LUDUS & PRAGMA

68. Katanya, Perasaan ini ... Aneh!



68. Katanya, Perasaan ini ... Aneh!

0"Rasa yang aneh?" tanya Davira mengulang. Memastikan bahwa apa yang didengarnya barusan adalah sebuah fakta tak ada kekeliruan.     
0

Lawan bicaranya menganggukkan kepala ringan. Tersenyum kemudian mengusap pipi gadis yang ada di depannya. Jujur saja, melihat sang kekasih dalam keadaan begini membuat Adam benar-benar terluka. Paras gadis di depannya kacau. Kedua matanya sembab dan hidungnya memerah. Fakta bahwa Adam telah menggoreskan luka yang begitu dalam dan serius pada sang kekasih didapati oleh remaja itu kala tetes demi tetes air mata terjun membasahi pipi Davira beberapa waktu lalu.     

"Aku tak bisa mendefinisikannya. Namun itu terasa menyakitkan." Adam menghela napasnya kasar. Perlahan melepas genggaman tangan dari sang kekasih kemudian bangkit dari posisinya.     

Davira mengikuti setiap gerak yang diciptakan sang kekasih. Memberi segala fokus yang dimiliki untuk menatap paras tampan Adam Liandra Kin. Dari Adam Davira belajar bahwa mencintai dengan tulus akan memiliki rasa aneh seperti ini.     

Hal kecil yang dilakukan oleh Adam, selalu mampu membuat perasaannya kembali baik. Tersenyum dan tertawa lepas menghibur harinya yang gundah. Meskipun bagi sebagian orang, hal kecil itu tak berguna. Akan tetapi untuk Davira, hal-hal sederhana yang dilakukan sang kekasih sukses meningkatkan segala motivasi hidupnya.     

Namun, gadis itu tak menyangka jikalau ketika sang kekasih memberinya luka, maka akan terasa sangat menyakitkan seperti ini.     

"Kita pulang. Udara yang dingin seperti ini tak baik untuk kesehatan kamu." Remaja itu mengulurkan tangannya. Tersenyum manis pada sang kekasih yang kini menatap jauh ke atas. Bentangan cakrawala menghitam. Bukan sebab malam akan datang, namun sebab mendung tiba menutup indahnya langit malam.     

"Aku pengen jalan kaki. Kamu pulang aja." Gadis itu menolak. Melirik sekilas moge Adam yang terparkir di sisi taman. Kemudian tersenyum aneh untuk mengakhiri pertemuannya dengan sang kekasih. Remaja itu diam. Menatap langkah kaki gadis yang kini mulai berjalan untuk meninggalkannya.     

Memang benar Davira memaafkan satu kesalahan sang kekasih kali ini. Akan tetapi, merasa baik-baik saja selepas semua yang terjadi adalah hal yang berbeda. Dirinya tentu merasakan sisi hatinya benar-benar sakit dan kecewa. Davira bukan gadis yang kuat. Dirinya sama seperti yang lain. Mudah rapuh dan sangat sensitif. Setidaknya ia sudah berbicara dengan Adam. Kini saatnya untuk pergi menyendiri guna memahami situasi yang sedang terjadi. Berpikir dengan kepala jernih perihal apa yang sedang menimpanya sekarang ini.     

"Kamu beneran mau pulang sendiri?" Adam menarik pergelangan tangan gadis yang ada di depannya. Membuat Davira mau tak mau harus terhenti dan memutar tubuh rampingnya. Tatapannya sejenak bertemu dengan lensa pekat milik sang kekasih. Menatap dalam-dalam dengan penuh pengharapan.     

"Biar aku antar. Aku bisa meninggalkan moge-nya di sini kalau kamu pengen jalan kaki." Adam kembali menyela. Semakin kuat menggenggam pergelangan tangan Davira agar gadis itu tak pergi dari hadapannya. Adam ingin melakukan yang terbaik sore ini. Meskipun dalam keyakinan penuh bahwa apapun yang dilakukan oleh Adam tak akan berdampak baik pada perasaan sang gadis, namun setidaknya ia sudah berusaha.     

"Aku pengen jalan dan pulang sendiri. Jadi gak perlu antar aku," ucapnya dengan nada lembut. Melepas perlahan genggaman sang kekasih sembari tersenyum ringan.     

