LUDUS & PRAGMA

67. Kuasa Langit



67. Kuasa Langit

0Isak tangis mulai terdengar masuk ke dalam lubang telinga remaja jangkung yang duduk rapi di bawa rindangnya pohon besar belakang sekolah. Menyita perhatian Arka Aditya yang kini menoleh memberi tatapan sembari mengernyitkan dahinya samar. Selepas pertengkarannya dengan Adam, Rena bergegas memberikan obat di atas lukanya. Melakukan ini itu dengan pembelaan bahwa Luka yang didapat oleh Arka sore ini tak boleh infeksi dan bertambah parah kondisinya. Remaja itu hanya menurut. Diam dan membiarkan Rena melakukan apapun yang disebut oleh gadis itu sebagai sebuah pengobatan. Rasa sakit yang dirasa olehnya tak sebanding dengan pedih yang dirasa oleh Davira Faranisa, sahabatnya. Dalam tebakan Arka, gadis itu pasti benar-benar kalut sekarang ini. Tak mampu melakukan apapun sebab Arka paham benar kalau gadis itu pasti kalah dalam segala keadaan dan keputusan.     
0

Arka tau, rasa yang ada di dalam hati Davira pastilah tak mampu di definisikan olehnya. Marah? Tentu. Sedih dan kecewa? Pastilah ia merasakan itu. Sekeras-kerasnya sikap gadis itu, Davira tetaplah seorang gadis yang akan lemah dan payah kalau sudah mendapati perselingkuhan sang kekasih. Ingin membantu? Tentunya Arka ingin melakukan itu. Namun bisa apa dirinya? Ia paham benar. Apapun yang dilakukan oleh dirinya tak akan banyak berdampak untuk perasaan sahabatnya.     

"Lo nangis karena rok lo ketumpahan obat merah?" Arka menelisik. Melirik sisi rok gadis itu yang berisi beberapa tetes obat merah di atasnya.     

Rena mengusap air matanya. Meletakkan kapas yang ada di dalam genggaman tangannya kemudian memutar tubuhnya serong. Menatap Arka Aditya dengan benar.     

"Kenapa lo gak melawan?!" gerutumya kesal. Memukul pundak remaja yang kini mengerang ringan.     

Remaja jangkung di depannya sukses tertawa kecil. Baiklah, dirinya mulai mengerti. Tangis yang dikeluarkan oleh Rena bukan sebab kecewa hatinya sebab rok putih yang dikenakan olehnya kotor sebab obat merah. Gadis itu menangis sebab hatinya sedang kalut dan takut. Melihat luka di sisi bibir dan sisi wajah remaja jangkung yang sudah lama menjabat sebagai sahabat dekatnya bagi Rena itu adalah sebuah hal paling mengerikan dan menyebalkan.     

"Lo berharap gue lepas kendali?" tanya Arka dengan nada panjang. Mengakhiri kalimat bersama kerutan kening.     

"Kalau gue melawan, Adam bisa mati tadi. Lo tau benar itu." Remaja itu mengimbuhkan. Memalingkan wajahnya sembari mendesah ringan.     

"Bukan gitu ...." Rena menjeda. Ikut memalingkan tatapan menatap ujung sepatu hitam yang ia kenakan. Berat! Kehidupan yang dipilihnya untuk berada di sisi Arka Aditya sangat berat! Ada satu rahasia yang dipendam Rena selama ini. Sepertinya gadis itu ... mulai menyukai Arka Aditya.     

"Setidaknya lo bisa melakukan itu untuk melindungi diri lo sendiri." Rena melanjutkan. Kembali memfokuskan tatapan untuk menatap Arka Aditya     

"Gue gak bisa. Itu akan menyakiti Adam," tuturnya dengan nada lembut.     

"Lo masih sempat-sempatnya mikir berandalan gila kayak Adam?" Rena menggerutu. Sukses memancing reaksi aneh ada di atas perubahan ekspresi remaja jangkung yang ada di sisinya. Nada bicara Rena terdengar asing.     

"Awalnya gue mikir Adam adalah tipe pacar idaman. Tapi setelah mendengar—"     

"Karena itu akan menyakiti hati Davira." Arka menyela. Kembali membuka mulutnya untuk bersuara. Gadis yang menjadi lawan bicaranya sekarang ini hanya diam. Untuk pertanyaan yang mana Arka menjawab itu?     

