LUDUS & PRAGMA

64. Perselingkuhan Pertama



64. Perselingkuhan Pertama

0Langkahnya tegas membelah rerumputan kering yang menyelimuti hangat tanah basah di bawahnya. Tatapannya tertuju pada apapun yang menjadi objek pandangannya kali ini. Tetesan keringat mulai terjun membasahi kedua pelipisnya melalui celah-celah poni yang ada di atas dahinya. Davira tak banyak berbicara pada siapapun pagi ini. Selepas bel masuk dan jam olahraga datang untuk segera dihadiri, gadis itu memilih bungkam dan menghemat suaranya. Ia hanya berbicara kalau seseorang mengajaknya mengobrol dengan topik pembicaraan penting dan menarik. Menghindari Davina yang terus saja mencoba untuk berbincang ringan dengannya.     
0

Perselingkuhan sang kekasih menghancurkan segala perasaan baik yang dirasakan oleh Davira Faranisa sebelum ini. Ia belum menghubungi sang kekasih sejak kemarin malam. Pertemuannya dengan Arka menutup segala lelah yang dirasa. Meskipun tak bisa benar tidur dengan baik, Davira setidaknya sudah berusaha sebaik mungkin untuk memejamkan matanya.     

"Hari yang cerah bukan?" Arka menyela langkahnya. Berlari dengan kecepatan sedang untuk mengiringi jejak langkah yang diciptakan oleh Davira.     

Benar katanya, pagi ini sangat cerah. Seakan semesta sedang memaki dirinya, sang surya bergembira. Sinarnya agung bersama kedudukan yang kian tegas seiring detik yang semakin tua hitungannya. Angin segar mengiringi pagi yang indah. Gumpalan awan putih menjadi lukis yang mempercantik luas bentang cakrawala berwarna biru muda yang ada di atas sana.     

Davira menoleh. Sejenak menatap remaja berseragam sama dengannya. "Hm," erangnya kembali tak acuh. Kali ini mempercepat langkah kakinya. Ia ingin meninggalkan Arka, bukan marah hanya saja Davira masih ingin berada di dalam posisinya. Sendiri tanpa ada yang mengajak berbincang.     

"Lo tidur dengan nyenyak?"     

Gadis itu terdiam sejenak. Menganggukkan kepalanya tanpa mau menoleh untuk jelas memberi tatapan pada lawan bicaranya.     

"Seriusan?" Arka kembali berucap. Sedikit mencondongkan badannya ke depan untuk menelisik arti tatapan Davira sekarang ini. Ia tak berekspresi sedih. Juga matanya tak sembab sebab menangis semalaman suntuk. Fisik Davira terlihat baik-baik saja. Tak lemah juga tak terlihat payah. Hanya saja, ia lebih banyak diam hari ini.     

"Lo berharap gue terpuruk?" tanya Davira dengan nada sinis. Samar mengernyitkan dahinya semakin kedua ujung alisnya yang hampir saling bertaut satu sama lain     

"Syukurlah." Arka menyanggah. Sembari menggeleng samar ia tersenyum. Entah benar atau tidak, yang jelas ia lega sebab Davira masih menjadi seperti Davira yang dulu.     

Perlahan namun pasti, bibir gadis berkuncir kuda itu menyeringai. Samar terlihat oleh Arka yang semakin tegas mengernyitkan dahinya. Tak mengerti, untuk apa senyum itu ada dan mengembang di atas paras Davira dalam keadaan hati yang dipercayai olehnya, sedang kalut dan semrawut.     

"Lo tersenyum akhirnya?"     

Davira menghentikan langkahnya. Membungkuk sembari mencoba untuk mengatur napasnya lagi. Keringat semakin tegas membasahi tubuhnya. Hawa panas bercampur rasa lelah kini mendominasi di dalam dirinya. Ia menepi. Berjalan ringan sembari diikuti oleh langkah sepasang kaki jenjang milik Arka Aditya.     

"Davira?" Arka kembali menyela kala gadis itu hanya bungkam sembari duduk di bawah pohon. Menarik sebotol air putih yang sengaja di beli dan disimpan gadis itu di dalam jajaran tempat minum milik teman-temannya.     

"Hari ini adalah anniversary Adam dan Davina bukan?" Davira berkelit. Sukses membuat remaja di depannya memaku. Samar dahinya kembali terlipat. Tak mengerti untuk apa Davira mengatakan itu?     

