semua yang mengganggu di dalam hatinya hanya sebatas praduga tanpa ada pembuktian yang jelas. Jadi sebelum semuanya terbukti, Davira masih ingin tetap semua keadaan sama seperti biasanya.     
0

Gadis itu kini menaikkan pandangannya. Sesekali menatap ke dalam halaman sekolah untuk menunggu seseorang keluar dari dalam rombongan. Adam Liandra Kin adalah alasan Davira menunggu seorang diri di depan gerbang sekolah meskipun senja ini adalah senja di akhir pekan. Tak ada sekolah juga tak ada kegiatan yang mengharuskan dirinya mematuhi segala peraturan di lingkungan sekolah.     

Davira datang hanya untuk menjemput kepulangan sang kekasih yang membawa kabar gembira. Ingin menghabiskan senja tanpa ada rasa ragu yang menyelimuti lagi.     

"Davira?" Seseorang menyapanya. Membuat tatapan gadis yang tadinya terfokus masuk ke dalam halaman sekolah kini menoleh. Menatap perawakan tubuh tinggi tak semampai setara dengan miliknya. Ia mengernyitkan dahi. Seakan tak mengerti mengapa Davira memilih menunggu di depan sekolah alih-alih masuk dan menghampiri sang kekasih.     

"Davina." Gadis itu melirih. Ditatapnya dari ujung kaki hingga ujung rambut gadis yang ada di depannya lalu tersenyum untuk mengurangi rasa canggung yang tiba-tiba saja datang menghadang. Untuk Davina, tak ada rasa seperti itu. Mengingat ia tak pernah berbuat aneh dan salah pada Davira semenjak pertemuan terakhir mereka kemarin malam. Akan tetapi tidak untuk gadis bermata bulat yang terlihat begitu cantik dengan blouse merah maroon yang dipadukan rok pendek selutut itu. Davira mencurigai temannya.     

"Lo gak mau masuk aja? Kenapa nungguin di sini?" Gadis itu mengimbuhkan. Ikut tersenyum aneh menutup kalimatnya.     

Davira menggeleng. Masih tetap tersenyum untuk mengimbangi apa yang diberikan Davina padanya.     

Gadis di depannya itu kini menyodorkan gelang kecil yang identik bentuk dengan milik Davira yang merupakan pemberian dari Davina kemarin siang. Sukses memicu reaksi lain dari lawan bicaranya. Davira terdiam. Tak menerima pemberian dari mantan teman sebangkunya itu. Aneh rasanya. Mengingat dirinya tak bersungguh-sungguh meminta gelang murahan yang menjadi pengiring opini tentang perselingkuhan sang kekasih dengan gadis di depannya.     

"Katanya lo minta, jadi gue beliin." Davina semakin kuat menyodorokan apa yang ada di tangannya. Kini menarik pergelangan tangan Davira agar menerima apa yang menjadi pemberiannya sore ini.     

"Katanya Adam akan suka," imbuhnya tersenyum ramah.     

Davira masih kokoh dalam diamnya. Tak berkutik atau memberi respon berlebihan pada apa yang dilakukan oleh Davina.     

"Semoga suka. Gue pergi dulu," ucapnya menutup kalimat. Gadis cantik yang ada di depan Davina kini menoleh. Mengikuti arah langkah gadis sebaya yang pergi berlalu meninggalkannya begitu saja.     

"Davina!" Panggil Davira sedikit berteriak. Sukses menghentikan langkah kaki milik Davina Fradella.     

"Tolong panggilkan Adam. Bilang kalau pacarnya sudah menjemput," pinta Davira tegas. Mengakhiri dengan senyum aneh yang hanya mendapat anggukan kepala dari lawan bicaranya.     

"Makasih buat gelangnya." Gadis cantik itu mengimbuhkan. Semakin tegas mengembangkan senyum di atas bibir merah muda miliknya.     