"Aku menelepon nanti malam. Setelah semuanya baik-baik saja." Davira mengimbuhkan. Sukses membuat remaja yang ada di depannya hanya bisa menghela napasnya ringan.     

Dua tahun bersama Davira ia paham benar kalau sang gadis sudah meminta dengan nada bicara dan tatapan seperti itu artinya mau tak mau, rela tak rela ia harus menurutinya.     

"Beneran pulang sendiri?" Adam kembali memastikan. Menatap lensa pekat identik warna dan bentuk dengan miliknya. Dalam harap Davira berubah pikiran saat ini. Memeluknya dan mengatakan bahwa ia tak ingin berpisah dengan Adam secepat ini. Pertemuan mereka tak boleh sesingkat seperti sekarang. Harus diperpanjang dengan segala leburan emosi yang menghilang dari dalam diri --itulah yang diharapkan oleh seorang Adam Liandra Kin.     

"Beneran. Nanti malam setelah memenangkan diri, aku akan menghubungi." Davira mengulang. Kali ini dengan mengusap pundak sang kekasih dengan lembut. Jujur saja Davira tak tahu pilihan untuk memaafkan dan kembali memulai hubungan dengan sang kekasih apakah hal benar yang tak akan menimbulkan luka baru nantinya? Yang diyakini sekarang adalah ia melakukan apapun sesuai dengan keinginan hatinya.     

Adam menganggukkan kepalanya. Ikut tersenyum untuk melepas kepergian sang kekasih. Langkah Davira terlihat tak tegas. Sedikit gontai dan tak tentu arahnya. Adam yakin benar, bahwa setiap senyuman dan kalimat lirih bernada lembut yang dilontarkan sang kekasih untuknya, hanyalah dusta untuk menutupi luka Davira yang sebenarnya.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Tatapannya jauh ke depan. Menatap apapun yang kiranya bisa menjadi tujuan objek sepasang lensa pekat milik gadis itu. Kalut! Benar-benar dirinya kalut. Pikirannya sekarang ini tak tenang. Hal-hal negatif masuk dan memenuhi di dalam otaknya. Bagaimana dengan hubungan sang kekasih dengan gadis jalang itu sekarang? Akankah ia benar mengakhirinya atau semua yang dikatakan oleh Adam hanya sebatas bualan dan omong kosong semata? Sampai mana hubungan mereka? Apakah Adam juga mencium dan memperlakukan gadis itu sama seperti saat ia memperlakukan dirinya? Semua pikiran kotor itu ada dan memenuhi dalam dirinya sekarang ini.     

Davira ingin mengumpat. Menyumpah serapah pada siapa saja yang sudah melukiskan kisah menyebalkan seperti ini untuk alur hidupnya. Semua baik-baik saja sebelum ini. Hingga akhirnya, dirinya mulai mencari tahu dan mendapatkan banyak fakta mengejutkan tentang sang kekasih. Membuat kepercayaan yang selama ini ia berikan terkikis dan menipis lambat laun.     

Ia berbelok. Menuju ke gang terakhir untuk sampai ke depan gerbang rumahnya. Tak ada yang ingin Davira katakan pada sang mama nanti. Ia hanya ingin diam membisu lalu masuk ke dalam kamar pribadinya. Merenung dan mencoba untuk menerka segala keadaan yang sedang terjadi sekarang ini.     

Ada satu pertanyaan yang mulai mengganggu dalam pikiran Davira, benarkah dan tepatkah segala tindakan juga keputusan yang diambil oleh ya sekarang ini?     

"Baru pulang?" Suara bariton menyela dari balik punggung gadis yang kini sigap memutar tubuhnya. Suaranya yang menyela langkah kakinya tak asing. Ia mengenal baik suara itu.     

Sepasang lensa indah milik Davira kini menatap perawakan jangkung yang melambai ringan sembari tersenyum kuda. Bukan lambaian dan senyum manis khas milik seorang Arka Aditya yang mencuri segala perhatian Davira sekarang ini. Akan tetapi luka yang menghias di atas paras tampannya juga jejakan kaki yang menjadi motif di atas seragam yang dikenakan oleh remaja jangkung itu.     

Davira berjalan mendekat. Terus menelisik fisik Arka yang memang terlihat kokoh dan baik-baik saja, akan tetapi ia yakin sebab parasnya itu hatinya ikut tak baik-baik saja sekarang ini.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.