"Gue mengirim hadiah untuk Adam." Davira melanjutkan. Kali ini menarik perhatian Arka untuk berjalan lebih dekat padanya. Terhenti dan berdiri tegap menatap paras Davira.     

"Apa yang lo kirim?"     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Suasana riuh akan terjadi kalau kelas tak ada yang membimbing. Seperti layaknya suasana kelas Adam Liandra Kin pagi menjelang siang ini. Guru tak datang sebab rapat adalah alasan yang menghadang. Semua hanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Mengabaikan tugas yang diberikan oleh sang guru untuk mengisi waktu luang. Toh juga, dalam kata penutup sang guru mengatakan bahwa tugas itu akan dibahas pertemuan depan. Jadi tak ada salahnya kalau membuat tugas yang diberikan sebagai calon pekerjaan rumah yang menyusahkan nanti malam.     

Adam berjalan ringan. Duduk tepat di atas kursi tempat duduknya. Sesekali menatap sekitar yang terkesan tak asing untuknya lagi. Suasana seperti ini mungkin yang akan dirindukan olehnya kalau ia benar mengambil cuti yang diberi oleh pihak sekolah selepas lelah berperang dan pulang membawa kemenangan. Adam memilih tepat masuk sekolah. Bertemu dengan kekasih hati yang amat dirindukan olehnya.     

Remaja itu kini merogoh masuk ke laci meja yang ada di depannya. Niat hati ingin mengambil ponsel yang diletakkannya sebelum ia pergi ke toilet beberapa menit lalu, namun sesuatu mengganjal pergerakan tangannya. Sejenak aktivitasnya terhenti. Sedikit membungkuk badan untuk melihat benda apa yang terasa asing untuknya sekarang ini.     

Sebuah kotak kecil berpita merah jambu ia keluarkan dari dalam laci. Sesekali tatapannya menerawang situasi kalau-kalau seseorang sedang memperhatikannya sekarang ini. Kemudian kembali fokus menatap kotak kecil dalam genggamannya.     

Terselip kertas putih kecil di bawah kotak. Membuat Adam benar menaruh fokusnya sekarang ini. Perlahan jari jemarinya menarik pita yang membungkus kotak itu. Membuka kertas kecil dan mulai menelisik setiap kalimat yang ada di tangannya.     

Kalimat singkat. Mengucapkan selamat hari jadi hubungan dalam bahasa Inggris. Sukses mencuri perhatian Adam yang kini mengerutkan dahinya samar. Tidak! Ini bukan hari jadinya dengan Davira. Namun, Davina Fradella Putri.     

Tak ada yang aneh memang kalau ia menerima ucapan seperti itu. Yang aneh, ini adalah kali pertama Davina berani melakukan ini di lingkungan sekolah.     

"Lo buka kadonya?" Seseorang menyela Adam. Membuat remaja itu terkejut. Matanya membulat sempurna. Mengiringi datangnya seorang remaja laki-laki yang tersenyum sembari menunjuk kotak yang ada di dalam genggaman Adam.     

"Siniin gue yang buka!" Ia menyahut kotak itu. Meninggalkan keras kecil yang ada di dalam genggaman Adam. Remaja itu bereaksi. Ingin kembali mengambil miliknya yang baru saja berpindah tangan. Namun, ia terlambat. Candra sudah membuka kotaknya. Mengambil isi kotak berukuran kecil yang membuatnya menghela napasnya ringan.     

"Hanya ini?" ucapnya lirih. Mengangkat gelang merah muda dengan bentuk hati di tengahnya. Menyodorkan pada Adam yang semakin kuat merapatkan bibirnya. Ia tak mengerti, mengapa Davina mengembalikan gelangnya bersama tulisan tangan yang tak mirip dengan milik Davina Fradella Putri.     

"Gue mengira dia akan datang dan memberi hadiah istimewa. Jam tangan keren misalnya," imbuhnya mengembalikan kotak itu. Mengerutkan bibirnya kemudian memutar langkah untuk kembali menjauh dan duduk di atas kursi miliknya.     

"Dia?" tanya Adam mengulang. Menarik bahu Candra untuk membuat remaja itu kembali menatap dirinya     

"Hm. Dia. Kenapa emangnya?"     

"Lo tau siapa yang mengirim ini?" Adam kembali bertanya. Was-was memenuhi hatinya sekarang ini. Jikalau Candra benar melihat siapa pengirimnya, maka tamatlah sudah dirinya sekarang ini     

"Pacar lo ... Davira," katanya singkat.     

Sialan! Dirinya salah dugaan.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.