"Kalau gue melawan dan menyakiti Adam, itu akan membuat Davira lebih sakit lagi." Remaja itu mengimbuhkan. Mempertegas kalimat yang baru saja diucapkan olehnya.     

Rena terdiam sejenak. Kini ia paham, bagaimana rasanya jikalau cinta itu bertepuk sebelah tangan. Mengetahui sang laki-laki idaman mencintai gadis lain adalah hal menyakitkan yang mengganggu batin Rena sekarang ini.     

Ia paham perasaan macam apa yang dipendam oleh Arka selama ini. Bukan bahagia dan nyaman, namun itu sesak dan mengganggu. Bagaimana bisa remaja itu memendam itu dengan baik selama dua tahun terakhir?     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Bayu berembus dengan kecepatan sedang. Membelai helai demi helai rambut gadis yang masih menatap jauh apapun yang ada di depannya saat ini. Kopi susu yang dibelikan sang kekasih mulai hilang kepulan asapnya. Dingin adalah kondisi kala tak sengaja jari jemari Davira menyenggol sisi cup kecil kopi susu itu. Adam membawanya kemari. Menarik tubuh Davira dan menuntunnya berjalan dengan ringan. Bukan tanpa maksud dan tujuan remaja itu datang bersama sang kekasih di taman kota sisi bangunan komplek rumah Davira.     

Adam ingin menjelaskan semuanya. Perihal hal bodoh yang dilakukan olehnya terhadap sang kekasih satu tahun terakhir ini.     

"Jelaskan," ucap Davira melirih. Tak menatap sang kekasih hanya terus memfokuskan pandangannya jauh ke depan. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya. Menahan agar tak ada lagi drama melankolis bersama air mata yang mengiringi. Hatinya harus kokoh dan kuat, meskipun rasa yang dirasakannya sekarang mirip dengan berpuluh tahun silam kala sang papa mengkhianati kebahagiaan dan harapan baiknya.     

"Tanyakan sesuatu. Aku tak tahu harus menjelaskan mulai dari mana?" Adam menyahut. Mengimbangi nada lirih sang kekasih.     

"Jadi ini adalah hari jadi kalian?" Davira menebak. Tersenyum pahit di bagian akhir kalimatnya. Satu hal yang tak dimengerti olehnya adalah mengapa semesta mengkhianati segala niat baik dan doa baik yang dipanjatkannya selama ini? Serakahkah dirinya meminta agar Adam tetap berada di sisinya?     

"Hm. Tapi aku akan mengakhirinya." Adam menjelaskan singkat. Tak ingin banyak basa-basi lagi untuk memperlambat pertemuan mereka sore ini.     

"Kenapa mengakhiri di hari baik? Itu akan menyakiti hati Davina," paparnya berucap.     

"Davira ...." Adam menoleh. Memutar tubuhnya untuk menatap sang kekasih. Sigap jari jemarinya menggenggam pergelangan sang kekasih. Mencoba untuk melirik paras sayu dan kacau seorang Davira Faranisa.     

"Karena aku lebih memilih kamu. Aku dan Davina ... hanya sebatas ingin bersenang-senang."     

"Kamu tak bahagia denganku?" sahutnya bertanya lirih. Samar dahinya berkerut. Bersama dengan tetesan air mata yang lolos begitu saja. Entah apapun yang dikatakan oleh Adam selalu saja menyakiti hatinya. Baik buruk fakta yang diterimanya sekarang ini, tentu akan berdampak sama untuknya. Menyakitkan dan menyayat di hati.     

"Bukan seperti itu." Adam menghela napasnya. Sigap bangkit dan berpindah dengan mengambil posisi jongkok di depan sang kekasih.     

"Aku melakukan kesalahan dan kekhilafan. Aku mengakui itu. Jadi apapun penjelasannya, itu tak akan mengubah fakta bahwa aku adalah seorang tersangka." Adam mulai menjelaskan. Menatap dalam-dalam sang kekasih yang kasar melepas genggaman tangan Adam. Mengusap kedua pipinya agar tak lagi basah oleh air mata.     

"Fakta bahwa aku lebih mencintai kamu aku dapati setelah merasakan hal aneh di dalam hatiku," susulnya melanjutkan.     

Gadis di depannya tersenyum kecut. "Hal aneh?"     

"Rasa sakit yang tak bisa didefinisikan."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.