Davira tahu yang dirasakan oleh Davina sekarang ini. Selepas mendengar kata 'pacar' keluar dari mulutnya, perubahan ekspresi jelas ada di atas paras cantik Davina Fradella Putri. Sesaat terdiam kemudian kembali tersadar bahwa Davira sedang memperhatikannya. Sekilas gadis itu menelisik. Bahwa apapun yang dipikirkan oleh Davina perihal hubungannya dengan Adam tak benar baik adanya. Gadis itu tertampar fakta bahwa mungkin saja ketakutannya selama ini mampu menjadi fakta yang akan menghancurkannya suatu saat nanti.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Langkah keduanya tegas menyusuri trotoar jalanan. Membelah sepi dan menerjang senja yang datang. Tangan gadis itu melingkar apik di atas lengan sang kekasih. Merapatkan posisi agar tak memberi celah yang berarti untuk keduanya. Sesekali Davira bersenandung ringan. Mencuri perhatian Adam yang berjalan seirama di sisinya. Dalam pemikiran remaja jangkung ber-hoodie merah tua itu, pastilah sang kekasih sedang dilanda bahagia sekarang ini. Entah sebab kepulangannya atau sebab kabar baik yang dibawanya. Selepas ini nanti, Adam akan dinyatakan purna dalam tugasnya. Hanya tinggal periode beberapa bulan lagi remaja itu benar-benar pergi dari kesibukan dunia basket.     

"Mau es krim di kedai depan?" Adam menyela. Menunjuk asal tempat yang ada di depannya. Seakan tahu maksud tempat yang ada di pikiran sang kekasih gadis itu mengangguk ringan. Menghentikan senandung suara lirih yang diciptakan kemudian menaikkan pandangan dan menengadahkan wajahnya untuk menatap paras lelah milik Adam. Satu hari Davira tak bertemu dengan sang kekasih, membuatnya belajar bagaimana susahnya menahan rindu.     

"Ngomong-ngomong apa yang kamu lakukan saat aku pergi?"     

Davira diam. Tak menjawab pertanyaan sang kekasih.     

"Maksud aku ... malam minggu pergi ke mana? Sama siapa? Dan—"     

"Aku pergi sama Davina terus pulang ke rumah dan menelepon kamu." Gadis itu kini menyela. Berkata jujur pada sang kekasih.     

Adam tersenyum. Mengusap puncak kepala gadis yang ada di sisinya. "Kamu pasti kesepian."     

"Kalau kamu?" Davira mengimbuhkan. Menghentikan langkah kakinya dan memutar tubuhnya serong. Menatap remaja yang dipaksa untuk mengiringinya henti langkah sang kekasih.     

"Apa yang kamu lakukan sebelum telepon dan sesudah telepon aku?" tanyanya tersenyum ringan.     

Adam terdiam sejenak. Ditatapnya paras cantik seorang Davira Faranisa. Entah mengapa, tatapan gadis itu terasa sedikit lain untuk Adam. Seperti yang sedang berdiri di depannya bukanlah Davira sang kekasih.     

"Aku hanya ingin tahu karena aku penasaran siapa saja yang kamu beri tahu soal kemenangan itu." Gadis itu mengimbuhkan. Mencoba untuk segera menghilang pemikiran aneh yang ada di dalam pikirannya sekarang. Adam masih bersamanya! Adam masih memihaknya! Dan Adam masih berdiri di depannya.     

"Mama, kamu, dan Davina." Remaja itu berucap. Nama terakhir yang disebut olehnya sukses membuat perubahan ekspresi dari wajah cantik milik Adam. Panggilan kemarin malam ... benar dari Adam rupanya.     

"Kenapa Davina?"     

"Dia adalah ketua official basket. Apapun yang terjadi di Medan perang, dia harus segera tahu untuk menyebarkannya pada anggota basket lainnya yang tidak ikut berperang. Begitu sistemnya." Adam menjelaskan. Kembali meraih tangan gadis di depannya dan mengajaknya kembali melangkah.     

Davira menatapnya sekilas. Adam berkata jujur. Caranya menatap dan tersenyum begitu tulus.     

"Kapan kamu telepon dia? Sebelum aku atau sesudah aku?"     

Adam terdiam sejenak. Menoleh dan memberi tatapan teduh pada sang kekasih. "Tadi waktu perjalanan pulang."     

Deg! Hati Davira panas. Hancur dan sesak dirasa di dalam dadanya. Mengetahui orang yang paling dia cintai menipu dan berdusta adalah hal yang paling menyesakkan di dalam hatinya. Adam ... menipu Davira untuk menyembunyikan kedekatannya dengan Davina.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.